FATWA-FATWA TENTANG SHALAT JENAZAH
25-Bolehkah jika kita meninggalkan jenazah di dalam kamar sendirian ketika hendak dishalati? Bagaimana pendapat anda dengan keyakinan sebagian orang yang mengatakan bahwa syetan bermain-main dengannya?
Jawab:
Tidak menjadi masalah jika kita meninggalkan jenazah sendirian di dalam kamar atau di dalam rumah. Tidak ada larangan dalam hal ini, apalagi kita tidak kawatir jenazah tersebut akan dimakan binatang buas atau burung-burung ganas yang datang karena mencium baunya. Tetapi kita tetap berusaha keras untuk mempersingkat kepengurusan jenazah secepat mungkin. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[1]
"Dan cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara keluarganya."
Adapun keyakinan orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah jika ditinggal sendirian, maka akan dibuat main-main oleh syetan, sesungguhnya ini keyakinan yang tak ada dasarnya. Sebab syetan tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap jenazah itu di dunia, jika ia betul-betul seorang mukmin. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berbunyi,
"Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya." (QS. An-Nahl: 99)
Jadi, orang-orang yang beriman itu setelah meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala Memelihara mereka dari keburukan para syetan tersebut. Allahu a`lam.
26-Jika ada seseorang yang berdiri dan berbicara sebelum mengerjakan shalat jenazah. Yakni memuji-muji mayit dan menyebut-nyebut kebaikan serta amal salehnya kepada para hadirin agar mereka tahu amal perbuatannya sewaktu hidup. Apakah hal ini diperbolehkan atau tidak?[2]
Jawab:
Tidak boleh bagi siapapun sebelum shalat jenazah untuk berbicara dan menyebut-nyebut amal saleh sang mayit. Karena hal itu termasuk perbuatan bid`ah. Yang disyariatkan kepada kita hanyalah menyuruh para hadirin agar berdoa buat si mayit. Setiap orang berdoa sendiri-sendiri tidak berdoa secara berjamaah.
27-Apakah membuat shaf di sebelah kanan Imam, disyariatkan ketika shalat jenazah?
Jawab:
Pada dasarnya, seluruh shaf itu letaknya di belakang imam. Baik itu dalam shalat jenazah atau shalat-shalat lainnya yang kita diperintah mengerjakannya secara berjamaah, selama tempatnya luas dan mencakup seluruh jamaah.
Adapun mengenai shalatnya Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu diantara Alqamah Radhiyallahu ‘anhu dan Al-Aswad Radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu dikarenakan sempitnya tempat. Hal ini diterangkan dalam hadits riwayat Abu Dawud dan selainnya[3]. Jadi yang sahih, ini hanyalah perbuatan Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu. Barangsiapa menghukumi hal ini sebagai marfu`, atau meyakini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia telah berbuat tidak benar.
Kemudian kita harus tahu, bahwa dalam shalat jenazah, diutamakan jika orang-orang yang menyalati itu jumlahnya sebanyak tiga shaf. Sesuai dengan hadits Malik bin Hubairah Radhiyallahu ‘anhu yang marfu` dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, bahwa beliau bersabda,
((مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ أُوْجِبَ))[4]
"Tiada seorang muslim yang meninggal dunia, kemudian ia dishalati tiga shaf dari kaum muslimin, kecuali doa mereka dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala."
Karena hadits di atas inilah, setiap Malik bin Hubairah Radhiyallahu ‘anhu menganggap sedikit jumlah orang yang menyalati jenazah, ia langsung membagi mereka menjadi tiga shaf sesuai hadits di atas.
Tetapi dzahir hadits ini bahwa para jamaah itu memang berjumlah tiga shaf di belakang Imam, bukan dibagi menjadi tiga seperti pendapat Malik Radhiyallahu ‘anhu.
Ada yang mengatakan bahwa imam tetap menjadikannya sebagai satu shaff (tidak perlu membaginya menjadi tiga).
Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat, hendaknya beberapa orang yang menyalati jenazah itu berdiri di samping kanan imam, agar menjadi satu shaf yang terhitung. Tetapi asal dari perbuatan ini adalah tidak boleh, kecuali ada udzur, seperti jika makmumnya hanya satu orang, atau tempatnya tidak cukup untuk beberapa shaf. Allahu a`lam.
28-Apa hukum menyalati jenazah itu, dan bagaimana sifatnya?
Jawab:
Hukum menyalati jenazah adalah fardhu kifayah. Sedangkan sifatnya, hendaknya seorang imam berdiri di arah yang sejajar dengan dada jenazah lelaki dan bagian tengah jenazah wanita. Kemudian dia bertakbir, membaca isti`adzah (A`udzu billaahi minasy syaithoonirrojim), dan membaca al-fatihah. Kemudian ia bertakbir untuk yang kedua kalinya, dan membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Yaitu dengan mengucapkan,
((اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعاَلَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ))[5]
“Ya Allah! Bershalawatlah atas Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau bershalawat atas Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah! Berilah berkah kepada kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau Memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha terpuji dan Maha Mulia.”
Kemudian bertakbir untuk yang ketiga kalinya, dan berdoa untuk si mayit. Ada doa umum untuk shalat jenazah pada rakaat ketiga ini. Yaitu,
((اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ وَمَيِّتِناَ، وَصَغِيْرِناَ وَكَبِيْرِناَ، وَشاَهِدِناَ وَغاَئِبِناَ، وَذَكَرِناَ وَأُنْثَاناَ، إِنَّكَ تَعْلَمُ مُنْقَلَبَنَا وَمَثْوَانَا، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَـيْـتَهُ مِناَّ فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ))
"Ya Allah! ampunilah orang hidup dan mati kami, yang kecil dan besar dari kami, yang hadir dan tidak hadir dari kami, yang lelaki dan perempuan dari kami, sesungguhnya Engkau Mengetahui akhiran dan tempat kembali kami. Engkau Maha Mampu atas segala sesuatu. Ya Allah! Siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami, maka hidupkanlah dia atas agama Islam. Dan siapa saja yang Engkau matikan, maka matikanlah ia atas keimanan."
