109-Bagaimana hukumnya jika keluarga si mayit membuat satu shaf (barisan) di sisi kuburan setelah pengkuburan jenazah, agar para pelayat mentakziyah mereka?[2]
Jawab:
Keluarga mayit melakukan hal ini, demi memudahkan setiap orang yang hendak melayat mereka, sehingga mereka mengetahui wali-wali si mayit dan keluarganya, kemudian memberikan takziyah (rasa turut berduka cita) kepada mereka.
Tetapi tidak pantas, jika para pelayat itu mengusap dada mereka dan menciumi mereka. Karena perbuatan ini tidak ada dalilnya. Dan takziyah itu, khusus diberikan oleh orang terdekat, sahabat, atau kerabat, kepada orang yang tertimpa musibah dengan kematian seorang keluarganya.
110-Sebagian orang, jika ada anggota keluarganya yang meninggal dunia, ia langsung mengumpulkan seluruh keluarga dan saudaranya di rumah si mayit atau di rumah lain. Sehingga orang-orang mendatangi mereka di rumah tersebut untuk bertakziyah. Maka bagaimana hukum hal ini?
Jawab:
Tidak masalah jika saudara dan putra-putra si mayit berkumpul dalam rumah si mayit, meskipun mereka semua datang dan berkumpul dari rumah masing-masing. Yang demikian itu, agar para pelayat mendatangi mereka dan mendapati semua keluarga si mayit berkumpul di satu tempat. Tentunya hal ini memudahkan sang pelayat, daripada ia mendatangi mereka satu-persatu di setiap rumah masing-masing. Perbuatan ini dibolehkan, tetapi dengan syarat; dalam perkumpulan di rumah mayit ini tidak ada niyahah dan tangisan atas si mayit.
111-Zaman sekarang, banyak orang menyampaikan ucapan takziyah dengan lafadz yang tidak terdapat dalam syariat, dan sebagian orang malah mengikuti semacam wirid-wirid yang ia ucapkan. akhirnya hal ini menjadi sebuah kebiasaan, seperti ucapan seorang pelayat,
((أَحْسَنَ اللهُ عَزَاكَ))
"Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala Memberikan kepada anda kesabaran yang melimpah."
Kemudian pihak yang ditakziyahi menjawab,
((اَللهُ يَقْبَلُ دُعَاءَكَ))
"Semoga allah Subhanahu wa Ta’ala Mengabulkan doa anda."
Pertanyaan kami, bagaimana hukum hal ini menurut anda?
Jawab:
Menurut kenyataan yang ada, pada umumnya orang-orang mengambil ucapan takziyah ini dari syariat. Karena dalam sebuah hadits dikatakan,
((مَنْ عَزَّى مُصَاباً فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ))[3]
"Barangsiapa menghibur seseorang yang tertimpa musibah, maka ia mendapat pahala seperti orang yang tertimpa musibah itu."
Jadi! Ucapan kita misalnya, "عَزَّى فُلاَنٌ فُلاَنًـا" artinya, si fulan sedang menghibur si fulan yang lain.
Sedangkan yang sunnah, hendaklah seorang pelayat mengatakan,
جَبَرَ اللهُ مُصِيْبَتَكَ وَأَخْلَفَ عَلَيْكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
"Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala Memulihkan musibah anda, mengganti anda dengan yang lebih baik, dan mengampuni si mayit anda."
atau mengucapkan,
إِنَّ فِي اللهِ عَزَاءً مِنْ كُلِّ فَائِتٍ وَخَلَفًا مِنْ كُلِّ هَالِكٍ
"Sesungguhnya allah Subhanahu wa Ta’ala Memiliki penghibur yang lebih baik dari segala yang hilang, dan Memiliki pengganti yang lebih baik dari segala yang meninggal."
atau mengucapkan,
بِاللهِ ثِقُوْا، وَإِياَّهُ فَارْجُوْا
"Percalah kepada allah! dan hanya kepada-Nya-lah hendaknya kalian berharap."
atau mengucapkan,
إِنَّ الْمُصَابَ مَنْ حُرِمَ الثَّوَابَ
"Sesungguhnya yang orang tertimpa musibah adalah seseorang yang diharamkan dari pahala."
atau menganjurkan kepada mereka untuk banyak ber-istirja`[4], bersabar, dan mendoakan si mayit. Jadi kesimpulannya, ucapan, "Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa anda" dan "Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala mengganti musibah anda dengan yang lebih baik" tidak masalah insya allah.
