Hukum Menghormati Bendera Bagi Tentara

hormat bendera bagi tentara


Menghormati Bendera Bagi Tentara Lajnah Daimah

Pertanyaan:
Apa hukumnya menghormati bendera yang berlaku di kemiliteran dan menghormati atasan serta hukum mencukur jenggot?

Jawaban:
Tidak boleh hukumnya menghormati bendera karena itu merupakan bid'ah. Dalam hal ini, Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang mengada-ada di dalam urusan kami ini (dien ini) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak." [1]

Sedangkan menghormati para atasan sebagaimana layaknya sesuai kedudukan mereka, maka hal ini adalah boleh. Adapun sikap berlebihan (ghuluw) tidak dibolehkan, baik terhadap para atasan atau selain mereka. Wa shallalahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa sallam.

Kumpulan Fatwa Lajnah Da'imah,
Juz II, hal. 150.

Pertanyaan:
Mohon pencerahan untuk saya tentang hukum orang yang berdinas di kemiliteran Mesir padahal ini adalah sumber pencahariannya. Peraturan kemiliteran dan undang-undang mewajibkan baginya agar sebagian mereka menghormati sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang di negara lain. Kami harus memberikan penghormatan dengan cara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, menghormati bendera negara serta berhukum dan memberikan vonis hukuman terhadap perkara di antara kami dengan selain syariat Allah, yakni undang-undang kemiliteran?

Jawaban:
Tidak boleh menghormati bendera dan wajib berhukum kepada syariat Islam dan menyerahkan putusan kepadanya. Juga, tidak boleh seorang Muslim memberi hormat kepada para pimpinan atau kepala seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di negara lain, karena terdapat hadits yang melarang untuk menyerupai mereka. Juga, karena hal itu merupakan bentuk berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menghormati mereka. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa sallam.

Kumpulan Fatwa Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Penggodokan Fatwa, halaman 149.
________
Footnote:
[1] Shahih al-Bukhari, kitab ash-Shulh, no. 2697; Shahih Muslim, kitab al-Aqdhiyah, no. 1718.
Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Meyakini Re-Inkarnasi

Pertanyaan:
Seorang dosen pengajar materi Filsafat telah berkata kepada kami, "Sesungguhnya roh bisa berpindah dari satu raga manusia ke raga manusia yang lain." Apakah pernyataan ini benar? Jika ya, bagaimana bisa justru roh itu yang disiksa dan diperhitungkan amalnya (di alam barzakh, pentj), dan jika berpindah ke raga yang lain, maka orang itu yang diperhitungkan (amalnya) dengan roh yang sama (pentj.) pula?

Jawaban:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya, keluarga besar serta para sahabatnya. Wa ba'du:

Apa yang dinyatakan oleh dosen tersebut kepada anda bahwa roh bisa berpindah dari satu raga manusia ke raga manusia yang lain tidaklah benar. Prinsip dasar tentang hal itu adalah firman Allah سبحانه و تعالى,

"Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Rabbmu'. Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)'." (Al-A'raf: 172).

Tafsir ayat ini terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwaththa'nya dari Umar bin al-Khaththab -rodliallaahu'anhu- ketika dia ditanya mengenai ayat di atas.

Umar -rodliallaahu'anhu- berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم ditanya tentangnya, lalu beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِيْنِهِ فَأَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً فَقَالَ خُلِقَتْ هَؤُلاَءِ لِلْجَنَّةِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُوْنَ ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً فَقَالَ خُلِقَتْ هؤُلاَءِ لِلنَّارِ وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُوْنَ

"Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam, kemudian menyapu punggungnya dengan Tangan KananNya, lalu Dia mengeluarkan darinya keturunan seraya berfirman, Aku telah menciptakan mereka untuk surga dan dengan amalan ahli surga mereka akan beramal. Kemudian Dia menyapu punggungnya lalu mengeluarkan darinya keturunan seraya berfirman, Aku telah menciptakan mereka untuk neraka dan dengan amalan ahli neraka mereka akan beramal." [1]