Sedangkan doa khususnya adalah di bawah ini,
((اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَقِهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ))[6]
"Ya Allah! Ampunilah dia, rahmatilah dia, beri perlindungan padanya, maafkan dia, muliakan kedudukannya, luaskan kuburannya, serta mandikanlah ia dengan air, salju, dan embun. Sucikanlah ia dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana Engkau mensucikan baju putih dari kotoran. Berikan kepadanya rumah yang lebih baik dari rumahnya di dunia, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dan istri yang lebih baik dari istrinya. Ya Allah! masukkanlah ia ke dalam surga, dan jauhkan ia dari siksa kubur dan siksa neraka."
Seorang muslim boleh menambah kedua doa di atas dengan doa di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ، وَاجْعَلْهُ عَلَيْهِ رَوْضَةً مِنْ رِياَضِ الْجَنَّةِ، وَآنِسْ وُحْشَتَهُ، وَارْحَمْ غُرْبَتَهُ، وَضَاعِفْ حَسَناَتِهِ، وَكَفِّرْ سَيِّئاَتِهِ، وَارْفَعْ دَرَجاَتِهِ، وَأَجْزِلْ مَثُوْبَتَهُ، وَاخْلُفْهُ فِيْ عَقِبِهِ بِخَيْرٍ))
"Ya Allah! Luaskan kuburannya dan terangi ia di dalamnya. Jadikanlah kuburan itu satu taman dari taman-taman surga, hilangkan pula kesepiannya dan kasihanilah keterasingannya, lipat gandakan pahalanya, hapuskan dosa-dosanya, tinggikan derajatnya, perbanyak pahalanya, dan tinggalkan buat keluarganya pengganti dia yang lebih baik."
Ia juga bisa mengucapkan doa di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ إِنَّهُ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ، نَزَلَ بِجِوَارِكَ، وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، وَلاَ نَعْلَمُ إِلاَّ خَيْراً))
"Ya Allah! sesungguhnya dia adalah hamba Engkau, putra hamba Engkau. Ia sekarang menjadi tetangga Engkau, dan Engkau adalah sebaik-baik tetangga yang disinggahi. Kita tidak mengetahui dari-Mu selain hanya kebaikan."
Atau mengucapkan doa di bawah ini juga,
((اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّهُ، وَأَنْتَ خَلَقْتَهُ، وَأَنْتَ قَبَضْتَ رُوْحَهُ، وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِسِرِّهِ وَعَلاَنِيَتِهِ، جِئْنَا شُفَعَاءَ إِلَيْكَ فَاغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ إِنْ كَانَ مُحْسِناً فَزِدْ فِيْ إِحْساَنِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئاً فَتَجَاوَزْ عَنْهُ))
"Ya Allah! Engkau adalah Rabbnya, Engkau yang Menciptakannya, Engkau pula yang mencabut nyawanya. Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui dengan segala yang ia rahasiakan dan ia perlihatkan. Kami datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat untuknya, maka ampunilah dia. Ya Allah! jika ia orang yang berbuat baik, maka tambahkanlah kebaikan padanya. Jika dia orang yang tidak baik, maka ampunilah dia."
Kemudian ia bertakbir lagi untuk yang keempat kalinya, ia berhenti sebentar sambil membaca doa ini,
((اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَهُ، وَلاَ تَفْتِـنَّا بَعْدَهُ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ))
"Ya Allah! Janganlah Engkau mengharamkan atas kami pahala seperti yang ia dapat, jangan Engkau memberi fitnah kepada kami sepeninggalnya, dan ampunilah kami juga dia."
Baru kemudian mengucapkan salam satu kali dan menoleh ke arah kanannya.
Jika jenazahnya adalah anak kecil, kita berdoa dengan doa yang umum di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ ذُخْرًا لِوَالِدَيْهِ، وَفَرَطاً، وَأَجْرًا، وَشَفِيْعًا مُجَابًا، اَللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُوْرَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَاجْعَلْهُ فِيْ كَفَالَةِ إِبْرَاهِيْمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيْمِ))
"Ya Allah! jadikanlah anak kecil ini sebagai tabungan buat kedua orang tuanya, sebagai pendahulu yang baik, sebagai pahala, dan sebagai pemberi syafaat yang dikabulkan. Ya Allah! beratkan dengannya timbangan amal kedua orang tuanya. Perbanyaklah dengannya pahala kedua orang tuanya, dan gabungkan ia bersama orang-orang mukmin yang salih terdahulu. Masukkan ia ke dalam asuhan Nabi Ibrahim ‘Alayhi Salam, dan hindarkan ia dengan rahmat-Mu dari siksa neraka jahim."
Jika jenazahnya wanita, maka dhamirnya kita ganti menjadi muannats seperti ini,
((اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا...))
Dan seterusnya.
Orang yang menyalati jenazah, harus mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir, kemudian meletakkannya di atas dada. Jika ia bertakbir sebanyak lima atau enam kali, maka hal itu dibolehkan. Tetapi doa yang khususnya tadi ia baca setelah rakaat ketiga, dan doa umumnya ia baca setelah rakaat keempat.