112-Kami perhatikan bahwa kebanyakan orang ketika bertakziyah, mereka menciumi dan merangkul orang yang ditakziyahi itu. Sebagian orang mengingkari perbuatan ini dan mengatakan, takziyah itu hanya salaman saja. Bagaimana pendapat anda tentang kedua hal tersebut?[5]
Jawab:
Yang afdhal saat bertakziyah dan bertemu dengan orang lain hanyalah bersalaman saja. Kecuali jika yang bertakziyah atau yang hadir ini, datang dari perjalanan jauh. Maka disyariatkan atasnya untuk bersalaman dan berangkulan. Sesuai dengan ucapan anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,
((كَانَ أَصْحاَبُ النَّبِيِّ إِذَا تَلاَقُوْا تَصَافَحُوْا، وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعاَنَقُوْا))
"adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, jika bertemu, mereka saling bersalaman, dan jika datang dari perjalanan jauh, mereka saling berangkulan."
113-Perbuatan yang dilakukan manusia saat takziyah di zaman ini, berupa menghidangkan makanan dan minuman seperti teh, kopi, serta kurma, bahkan ada yang sampai memberikan makanan kepada para pelayat. apakah perbuatan ini disyariatkan atau tidak?[6]
Jawab:
Yang disyariatkan ketika ada musibah kematian adalah bersikap sabar, mengharap pahala dari allah Subhanahu wa Ta’ala, menjauhi segala perbuatan bid`ah dan hal-hal baru saat takziyah. Diantara perbuatan bid`ah tadi yaitu mengadakan upacara-upacara peringatan, menyewa orang-orang untuk membaca al-qur`an, dan menghidangkan makanan dari pihak si mayit kepada para hadirin yang berkumpul.
Sesungguhnya yang diperintahkan oleh Islam adalah kebalikan hal di atas. Yaitu kita membuat makanan secukupnya buat keluarga si mayit, karena keluarga si mayit tersibukkan diri dengan musibah, sehingga mereka tidak sempat membuat makanan sendiri.
114-Beberapa pentakziyah, ada yang memberikan uang kepada keluarga si mayit tergantung kemampuan masing-masing. apakah perbuatan ini dibolehkan? Jazakumullah khairan[7].
Jawab:
Yang sunnah, seharusnya para pentakziyah itu membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mendengar kabar kematian Ja`far bin abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu di medan perang Mu`tah, beliau berkata kepada istri-istri beliau,
((اِصْنَعُوْا ِلأَهْلِ جَعْفَرَ طَعَاماً فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ))[8]
"Buatlah makanan buat keluarga Ja`far, karena mereka mendapat musibah yang menyibukkan mereka."
Maka, jika para pentakziyah membuat makanan agar dimakan oleh keluarga si mayit, maka ini adalah yang terbaik. adapun memberikan uang kepada mereka, hal ini tidak perlu dilakukan, kecuali keluarga si mayit adalah orang-orang fakir dan sangat membutuhkan. Meski demikian, uang ini tidak diberikan kepada mereka saat bertakziyah, tapi diberikan beberapa waktu setelah peristiwa ini.
115-Bolehkah pergi mentakziyah mayit, jika disana terdapat perbuatan bid`ah seperti membaca al-qur`an sambil mengangkat kedua tangan sebelum pengucapan salam? Jazakumullah khairan[9].
Jawab:
Yang sunnah adalah menziarahi keluarga mayit untuk mentakziyah (menghibur) mereka. Jika disana terdapat perbuatan mungkar, maka perbuatan ini kita ingkari dan kita jelaskan. Jadi disini kita –si pentakziyah- malah menggabungkan antara dua kemaslahatan. Memberikan takziyah kepada mereka dan mengingkari serta menasehati mereka.