Ibnu Abd al-Barr berkata, "Telah terdapat berbagai jalur yang valid dan banyak mengenai makna hadits ini dan berasal secara shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم dari hadits Umar bin al-Khaththab -rodliallaahu'anhu-, Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah -rodliallaahu'anhum- dan selain mereka. Demikian juga ulama Ahlussunnah wal Jamaah telah berijma' tentang hal itu. Mereka menyebutkan, pendapat yang mengatakan bahwa roh berpindah dari satu raga ke raga yang lain adalah pendapat penganut faham reinkarnasi. Mereka itu adalah manusia yang paling kafir dan pendapat mereka ini adalah sebatil-batilnya pendapat.
_________
Footnote:
[1] Musnad Ahmad, Juz I, hal. 44-45, no. 3001, analisa Ahmad Syakir; al-Muwaththa' karya Imam Malik, kitab al-Qadar, hal. 898; Sunan Abi Daud, kitab as-Sunnah, no. 4703 dan Sunan at-Tirmidzi, kitab at-Tafsir, no. 5071.
Rujukan:
Kumpulan Fatwa Lajnah Da'imah, Juz II, hal. 308.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Pria mendapatkan Bidadari di Surga, wanita mendapatkan apa ?
Beberapa Ulama
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: "Pria mendapatkan istri-istri bidadari di Surga, lalu wanita mendapatkan apa?

Jawaban:
Para wanita akan mendapatkan pria ahli Surga, dan pria ahli Surga lebih afdhal dari pada bidadari. Pria yang paling baik ada di antara pria ahli Surga. Dengan demikian, bagian wanita di Surga bisa jadi lebih besar dan lebih banyak daripada bagian pria, dalam masalah pernikahan. Karena wanita di dunia juga (bersuami) mereka mempunyai beberapa suami di Surga. Bila wanita mempunyai 2 suami, ia diberi pilihan untuk memilih di antara keduanya, dan ia akan memilih yang paling baik dari keduanya
(Fatawa wa Durusul Haramil Makki, Syaikh Ibn Utsaimin 1/132, yang dinukil dalam Al-Fatawa Al-Jami'ah lil Mar'atil Muslimah, edisi bahasa Indonesia "Fatwa-fatwa tentang wanita 3" cetakan Darul Haq)
Pertanyaan:Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: "Ketika saya membaca Al-Qur'an, saya mendapati banyak ayat-ayat yang memberi kabar gembira bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dari kaum laki-laki, dengan balasan bidadari yang cantik sekali. Adakah wanita mendapatkan ganti dari suaminya di akhirat, karena penjelasan tentang kenikmatan Surga senantiasa ditujukan kepada lelaki mukmin. Apakah wanita yang beriman kenimatannya lebih sedikit daripada lelaki mukmin?

Jawaban:
Tidak bisa disangsikan bahwa kenikmatan Surga sifatnya umum untuk laki-laki dan perempuan. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan" (Ali-Imran: 195).

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (An-Nahl: 97).

"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun" (An-Nisa': 124).

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam  keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar"(Al-Ahzab: 35).

Allah telah menyebutkan bahwa mereka akan masuk Surga dalam firman-Nya: "Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan" (Yasin: 56).

"Masuklah kamu ke dalam Surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan"(Az-Zukhruf: 70).

Allah menyebutkan bahwa wanita akan diciptakan ulang. "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan" (Al-Waqi'ah: 35-36).

Maksudnya mengulangi penciptaan wanita-wanita tua dan menjadikan mereka perawan kembali, yang tua kembali muda. Telah disebutkan dalam suatu hadits bahwa wanita dunia mempunyai kelebihan atas bidadari karena ibadah dan ketaatan mereka. Para wanita yang beriman masuk Surga sebagaimana kaum  lelaki. Jika wanita pernah menikah beberapa kali, dan ia masuk Surga bersama mereka, ia diberi hak untuk memilih salah satu di antara mereka, maka ia memilih yang paling bagus diantara mereka.