Jika ia mengucapkan salam sebanyak dua kali, ke kanan dan ke kiri, maka itu juga diperbolehkan. Hanya saja ini menyalahi yang lebih utama. Allahu a`lam.
29-Apakah diharuskan membaca surat lain setelah al-fatihah ketika shalat jenazah?
Jawab:
Jika kita melakukannya, itu tidak menjadi masalah. Sedangkan dalil yang mengharuskan kita membaca al-fatihah setelah takbir pertama, adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam di bawah ini,
((لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ))[7]
"Shalat tidak sah, jika tidak dibacakan padanya surat al-fatihah (fatihatul kitab)."
Juga yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mengerjakan shalat jenazah, kemudian ia membaca surat al-fatihah. Lalu ia berkata,
((لِتَعْلَمُوْا أَنَّهُ مِنَ السُّنَّةِ))[8]
"Agar kalian tahu bahwa ini adalah sunnah."
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, dan ahlus sunan. Sedangkan imam An-Nasai, beliau menambahkan bahwa Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu juga membaca surat setelah al-fatihah dan dia membacanya dengan bacaan keras. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa perbuatan seperti ini adalah benar dan termasuk sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ibnul Jarud juga meriwayatkan adanya surat yang dibaca setelah membaca al-fatihah. Tetapi Al-Baihaqi mengatakan, "Riwayat hadits yang menyebutkan adanya surat yang dibaca setelah al-fatihah, adalah riwayat yang tidak mahfudh."
Tetapi menurut kami, seseorang yang membaca surat setelah al-fatihah dalam shalat jenazah, tidaklah diingkari. Karena keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
"Karena itu, bacalah yang mudah bagimu dari Al-Qur`an." (QS. Al-Muzzammil: 20)
30-Ketika mengerjakan shalat jenazah, apa hukumnya mengangkat tangan pada setiap takbir?
Jawab:
Mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat jenazah hukumnya adalah sunnah. Imam Al-Bukhari telah menyebutkan hal ini dalam kitab sahihnya dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu secara mu`allaq[9], kemudian beliau menyambungnya dalam kitab khusus yang membahas tentang mengangkat tangan dalam shalat.
Seperti ini pula diriwayatkan Imam As-Syafi`i, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya.
Sebagian ulama menghukumi hadits ini sebagai hadits marfu`. Tetapi yang benar ini adalah hadits mauquf yang dihukumi marfu`.
Perbuatan ini dilakukan pula oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Hal ini diriwayatkan oleh Said dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia pernah mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir shalat jenazah.
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata,
((مِنَ السُّـنَّةِ أَنْ تَرْفَعَ يَدَيْكَ فِيْ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ))
"Termasuk yang sunnah, hendaknya anda mengangkat kedua tangan pada setiap takbir."
Sedangkan Imam Al-Bukhari meriwayatkan pengangkatan kedua tangan pada setiap takbir ini, pada kitab khusus yang membahas tentang "Raf`ul yadain" (mengangkat kedua tangan). Beliau meriwayatkannya dari Qais bin Abi Hazim, Aban bin Utsman, Nafi` bin Jubair, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri, dan yang lainnya.
31-Apakah takbir pada shalat jenazah mesti diqadha` pada saat ketinggalan?
Jawab:
Barangsiapa yang ketinggalan takbir shalat jenazah, maka ia harus mengqadha`nya setelah imam mengucapkan salam. Namun jika kawatir jenazahnya keburu digotong, maka ia segera mengqadha`nya secara berurutan dengan cepat setelah imam mengucapkan salam. Agar bisa mengqadha`nya sebelum jenazah diangkat.
Jika tidak kawatir jenazah segera diangkat, maka kita mengqadha`nya sesuai keadaannya yang asal. Yakni kita membaca al-fatihah, membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, kemudian mendoakan si mayit dan mengucapkan salam.
Tetapi kita tahu bahwa shalat jenazah tidaklah diwajibkan atas setiap orang. Ia hanya fardhu kifayah. Jadi, kita boleh tidak mengqadha` takbir-takbir dan dzikir yang ketinggalan tadi, kemudian ikut salam bersama-sama dengan imam. Allahu a`lam.
32-Bagaimana derajat kesahihah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini?
((مَنْ صَلَّى عَلَى مَيِّتٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلاَ شَيْءَ لَهُ))
"Barangsiapa menyalati jenazah di dalam masjid maka ia tidak mendapat pahala apapun."
Jawab:
Hadits ini diriwayatkan imam Abu Dawud dan Ibnu Majah dalam "Al-Janaiz", sedangkan dalam sanadnya terdapat "Shalih maula at-tau`amah". Perawi ini telah pikun pada masa-masa terakhir hidupnya. Karena inilah Imam An-Nawawi dalam syarah sahih Muslim berkata,
Para ulama menjawab hadits ini dengan beberapa jawaban:
Pertama: Hadits ini adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil). Imam Ahmad berkata, "Ini adalah hadits dhaif. Ia diriwayatkan oleh Shalih Maula at-tau`amah secara sendirian, padahal ia adalah perawi yang dhaif."
Kedua: Riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab sunan Abi Dawud yang masyhur[10] adalah berbunyi seperti ini,"
((مَنْ صَلَّى عَلَى مَيِّتٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ))
"Barangsiapa menyalati jenazah di dalam masjid maka tidak ada dosa baginya."
Ketiga: Seandainya hadits yang ditanyakan di atas adalah sahih, maka wajib ditakwilkan dengan lafadz yang berbunyi
((فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ)), sehingga kita menggabungkan antara dua riwayat. Juga antara hadits yang ditanyakan di atas dengan hadits Suhail bin Baidha`.