Tetapi, jika yang mereka lakukan sekedar membaca al-qur`an maka ini tidak apa-apa. Seandainya mereka berkumpul, kemudian salah satu dari mereka membaca al-qur`an, apakah itu membaca al-fatihah atau surat yang lain, maka ini tidak apa-apa dan bukan suatu perbuatan mungkar. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, setiap beliau berkumpul dengan para sahabatnya, beliau pasti membaca al-qur`an.
Karena itu, jika mereka berkumpul di suatu majlis bersama para pentakziyah, kemudian seseorang atau beberapa orang dari mereka membaca al-qur`an, maka ini lebih baik daripada diam saja. Tetapi jika ada perbuatan lainnya yang bid`ah, seperti jika keluarga si mayit membuatkan makanan buat para pentakziyah, maka seharusnya mereka diberitahu dan dinasehati agar meninggalkan perbuatan ini.
Jadi! Bagi seorang pelayat, jika melihat suatu perbuatan mungkar, hendaklah ia memberikan nasehat. Karena allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
"Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kepada allah, sesungguhnya allah amat berat siksa-Nya." (QS. al-Maidah: 2)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ))[10]
"Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah kemungkaran itu dengan tangan (kekuasaan) nya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir inilah selemah-selemah iman."
adapun pertanyaan anda, yang disitu anda mengatakan bahwa seorang pentakziyah harus mengangkat kedua tangan dan harus membaca al-qur`an sebelum masuk atau sebelum mengucap salam, maka ini adalah perbuatan bid`ah yang tidak ada dalilnya dalam agama. Tetapi jika seseorang membacakan al-qur`an buat para hadirin agar mereka mengambil faedah dari bacaan al-qur`an itu, maka ini tidak apa-apa.
116-Membaca al-qur`an di samping kuburan, bagaimana hukum perbuatan ini menurut Islam? Dan bagaimana pula dengan membaca al-qur`an yang dibaca minimal tiga hari di rumah si mayit?[11]
Jawab:
Pertama: Membaca al-qur`an di samping kuburan adalah haram. Sedangkan yang benar dari dua pendapat para ulama`, sesungguhnya pahala bacaan al-qur`an tidak sampai kepada si mayit, tetapi ini merupakan perbuatan bid`ah yang sangat diingkari. Dalam hal ini kami telah mengeluarkan fatwa terhadap pertanyaan serupa. Fatwa itu berbunyi seperti di bawah ini,
Membaca al-qur`an adalah salah satu ibadah badaniyah[12] mahdhah yang kita tidak boleh mengambil upah dari membacakannya untuk si mayit, juga tidak boleh membayar upah kepada orang yang membacakannya. Lagi pula dalam pembacaan al-qur`an buat si mayit ini tidak ada pahala sama sekali, tetapi orang yang mengambil upah atau membayarkannya, keduanya malah berdosa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak sah jika kita menyewa seseorang untuk membaca al-qur`an, kemudian menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada si mayit. Karena perbuatan ini tidak pernah dinukil dari seorang imam sedikitpun. Sementara para ulama telah berkata: 'Sesungguhnya orang yang membaca al-qur`an demi uang, maka tidak ada pahala baginya.' Kalau sudah begini, maka pahala manakah yang dihadiahkan kepada si mayit?!"
Kita harus tahu, bahwa pada dasarnya segala bentuk ibadah adalah dilarang. Jadi, kita tidak boleh melakukan ibadah apapun kecuali ada dalil syar`i yang memerintahkannya. allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ....
"Taatilah allah Subhanahu wa Ta’ala dan taatilah Rasul-Nya." (QS. an-Nisa`: 95)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))[13]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak."
Sedangkan dalam riwayat lain beliau bersabda,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))[14]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Jadi! Segala perbuatan baru yang tidak ada ketentuan dan perintahnya dari allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya, adalah ditolak dan dikembalikan kepada para pelakunya. Sedangkan perbuatan yang anda tanyakan pada masalah ini, kami tidak pernah mendapati bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam atau salah seorang sahabat beliau mengerjakan perbuatan tersebut. Padahal sebaik-baik ajaran adalah ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang beliau tidak pernah melakukannya.