Rujukan:
Fatawal Mar'ah 1/13 yang dinukil dalam Al-Fatawa Al-Jami'ah lil Mar'atil Muslimah, edisi bahasa Indonesia "Fatwa-fatwa tentang wanita 3" cetakan Darul Haq
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Sebab-sebab Yang Dapat Memperkuat Iman
Syaikh Ibnu Utsaimin

Pertanyaan:
Bagaimana seseorang bisa memperkuat imannya di mana kondisinya tidak dapat terpengaruh oleh makna ayat-ayat yang dibacanya kecuali sedikit sekali?

Jawaban:
Yang jelas, orang ini ketika mengatakan ucapan ini tampak bahwa dia sebenarnya seorang yang beriman kepada hari akhir dan membenarkannya akan tetapi pada dirinya ada sedikit kekerasan hati. Penyakit keras hati pada masa sekarang ini banyak sekali dan sebab utamanya adalah berpaling dari beribadah dan ketundukan secara total kepada Allah سبحانه و تعالى. Andaikata seseorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan tunduk patuh kepadaNya dengan sebenar-benarnya, niscaya dia akan mendapatkan hatinya menjadi lunak dan khusyu'. Dan, andaikata seseorang di antara kita menyongsong al-Qur'an dan mentadabburinya, niscaya dia juga akan mendapatkan hatinya menjadi lunak dan khusyu' sebab Allah سبحانه و تعالى berfirman,

"Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah." (Al-Hasyr: 21).

Di antara penyebab timbulnya penyakit keras hati adalah fenomena hiasan dunia di era kontemporer ini, terbuainya manusia olehnya serta beragamnya problematika. Oleh karena itu, anda bisa menjumpai anak kecil yang belum begitu mengenal godaan duniawi dan godaan duniawi pun belum menyentuhnya lebih banyak khusyu' dan tangisnya (karena hatinya tersentuh-penj.) dibandingkan dengan orang dewasa. Ini adalah pemandangan yang kita saksikan dan kalian saksikan juga sekarang ini di Masjid Al-Haram di saat shalat Qiyamullail. Anda akan menjumpai anak-anak muda berusia delapan belasan tahun dan semisalnya bisa lebih banyak tangisnya karena tersentuh saat disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman atau sugesti daripada orang yang lebih tua dari mereka karena hati mereka lebih lunak dan belum banyak terbuai oleh godaan duniawi dan belum begitu memikirkan problematika-problematika jangka panjang ataupun pendek.

Oleh karena itu, kita menjumpai mereka lebih banyak diliputi rasa khusyu' dan lebih dekat kepada kelunakan hati daripada mereka yang sudah terbelalak oleh godaan duniawi dan terbuai olehnya sehingga menjadikan hati mereka tercerai-berai ke sana dan kemari.

Nasehat saya kepada saudara penanya ini agar mengkonsentrasikan hati dan pemikirannya hanya pada hal yang terkait dengan dien ini semata, antusias dalam membaca al-Qur'an dengan tadabbur dan perlahan serta antusias pula untuk merujuk kepada hadits-hadits yang mengandung targhib (bersifat rangsangan dan sugesti) dan tarhib (bersifat menakutkan dan ultimatum) karena hal ini dapat melunakkan hati.

Rujukan:
Kumpulan Kajian dan Fatwa di al-Haram al-Makki, Juz III, hal. 380 dari Syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Siapa yang Mampu Menentukan Jenis Kelamin Si Janin?
Sekelompok Ulama
Pertanyaan:
Di dalam edisi majalah al-'Araby, Vol. 205, hal. 15, bulan Desember 1975 M terdapat tanya jawab (hasilnya-penj.), "Telah terbukti bahwa seorang laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin si janin." Bagaimana sikap agama terhadap hal ini? Apakah ada yang mengetahui hal yang ghaib selain Allah?