Hadits Suhail bin Baidha` Radhiyallahu ‘anhu adalah hadits sahih yang diriwayatkan Imam Muslim dan ahlus sunan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu ketika Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Aisyah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((اُدْخُلُوْا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتىَّ أُصَلِّيَ عَلَيْهِ))
"Masukkan jenazahnya ke dalam masjid agar saya bisa menyalatinya."
Maka para sahabat seakan-akan mengingkari permintaan Aisyah Radhiyallahu ‘anhu ini, karena itu Aisyah Radhiyallahu ‘anhu membantah pengingkaran mereka dengan perkataannya,
((وَاللهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي الْمَسْجِدِ، سُهَيْلٍ وَأَخِيْهِ))[11]
"Demi Allah! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyalati dua putra Baidha` di masjid. Dua putra itu adalah Suhail dan saudaranya."
Sedangkan dalam riwayat lain Aisyah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((ماَ أَسْرَعَ مَا نَسِيَ الناَّسُ، مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ))
"Cepat sekali manusia menjadi lupa. Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati dua putra Baidha` kecuali di dalam masjid."
Dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu juga berkata,
((صُلِّيَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطاَّبِ فيِ الْمَسْجِدِ))[12]
"Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu dishalati di dalam masjid."
Hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu inilah yang diamalkan seluruh kaum muslimin, karena susahnya membawa jenazah ke kuburan sebelum dishalati. Juga karena tidak semua orang yang menyalati akan ikut ke kuburan, juga karena masjid adalah tempat berkumpulnya para jamaah shalat, juga karena keutamaan masjid yang sangat banyak atas tempat lainnya, maka shalat jenazah itu dilakukan di dalam masjid. Allahu a`lam.
33-Sebagian orang mengatakan, ada beberapa waktu tertentu yang syariat melarang kita untuk mengerjakan shalat jenazah padanya. Apakah perkataan ini benar?
Jawab:
Memang benar. Karena diriwayatkan dalam hadits Uqbah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا، حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ))[13]
"Ada tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kita untuk mengerjakan shalat jenazah, atau mengubur jenazah pada waktu itu. Yaitu ketika matahari terbit sampai ia benar-benar naik. Ketika matahari ada di tengah-tengah langit sampai ia bergeser. Dan ketika matahari beranjak untuk terbenam."
Waktu-waktu di atas adalah waktu-waktu pendek yang tidak lebih dari seperempat jam atau kurang dari itu. Jadi pada waktu-waktu yang tersebut di atas, kita tidak boleh mengubur jenazah, tapi kita harus menunggu sampai waktu itu habis.
34-Apakah larangan pada hadits Uqbah Radhiyallahu ‘anhu yang baru anda sebutkan di atas, larangan yang bersifat haram atau tidak? Apakah larangan itu juga mencakup shalat jenazah?
Jawab:
Menurut pendapat saya, larangan di atas adalah larangan yang sifatnya mengharamkan. Kecuali ada hal darurat. Seperti halnya kita dilarang mengerjakan shalat pada waktu-waktu terlarang, para ulama menjadikan larangan itu sebagai larangan yang sifatnya mengharamkan. Tetapi sebagian ulama ada yang mengecualikan shalat-shalat yang ada sebabnya[14]. Sementara sebagian yang lain membuat larangan ini umum untuk setiap shalat apapun, sampai shalat jenazah sekalipun.
35-Ada seorang jenazah yang dihadirkan untuk dishalati. Tetapi saya tahu jenazah itu seseorang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan. Pertanyaan saya, apakah saya wajib memberitahu para jamaah tentang keburukannya itu, ataukah cukup saya sendiri yang pergi dan tidak menyalatinya?
Jawab:
Tidak wajib bagi anda untuk memberitahu manusia tentang perbuatannya itu. Yang wajib bagi anda hanyalah tidak menyalatinya, dan memberitahu imam, juga sebagian pembesar kaum, seperti para ulama dan yang lainnya jika mereka terdapat diantara para jamaah. Adapun mengumumkan diantara manusia bahwa ia tidak pernah mengerjakan shalat, maka itu tidak diwajibkan atas anda.
36-Jika seorang sahabat meninggal dunia ketika saya sedang keluar kota, sepuluh hari kemudian saya baru kembali, dan keluarganya memberitahu saya dimana ia dimakamkan. Pertanyaan saya, bolehkah saya pergi ke kuburannya dan menyalatinya disana?
Jawab:
Benar! Anda boleh menyalatinya di atas kuburannya. Karena ada beberapa ulama yang membatasi bolehnya melakukan shalat jenazah dalam jangka waktu satu bulan. Tetapi pendapat yang benar adalah mutlak, tanpa jangka waktu, dan tidak terbatas pada satu bulan.
Dalil pembatasan itu adalah kisah kematian ibu Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu, saat Saad Radhiyallahu ‘anhu tidak ada. Kemudian ia menyalatinya sebulan kemudian. Tapi dalam hadits ini tidak ada larangan untuk menyalati jenazah setelah lebih dari satu bulan.
37-Sebagian orang ketika mengetahui bahwa sahabat karib atau seorang kerabatnya meninggal dunia di kota tertentu, ia segera mengerahkan tenaganya demi berangkat ke kota tersebut untuk menyalati dan menghadiri pemakaman jenazahnya. Bagaimanakah hukum hal semacam ini?