Sesungguhnya kebahagiaan itu, hanya diperoleh seseorang ketika ia mengikuti segala yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ditambah dengan tulusnya niat. allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,
"Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada allah-lah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman: 22)
allah Subhanahu wa Ta’ala juga Berfirman,
"Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. al-Baqarah: 112)
Sesungguhnya segala bentuk keburukan, datangnya akibat menyalahi apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan memalingkan niat suatu perbuatan untuk selain wajah allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua: Menetap di kediaman si mayit atau kediaman orang lain selama tiga hari atau lebih dalam rangka ta`ziyah dan membaca al-qur`an buat si mayit, ini adalah perbuatan bid`ah yang dilarang.
117-Jika ada orang kafir yang meninggal dunia, bolehkah kita bertakziyah kepada keluarganya? Karena sebagian kaum muslimin, ada yang melakukan hal ini karena basa basi.
Jawab:
Kaum muslimin tidak boleh bertakziyah kepada keluarga mayit yang kafir, tidak boleh menghibur mereka, tidak boleh mendoakan si mayit yang kafir, juga tidak boleh berbelas kasih kepadanya.
Sebagaimana kita tidak boleh berucap salam kepada orang-orang kafir itu, tidak boleh menjawab bersin mereka, tidak boleh berbelas kasih kepada orang-orang mati yang kafir, dan tidak boleh mendoakan mereka dengan doa apapun.
118-ada seorang lelaki muslim, sementara ayahnya beragama kafir. Kemudian si ayah ini meninggal dunia atas kekafirannya. Pertanyaan saya, bolehkah saya bertakziyah kepada anak yang muslim ini?
Jawab:
Mengenai putra yang muslim, maka sepatutnya bagi kita, kaum muslimin, untuk memberikan semangat dan dorongan atas keIslamannya. Kita berdoa kepada allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia ditetapkan atas keIslaman itu. Juga mengingatkannya dengan keadaan dia dan keadaan sang ayah, serta nikmat allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya atas keIslaman.
adapun berdoa buat si mayit yang kafir maka hal ini selamanya dilarang. Tetapi saya berpendapat, tidak masalah jika seorang muslim bertakziyah kepada sang putra yang muslim dan menghiburnya, tanpa berdoa buat si mayit yang kafir.
119-Bagaimana hukum allah Subhanahu wa Ta’ala atas kaum muslimin yang menghadiri jenazah orang-orang kafir? Karena perbuatan ini sudah menjadi kebiasaan yang berbau politik dan adat yang disepakati.[15]
Jawab:
Jika diantara orang-orang kafir, ada beberapa orang yang mengurus penguburan orang mati mereka, maka kaum muslimin dilarang ikut serta dalam pengurusan itu. Kaum muslimin dilarang membantu orang-orang kafir dalam mengubur orang-orang mati mereka, atau berbasa basi dengan mengiringi jenazah mereka. Karena perbuatan semacam ini tidak pernah dikenal dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan tidak pula dari para khulafa` rasyidin.
Tetapi allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya malah melarang para sahabat untuk berdiri di samping kuburan abdullah bin Ubai bin Salul. Hal itu karena kekafirannya. allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,
"Janganlah sekali-kali kamu menyembayangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan jangan pula kamu berdiri (mendo`akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS. at-Taubah: 84)
Tetapi, jika tidak ada seorang kafirpun yang mengubur jenazah kafir ini, maka kaum musliminlah yang mengurus penguburan jenazah itu, seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap mayat orang-orang kafir yang terbunuh dalam perang Badar.
120-Sebagian orang, memang tidak mendoakan si mayit yang kafir, tetapi ia berusaha menyabarkan keluarga si mayit atas kepergiannya. Menurut anda bagaimana hukum perbuatan ini?
Jawab:
Seorang muslim dilarang mentakziyah atau menghibur keluarga mayit yang kafir. Ia tidak boleh mendoakan orang-orang mati yang kafir dari mereka, dan tidak boleh menyabarkan mereka, jika mereka adalah orang-orang kafir.
121-Bagaimana hukum Islam mengenai pernyataan bela sungkawa yang ditulis di koran-koran. Bahkan kami kadang-kadang mendapati photo si mayit dalam pernyataan bela sungkawa ini?[16]
Jawab:
Tidak masalah jika kita menyebarkan berita di Koran-koran; tentang kematian beberapa orang yang dikenal dengan kebaikan atau kesalihan mereka. Hal itu agar banyak dari kaum muslimin yang berbelas kasih kepada mereka dan mendoakan.