Jawaban:
Pertama, sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى sematalah Yang dapat membentuk kandungan yang ada di dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya, Dia bisa menjadikannya laki-laki atau perempuan, sempurna atau cacat dan kondisi-kondisi janin lainnya. Hal itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah سبحانه و تعالى sebagaimana firmanNya,

"Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya. Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana." (Ali 'Imran: 6).

Dan firmanNya,

"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakiNya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa." (Asy-Syura: 49-50).

Dalam ayat tersebut, Allah سبحانه و تعالى telah memberitakan bahwa hanya Dialah Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, menciptakan apa yang dikehendakiNya, lalu membentuk kandungan yang ada di dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya pula, baik berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dalam kondisi apapun adanya; cacat atau sempurna, cantik dan bagus atau jelek dan buruk rupa serta kondisi-kondisi lainnya. Hal ini tidak ada seorang pun yang bisa melakukannya selainNya, juga tidak dapat dilakukan oleh sesuatu yang disekutukan terhadapNya.

Klaim bahwa seorang suami, dokter atau filosof mampu menentukan jenis kelamin janin adalah klaim dusta belaka. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh si suami dan orang yang menem-pati posisinya selain berupaya keras melalui proses jima'nya, yaitu melakukannya di masa subur dengan harapan terjadi kehamilan. Mungkin saja hal itu benar-benar terjadi atas takdir Allah, bisa jadi apa yang diinginkannya itu tertunda, baik oleh sebab keterbatasan atau adanya kendala biologis seperti terjadinya pembengkakan (nanah), kemandulan atau cobaan lain yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya. Hal itu dikarenakan semua sebab itu tidak dapat dengan sendirinya memberikan pengaruh akan tetapi ia dapat berpengaruh atas takdir Allah dengan mengatur sebab musababnya. Pembuahan adalah masalah kauny (bersifat alami/sunnatullah) sehingga orang yang mukallaf tidak dapat diserahkan tentang hal itu selain melaku-kannya atas izin Allah. Sedangkan urusan menanganinya, mengadaptasikannya, menguasainya serta mengaturnya dengan mengatur sebab musababnya, maka itu semua hanya Allahlah semata Yang tidak ada sekutu bagiNya yang dapat melakukannya.

Siapa saja yang biasa mengamati kondisi-kondisi manusia dan ucapan-ucapan mereka, akan tampak jelas baginya bahwa hal semacam itu semata adalah sikap berlebih-lebihan di dalam mengklaim dan kedustaan serta kebohongan di dalam ucapan dan perbuatan karena kejahilan mereka dan sikap ghuluw dalam menilai kemampuan ilmu-ilmu mutakhir serta sikap melampui batas di dalam menghitung-hitung sebab musabab (hukum kausalitas). Siapa saja yang dapat mengukur semua perkara dengan semestinya, maka dia akan dapat membedakan antara sesuatu yang hanya merupakan kekhususan Allah dan sesuatu yang dijadikanNya  dapat dilakukan oleh si makhluk akan tetapi atas takdirNya pula.

Rujukan:
Kumpulan fatwa dari sekelompok Ulama, Dar al-Arqam, Juz I, hal. 37-38.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Thaghut

Pertanyaan:
Kapan kita menunjuk nama dan diri seseorang sebagai thaghut?

Jawaban:
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada RasulNya, keluarga besar serta para sahabatnya, wa ba'du:

Hal itu bisa dilakukan, bila dia mengajak kepada kesyirikan, beribadah kepada dirinya, mengklaim mengetahui sesuatu dari ilmu  ghaib atau berhukum kepada selian hukum Allah secara sengaja dan lain sebagainya. Ibnu al-Qayyim -rohimahullah- berkata, "Thaghut adalah setiap tindakan yang melampaui batasan, baik terhadap sesuatu yang disembah, diikuti atau dipatuhi."