Jawab:
Hal ini tidak apa-apa dilakukan. Karena orang itu ketika mengerahkan tenaga, ia tidak mengerahkannya demi daerah yang ia bakal beribadah padanya, dan tidak meyakini bahwa ibadah di daerah tersebut ada keistimewaan tersendiri dibanding daerah lainnya. Tetapi ia datang ke tempat itu karena hendak menyalati temannya itu.
Sedangkan pergi ke suatu tempat dengan mengerahkan segala tenaga, yang diharamkan dari hal ini, misalnya yaitu jika seseorang berangkat ke kuburan demi keistimewaan yang ia yakini ada pada kuburan tersebut. Atau pergi ke masjid karena keistimewaan yang diyakininya tidak terdapat pada masjid-masjid yang lain. Atau ia pergi tempat tertentu yang ia yakini bahwa tempat itu penuh keberkahan, atau yang serupa dengan itu. Maka semua hal ini adalah diharamkan, kecuali tiga masjid yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha.
Adapun bepergiannya untuk menyalati seorang muslim, maka ini tidak menjadi masalah. Demikian pula dengan bepergiannya untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang muslim, ini juga tidak masalah dan tidak masuk dalam bepergian yang dilarang. Allahu a`lam.
38-Jika saya selesai menyalati jenazah di masjid, kemudian saya pergi ke kuburan dan mendapati ada beberapa orang menyalati jenazah itu disana, apakah saya boleh menyalatinya lagi bersama mereka?
Jawab:
Hal seperti ini tidak disyariatkan, tetapi jika dilakukan maka tidak apa-apa. Karena itu merupakan tambahan doa buat si mayit. Juga dalam hal ini terdapat pahala dan kebaikan bagi yang menyalati.
39-Bolehkah kami mengubur jenazah saat matahari terbit dan belum naik ke permukaan bumi?
Jawab:
Jika orang-orang yang menggali kubur mulai menguburkan jenazah dan memasukkannya ke liang lahat sebelum matahari terbit dari arah timur, maka tidak apa-apa jika mereka meneruskan penimbunan tanah serta hal-hal lain saat matahari terbit.
Tetapi jika matahari sedang terbit, kemudian orang-orang mulai menurunkan jenazah ke liang lahat, maka ini tidak patut dilakukan. Mestinya mereka melakukannya lebih pagi sebelum matahari terbit, atau menunggu sampai matahari menjadi tinggi.
40-Jika seseorang meninggal di waktu malam dan kami menyolatinya di waktu fajar, apakah kami segera menguburkannya, atau menunggu sampai matahari terbit dan meninggi sepanjang tombak dari permukaan bumi?
Jawab:
Yang seharusnya kita lakukan adalah mempercepat pekuburannya sebelum matahari terbit.
41-Jika seseorang meninggal dunia di waktu dhuha, apakah kita menunda menyolatinya sampai masuk waktu shalat dzuhur, atau segera menyolatinya di waktu dhuha itu?
Jawab:
Menunggu sampai datang waktu shalat dzuhur adalah lebih utama, karena di waktu dzuhur ini orang-orang berkumpul untuk shalat dzhuhur, sehingga kita mendapatkan orang-orang yang menyalati dan mendoakan si mayit dalam jumlah yang lebih besar. Juga karena waktu antara dhuha dengan dzuhur adalah waktu yang singkat, yang biasanya si mayit tidak berubah dalam waktu sesingkat itu.
42-Beberapa ulama` menyebutkan bahwa yang paling utama dalam shalat jenazah, hendaknya jumlah shaf orang yang menyalati tidak kurang dari tiga shaf, bagaimana derajat kesahihan ucapan ini?
Jawab:
Ucapan ini sangat benar! Karena ada hadits dari Malik bin Hubairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ أُوْجِبَ –وفي لفظ- إِلاَّ غُفِرَ لَـهُ))[15]
"Tiada seorang muslim yang meninggal dunia, kemudian ia dishalati tiga shaf dari kaum muslimin, kecuali doa mereka dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, -dalam lafadz lain- kecuali si jenazah pasti diampuni."
Dan berdasarkan hadits ini, setiap Malik Radhiyallahu ‘anhu menganggap bahwa jumlah orang yang menyalati jenazah adalah sedikit, ia segera membagi mereka menjadi tiga shaf. Tetapi kalau jumlah orang yang menyalati sedikit, maka jika satu shafnya kurang dari dua orang, kita tidak bisa membariskannya masing-masing satu shaf satu orang di belakang imam.
43-Dimanakah seorang imam berdiri ketika menyolati jenazah lelaki atau wanita?
Jawab:
Yang disebutkan dalam hadits, seorang imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah lelaki, dan ada yang mengatakan sejajar dengan dadanya. Mengenai jenazah wanita, maka sang imam berdiri sejajar dengan bagian tengahnya.
Dan jika seorang imam hendak menyalati jenazah lelaki dan wanita secara bersamaan, maka ia menjadikan kepala jenazah lelaki sejajar dengan bagian tengah jenazah wanita.
44-Jika menyolati beberapa orang yang meninggal dunia, ada jenazah laki-laki, jenazah wanita dan jenazah anak-anak. Siapakah diantara jenazah itu yang paling dekat dengan imam?
Jawab:
Yang didahulukan adalah jenazah para lelaki dewasa, setelah itu jenazah anak-anak, baru kemudian jenazah para wanita dewasa, dan yang terakhir jenazah gadis-gadis kecil.
45-Kami melihat sebagian orang sudah menyalati jenazah di masjid, kemudian ketika mereka membawanya ke kuburan untuk dimakamkan, mereka meletakkan jenazah itu di atas tanah sebelum dimasukkan ke liang lahat. Lalu orang-orang berkata, "Jika ada seseorang yang belum menyalati jenazah ini, maka hendaklah ia menyalatinya sekarang sebelum dikuburkan."