Tetapi kita tidak boleh memuji mereka dengan hal-hal yang tidak mereka lakukan. Karena itu sebuah kebohongan yang nyata. Kita juga tidak boleh memastikan bahwa salah seorang dari mereka adalah penduduk Surga secara yakin. Karena aqidah ahlus sunnah, mereka tidak memastikan buat siapapun dengan Surga atau Neraka. Tetapi kita mengharap hal itu bagi orang-orang yang baik, dan mencemaskannya atas orang-orang yang berdosa. allahu a`lam.
122-Pada harian surat kabar dan majalah-majalah zaman sekarang, marak sekali pernyataan turut berduka cita dari berbagai kalangan atas kematian seseorang. Hal itu berupa pemberitahuan bahwa si fulan bin fulan telah meninggal dunia pada hari ini dan itu. Bahkan kadang-kadang di antara mereka ada yang mencantumkan di atas pernyataan duka cita itu, firman allah Subhanahu wa Ta’ala di bawah ini,
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (QS. al-Fajr: 27-28)
122-Menurut anda bagaimana hukum perbuatan seperti ini?
Jawab:
Sebenarnya yang dilarang pada saat seperti ini adalah mengeraskan suara dengan ratapan, tangisan, atau perbuatan lain yang serupa, karena kematian si mayit. adapun pemberitahuan seperti yang anda sebutkan ini, maka itu sekedar pengumuman perihal kematian seseorang. Yang maksud dari hal itu biasanya, agar seluruh kawan si mayit mengetahui kematiannya. Sehingga mereka datang kepada keluarganya untuk bertakziyah dan hal-hal lain yang seperti itu.
Tetapi tidak patut, jika si mayit itu diberi rekomendasi dengan ucapan yang semestinya tidak pantas dia dapatkan. atau ada yang bersaksi bahwa dia adalah termasuk penghuni Surga. atau ditulis pada kertas pengumumannya firman allah Subhanahu wa Ta’ala ini,
" Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku. " (QS. al-Fajr: 29-30)
atau hal-hal lain yang semacam itu. Karena masuknya seseorang ke dalam Surga, adalah urusan allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tetapi yang mesti kita ucapkan adalah, "Kami mengharap limpahan rahmat bagi si mayit, kami mengharap kebagusan baginya, kami mengenalnya sebagai orang yang selalu istiqamah, dan orang yang bagus aqidahnya."
123-ada hal lain yang juga marak pada sebagian orang. Yaitu istilah yang sering mereka sebut dengan, "Makan malam dari si mayit."[17] Yaitu jika seseorang dari mereka membuat makanan, kemudian mensadaqahkan makanan itu kepada kaum fakir miskin, dan menghadiahkan pahala sadaqah itu kepada ayah atau saudaranya yang meninggal dunia, atau siapapun selain mereka berdua. Bagaimana hukum hal ini? Dan bagaimana pula hukum pengkhususan pada istilah, "Makam malam dari si mayit" itu?
Jawab:
Sebenarnya... shadaqah yang kita mengharap pahalanya, memang diberikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang lemah. Maka, orang yang bersadaqah itu memberikan makanan kepada fakir miskin dan meniatkan pahalanya buat si mayit. Hal ini tidak menjadi masalah. Sama saja, apakah hadiah yang diberikan kepada si mayit berasal dari pahala sadaqah harta, atau dari pahala sadaqah makanan.
Tetapi yang lebih utama adalah menamakan perbuatan ini dengan istilah, "Sadaqah atas si mayit" bukan diberi nama dengan, "Makan malam dari si mayit" atau istilah-istilah lainnya.