Wa billahi at-Taufiq, Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Rujukan:
Kumpulan Fatwa Lajnah Da'imah, Juz II, hal. 543.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com

Ucapan, "Sesungguhnya Allah Berada Di Setiap Tempat [Dimana-mana]"
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Saya teringat sebuah kisah di salah satu stasiun radio saat salah seorang anak bertanya kepada ayahnya tentang Allah, lalu sang ayah menjawab bahwa Allah berada di setiap tempat (di mana-mana). Pertanyaan yang ingin saya ajukan, "Bagaimana hukum syariat terhadap jawaban yang seperti ini?"

Jawaban:
Itu adalah jawaban yang batil dan termasuk ucapan ahli bid'ah seperti Jahmiyyah, Mu'tazilah dan orang yang sejalan dengan madzhab mereka.

Jawaban yang tepat dan sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah سبحانه و تعالى berada di langit, di Arasy, di atas seluruh makhlukNya dan ilmuNya meliputi semua tempat sebagaimana yang didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an, hadits-hadits Nabi dan ijma' ulama Salaf. Di dalam al-Qur'an, Allah berfirman,

"Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy." (Al-A'raf: 54).

Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan mengulang-ulangnya dalam enam ayat yang lain di dalam kitabNya.

Makna istiwa' menurut Ahlussunnah adalah tinggi dan naik di atas Arasy sesuai dengan keagungan Allah سبحانه و تعالى, tidak ada yang mengetahui caranya selainNya. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik ketika ditanya tentang hal itu,

اَلاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسَّؤُالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

"(Yang namanya) Istiwa' itu sudah dimaklumi sedangkan caranya tidak diketahui, beriman dengannya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."

Yang dimaksud oleh beliau adalah bertanya tentang bagaimana caranya. Ucapan semakna berasal pula dari syaikh beliau, Rabiah bin Abdurrahman. Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah. Ucapan semacam ini adalah pendapat seluruh Ahlussunnah; para sahabat dan para tokoh ulama Islam setelah mereka.

Allah telah menginformasikan dalam ayat-ayat yang lain bahwa Dia berada di langit dan di ketinggian, seperti dalam firman-firmanNya,

"Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar." (Ghafir: 12).

"KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya." ( Fathir: 10).

"Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (Al-Baqarah: 255).

"Apakah kamu merasa terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu." (Al-Mulk: 16-17).

Allah telah menjelaskan secara gamblang dalam banyak ayat di dalam kitabNya yang mulia bahwa Dia berada di langit, di ketinggian dan hal ini selaras dengan indikasi ayat-ayat seputar 'istiwa''.

Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan ahli bid'ah bahwa Allah سبحانه و تعالى berada di setiap tempat (di mana-mana) tidak lain adalah sebatil-batil perkataan. Ini pada hakikatnya adalah madzhab 'al-Hulul' (semacam reinkarnasi-penj.) yang diada-adakan  dan sesat bahkan merupakan kekufuran dan pendustaan terhadap Allah سبحانه و تعالى serta pendustaan terhadap RasulNya صلی الله عليه وسلم di mana secara shahih bersumber dari beliau menyatakan bahwa Rabbnya berada di langit, seperti sabda beliau,

أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟

"Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku ini adalah amin (orang kepercayaan) Dzat Yang berada di langit?" (Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi, no. 4351; Shahih Muslim, kitab az-Zakah, no. 144, 1064).

Demikian pula yang terdapat di dalam hadits-hadits tentang Isra' dan Mi'raj serta selainnya.

Rujukan:
Majalah ad-Da'wah, vol.1288, Fatwa Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: aqidah
Sumber: http://fatwa-ulama.com
Produced by SalafiDB 3.0 (freeware)
http://salafidb.googlepages.com

0 comments:

Post a Comment