Pertanyaan kami bagaimana hukum perbuatan ini? Karena sepengetahuan kami, tidak ada hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang memerintahkan hal itu, beliau hanya menyuruh shalat di atas kuburan. Padahal ada sebuah hadits dari beliau yang melarang kita untuk shalat di pemakaman. Mohon jelaskan hal ini kepada kami!
Jawab:
Di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dulu, setiap shalat jenazah selalu dilaksanakan di baqi`, dekat pemakaman. Karena di baqi` ada mushalla khusus untuk menyalati jenazah. Setelah jenazah sudah dishalati disana, para sahabat kemudian membawanya ke pemakaman yang jaraknya dekat dari situ.
Jadi shalat jenazah ini tidak selalu dilaksanakan di dalam masjid, kecuali pada masa-masa yang terakhir.
Aisyah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلاَّ فِيْ جَوْفِ الْمَسْجِدِ))[16]
"Demi Allah! tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati Suhail bin Baidha` dan saudaranya kecuali di dalam masjid."
(Aisyah Radhiyallahu ‘anhu mengatakan hadits di atas, karena ada beberapa sahabat yang mengingkarinya saat ia meminta jenazah Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu dimasukkan ke dalam masjid, agar Aisyah Radhiyallahu ‘anhu bisa menyalatinya.
Para sahabat mengingkari permintaan Aisyah Radhiyallahu ‘anhu karena kebiasaan yang mereka ketahui selama ini, shalat jenazah adalah di baqi`, sebuah tempat dekat pekuburan bukan di masjid)[17].
Jika demikian, maka tidak apa-apa jika jenazah itu dishalati di tempat pemakaman. Adapun shalat yang kita dilarang melakukannya di dalam pekuburan, adalah shalat yang ada rukuk dan sujudnya.
46-Jika dihadirkan ke dalam masjid seorang jenazah untuk dishalati, sementara saya tidak tahu, jenazah itu orang yang mengerjakan shalat atau tidak, maka apakah yang harus saya perbuat?
Jawab:
Jika anda tidak bisa memastikan bahwa jenazah ini orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan, maka pada dasarnya ia tetap termasuk dari kaum muslimin. Maka anda harus menyolatinya.
47-Apakah kita diwajibkan untuk meluruskan shaf dan menutup kerenggangan saat mengerjakan shalat jenazah?
Jawab:
Benar! Shalat jenazah sama seperti shalat-shalat yang lain, jadi barisan-barisan shafnya harus diluruskan dan kerenggangannya harus ditutup.
48-Mungkinkah bagi ahlussunnah untuk menghadiri jenazah orang-orang yang menyimpang (seperti tukang klenik, ahli bid`ah dll.) dan menyolati mereka?[18]
Jawab:
Orang-orang menyimpang yang penyimpangan mereka sampai pada derajat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti orang-orang yang meminta bantuan dan pertolongan dari orang mati, atau makhluk gaib; sebangsa jin, malaikat dan lainnya, mereka adalah orang-orang kafir yang tidak boleh menyolati jenazah mereka, dan tidak boleh menghadiri kematian mereka.
Adapun orang yang penyimpangannya tidak sampai pada derajat syirik, seperti ahli bid`ah yang melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang tak ada kesyirikan padanya, atau yang merayakan peringatan malam isra` mi`raj, atau peringatan-peringatan lainnya, maka mereka hanyalah orang-orang yang berbuat maksiat. Jadi mereka harus dishalati, dihadiri jenazahnya, dan diharapkan buat mereka segala apa yang diharapkan bagi para pelaku maksiat dari ahli tauhid. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa`: 48)
49-Ada seorang wanita yang hamil sampai bulan kelima, kemudian janinnya meninggal dalam perut. Apakah kita harus menyalati janin tersebut?
Jawab:
Jika janin yang meninggal sudah berumur empat bulan, maka ia harus dimandikan, dikafani, dan dishalati. Karena setelah empat bulan ini, malaikat sudah meniupkan nyawa pada janin tersebut. Tepatnya setelah empat puluh hari yang ketiga. Sebagaimana disebutkan Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu dalam hadits marfu`,
((إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ))[19]
"Sesungguhnya setiap orang dari kalian, dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani. Kemudian ia berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari juga, kemudian ia berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari juga. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh."
Adapun janin yang di bawah empat bulan, maka malaikat belum meniupkan ruh padanya. Sehingga, ketika gugur ia tidak bisa dinamakan mayit, karena tidak adanya ruh tadi. Sedangkan memandikan dan menyalati, keduanya hanya disyariatkan pada seorang mayit. Ini adalah pendapat pertama.
Pendapat kedua mengatakan; jika janin sudah berwujud seorang manusia, maka ia harus dimandikan dan dishalati meski belum berumur empat bulan. Yakni kedua kakinya sudah tepisah dari anggota lainnya. Demikian pula, kedua tangan dan lekuk-lekuk wajahnya. Pendapat kedua ini berdasar pada keumuman hadits marfu` dari Mughirah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((وَالسِّقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ))[20]
"Janin yang lahir dalam keadaan mati, harus dishalati."
Dan kita disyariatkan untuk memberi nama janin yang terlahir dalam keadaan meninggal tersebut. Karena di hari kiamat besok, ia dipanggil dengan namanya. Jika kita tidak mengetahui dengan jelas, apakah ia janin laki-laki atau perempuan, maka ia diberi nama yang cocok buat lelaki dan perempuan, seperti Qatadah dan Ikrimah.
50-Ada sebagian wanita yang terkadang menyalati jenazah, kemudian ikut mengiringi jenazah ke kuburan. Ketika jenazah sampai pada pintu gerbang kuburan, sang wanita berhenti dan tidak ikut masuk ke dalam pemakaman. Bagaimanakah hukum hal seperti ini?
Jawab:
Pada dasarnya, seorang wanita dibolehkan menyalati jenazah siapapun. Tetapi untuk mengiringi, maka hal ini tidak dibolehkan. Yang menunjukkan larangan ini, adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada para wanita, yang beliau mendapati mereka sedang menunggu-nunggu jenazah. Beliau berkata kepada mereka,
((هَل تُغَسِّلْنَ؟)) قُلْنَ: لاَ، ((هَلْ تُدْلِيْنَ فِيْمَنْ يُدْلِيْ)) قُلْنَ: لاَ. قَالَ: ((فَارْجِعْنَ مَأْزُوْرَاتٍ غَيْرَ مَأْجُوْرَاتٍ، فَإِنَّكُنَّ تَفْتِنَّ اْلأَحْياَءَ وَتُؤْذِيْنَ اْلأَمْوَاتَ))[21]
"Apakah kalian hendak memandikan jenazah?" mereka menjawab, 'tidak!' "Apakah kalian membantu menimbakan air?" mereka menjawab, 'Tidak!' kemudian beliau berkata, "Kalau begitu pulanglah kalian dengan membawa dosa dan tidak mendapat pahala. Karena kalian hanya mendatangkan fitnah bagi orang hidup dan menyakiti orang yang meninggal dunia."
Juga yang menunjukkan larangan di atas, yaitu ucapan Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini,
((نُهِيْناَ عَنِ اتِّباَعِ الْجَناَئِزِ، وَلَمْ يَعْزِمْ عَلَيْناَ))[22]
“Kami (para wanita) dilarang untuk mengiringi jenazah, tapi larangan itu tidak ditekankan kepada kami[23].”
Larangan yang terdapat pada hadits ini adalah larangan yang sifatnya mengharamkan, karena tidak ada dalil lain yang menyalahi hadits ini. Maka dari sini, kita tahu bahwa para wanita tidak boleh mengiringi jenazah secara mutlaq.
51-Jika jenazah sudah dimasukkan ke liang lahat, bolehkah kita menyolatinya?[24]
Jawab:
Kita boleh menshalati jenazah, meski sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. Pernyataan ini berdasarkan pada perbuatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang pergi ke kuburan, kemudian beliau mengerjakan shalat jenazah di atas kuburan wanita yang biasa menyapu masjid. Karena wanita tersebut meninggal dunia, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak tahu perihal kematiannya.[25]
52-Bagaimana hukumnya jika seseorang masuk masjid, kemudian ia mendapati orang-orang sedang mengerjakan shalat jenazah di waktu yang sempit, seperti waktu maghrib yang waktunya hampir habis. Apakah orang tersebut mengerjakan shalat jenazah atau mengerjakan shalat fardhu?[26]
Jawab:
Orang ini boleh lebih dulu mengerjakan shalat jenazah, selama tidak kawatir waktu shalat fardhu akan habis. Karena jika tidak mengerjakan shalat jenazah terlebih dahulu, maka shalat ini akan hilang, sementara shalat fardhu waktunya masih banyak. Maka dengan melakukan hal ini, berarti kita telah menggabungkan antara dua fadhilah (keutamaan).
Tetapi jika kawatir waktu shalat fardhu akan habis, maka kita lebih mendahulukan shalat fardhu dan merelakan tidak mengerjakan shalat jenazah. Sebab shalat jenazah hanyalah fardhu kifayah, ia juga sudah dilaksanakan beberapa orang yang mengerjakannya.
Dan perlu diketahui, waktu adalah syarat sahnya shalat. Ia asalnya waktu yang luas (muwassa`) sampai menjadi sempit dan hanya cukup untuk mengerjakan shalat fardhu saja. Jika sudah seperti ini, maka ia menjadi waktu yang sempit (mudhayyaq). Nah, pada saat waktu mudhayyaq inilah shalat fardhu menjadi fardhu ain bagi kita, sehingga kita tidak boleh mengerjakan shalat yang hanya fardhu kifayah.
Mudah-mudahan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
53-Bagaimana cara mengerjakan shalat ghaib?[27]
Jawab:
Cara mengerjakan shalat ghaib, sama seperti mengerjakan shalat jenazah terhadap mayit yang hadir. Karena inilah, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengumumkan kematian Najasyi, beliau menyuruh para sahabat agar keluar menuju mushalla (tempat shalat). Kemudian beliau membuat mereka menjadi beberapa shaf, lalu bertakbir sebanyak empat kali, sama halnya saat beliau menshalati jenazah yang hadir.[28]
54-Apakah kita harus menshalati setiap orang yang meninggal dunia dengan shalat gaib?
Jawab:
Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama`.
Diantara mereka ada yang berkata, kita harus menyalati setiap orang yang meninggal dunia dengan shalat gaib. Sampai ada seorang ulama dari pemilih pendapat ini yang mengatakan, adalah keharusan bagi setiap orang untuk mengerjakan shalat jenazah pada setiap malam dan meniatkannya untuk setiap orang yang meninggal dari kaum muslimin pada hari itu, baik yang ada di timur maupun di barat.
Ulama` lainnya mengatakan, kita tidak harus mengerjakan shalat gaib untuk siapapun, selain untuk jenazah yang belum kita shalati.
Kelompok ketiga mengatakan, kita harus mengerjakan shalat gaib untuk setiap muslim yang mempunyai jasa terhadap kaum muslimin, apakah jasa itu berupa ilmu yang bermanfaat atau yang lainnya.
Tetapi yang rajih, kita tidah diharuskan mengerjakan shalat gaib atas siapapun, kecuali kepada jenazah yang kita belum menyalatinya. Sebab, di zaman khulafa` ar-rasyidin, banyak orang berjasa terhadap Islam yang meninggal dunia, tetapi tak ada seorangpun dari mereka yang dishalati dengan shalat gaib.
Dan ibadah itu pada dasarnya adalah tauqifi, yakni berhenti terhadap apa yang ada dalam al-qur`an dan as-sunnah. Kita dilarang mengerjakan ibadah apapun sampai datang dalil yang menyebutkan bahwa ibadah tersebut disyariatkan.
55-Kebanyakan orang di Madinah Al-Munawwarah mempunyai kebiasaan memasukkan mayit ke dalam masjid lewat pintu "Ar-Rahmah"[29], tidak lewat pintu-pintu yang lain. Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan Merahmati si mayit dan Mengampuninya dengan lewat di pintu itu. Apakah perbuatan ini ada kebenarannya menurut syariat kita yang suci?[30]
Jawab:
Keyakinan seperti ini dasarnya tidak saya ketahui dari syariat yang suci. Malah ini merupakan perbuatan mungkar yang tidak boleh dijadikan keyakinan. Dan tidak masalah jika kita memasukkan jenazah lewat semua pintu masjid yang ada. Tetapi yang paling afdhal adalah memasukkan jenazah lewat pintu yang ketika memasukkannya kita tidak mengganggu orang-orang yang shalat.
Sumber Referensi Dari Kitab :
[1] HR. Abu Dawud no. 2747 dan Al-Baihaqi
[2] Shalih Al-Fauzan, Majalah Ad-Dakwah, edisi 1570
[3] HR. Abu Dawud no. 613
[4] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz, no. 2753
[5]HR. Al-Bukhari no, 3370 dan Muslim no, 405 dari Ka`ab bin `Ujrah radhiyallahu anhu.
[6] HR. Muslim dari Auf bin Malik t no. 1600
[7] HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, no. 714; dan Muslim dalam kitab Ash-Sholah, no. 595; juga At-Tirmidzi dalam kitab Ash-Sholah, no. 230
[8] Lihat, sahih Al-Bukhari, kitab Al-Janaaiz, bab membaca surat al-fatihah atas jenazah, no. 90
[9] Lihat, Sahih Al-Bukhari, kitabul janaaiz, bab: Sunnatu Ash-shalaah ala al-janaaiz, 3/189
[10] Lihat, sunan Abi Dawud, no. 2776; Ibnu Majah, no. 1506; dan Ahmad, no. 9353
[11] HR. Muslim dan Ahlus sunan.
[12] HR. Imam Malik.
[13] HR. Muslim, 2/208; Abu Dawud, 2/66; dan At-Tirmidzi, 2/144.
[14] Seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat dua rakaat setelah wudhu, dan shalat jenazah.
[15] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz, no. 2753
[16] HR. Muslim, 3/63
[17] Yang ada diantara dua kurung, tambahan dari penerjemah.
[18] Al-Lajnah Ad-Daaimah, fatawa islamiyyah, 2/31
[19] HR. Al-Bukhari dalam kitab bad`il khalqi (awal mula penciptaan), no. 2969 dan Muslim dalam kitab Al-Qadar, no. 4781
[20] HR. Ahmad, no. 17468, Abu Dawud, no. 2766, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi menghukumi sahih hadits ini.
[21] HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari Ali bin Abi Thalib t.
[22] Muttafaq alaih.
[23] Ucapan, "Tetapi larangan itu tidak ditekankan kepada kita." Seakan-akan dalam ucapan ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberikan larangan itu secara tegas. Tapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab ucapan Ummu Athiyyah t dengan pernyataan berikut,
"قَدْ يَكُوْنُ مُرَادُهَا لَمْ يُؤَكِّدِ النَّهْيَ، وَهَذَا لاَ يَنْفِي التَّحْرِيْمَ، وَقَدْ تَكُوْنُ هِيَ ظَنَّتْ أَنَّهُ لَيْسَ بِنَهْيِ تَحْرِيْمٍ، وَالْحُجَّةُ فِيْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ فِيْ غَيْرِهِ" (مجموع الفتاوى: 24/355)
“Bisa jadi maksud Ummu Athiyyah memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak mempertegas larangan itu. Jika demikian halnya maka perkataan (وَلَمْ يَعْزِمْ عَلَيْناَ) tidak menafikan keharaman (mengiringi jenazah bagi wanita) itu. Dan bisa jadi, memang Ummu Athiyyah yang menduga bahwa larangan disini bukan larangan pengharaman. Tetapi kita meyakini, bahwa hujjah yang mesti ditetapi adalah ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bukan ucapan selain beliau.” (Majmu` al-fatawa, 24/355)
[24] Ibnu Utsaimin, pertemuan terbuka, 1/42
[25] HR. Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shalaah, 458/406
[26] Al-Lajnah Ad-Daaimah, fatawa islamiyyah, 2/27
[27] Ibnu Utsaimin, Fatawa islaamiyyah, 2/29
[28] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[29] Bab ar-rahmah atau pintu ar-rahmah, adalah nama salah satu pintu masjid nabawi di Madinah.
[30] Ibnu Baz, Fatawa Islamiyyah, 2/50
0 comments:
Post a Comment