124-apakah menyembelih binatang pada malam masuknya si mayit ke dalam kuburan dibolehkan oleh agama. Ini adalah kebiasaan yang sering disebut orang-orang dengan istilah, "Makan malam dari si mayit", sekiranya semua orang diundang untuk memakan sembelihan itu. Mereka meyakini hal itu sebagai shadaqah dari ruh si mayit?[18]
Jawab:
Menyembelih binatang pada malam kematian si mayit, kemudian memberi makan para manusia dengan sembelihan itu dalam sebuah jamuan, ini termasuk perbuatan bid`ah yang diharamkan. Karena dalam syariat, tidak ada penjelasan tentang perbuatan ini, dan tidak ada pula penjelasan mengenai penentuan waktu untuk bersadaqah atas nama si mayit.
Dari sisi lain, perbuatan ini sangat merugikan ahli waris si mayit. Yaitu jika binatang sembelihan dan makanan ini dari hasil peninggalan si mayit. Yang barangkali diantara ahli waris itu ada yang masih kecil dan ada yang fakir. Jadi ini sangat merugikan mereka. apalagi, seperti yang kami kemukakan di atas, bahwa ini adalah perbuatan bid`ah dalam syariat Islam. Kita tidak boleh mengamalkan dan meneruskan kebiasaan ini.
Barangsiapa yang ingin bersadaqah atas nama si mayit, berupa makanan, daging, atau lainnya, maka dia harus bersadaqah buat si mayit dari uang pribadinya dan pada saat-saat yang diperlukan, tanpa keterkaitan dengan malam atau waktu tertentu.
Sedangkan kebiasaan dan adat istiadat yang menyalahi syariat Islam, kita tidak boleh mengamalkannya.
125-Beberapa wanita, ada yang selalu memakai baju-baju hitam selama beberapa waktu ketika ada kerabatnya yang meninggal dunia. Bagaimana hukum hal semacam ini?
Jawab:
Pada dasarnya, tidak ada dalil untuk penentuan warna hitam pada baju yang dikenakan seorang wanita. Mestinya, yang dikenakan wanita pada saat berkabung, adalah baju yang biasa dipakainya di dalam rumah. Hanya saja, ia diharuskan menghindari baju-baju yang berhias, ia hanya boleh mengenakan baju-baju yang tidak ada hiasannya. Sama saja, apakah baju itu berwarna merah, hijau, hitam, atau warna-warna lainnya. Yang penting baju itu tidak ada hiasannya.
126-Ketika ada kematian, orang-orang banyak berkumpul di kediaman sang mayit di luar rumah. Disitu dipasang lampu-lampu listrik yang menyerupai pesta perkawinan. Kemudian keluarga si mayit berbaris menjadi satu, lalu setiap orang yang hendak mengucapkan bela sungkawa, melewati mereka satu persatu. Setiap pentakziyah, meletakkan tangannya pada dada masing-masing orang dari keluarga si mayit sambil mengucapkan, "Semoga allah melimpahkan pahala anda."
apakah perkumpulan seperti ini, dan perbuatan semacam ini sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam? Jika tidak sesuai dengan sunnah, maka apakah yang disunnahkan dalam hal ini?[19]
Jawab:
Perbuatan ini tidak sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan kami tidak mendapati dalilnya dalam agama yang suci ini. Yang disunnahkan dalam kematian adalah, bertakziyah kepada keluarga si mayit tanpa tata cara tertentu, dan tanpa perkumpulan tertentu seperti perkumpulan ini.
Yang disyariatkan kepada setiap muslim adalah bertakziyah kepada keluarga si mayit, setelah nyawa keluar dari tubuh si mayit. apakah takziyah itu dilakukannya di rumah, di jalan, di masjid, atau di kuburan. Sama saja, apakah takziyah itu dilakukan setelah shalat jenazah atau sebelumnya.
Jika kita bertemu dengan keluarga si mayit, kita disyariatkan untuk menyalaminya, dan mendoakannya dengan doa yang sesuai. Seperti mengucapkan,
"أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَجَبَرَ مُصِيْبَكَ"
Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan pahala anda, menghibur anda dengan baik, dan memulihkan musibah yang menimpa anda ini."
Jika si mayit adalah orang Islam, maka kita memintakan ampun dan rahmat baginya.
Demikian pula dengan para wanita diantara mereka. Satu sama lain saling mengucapkan takziyah. Seorang lelaki mentakziyah wanita, dan wanita mentakziyah lelaki tanpa berkhalwat dan tanpa menjabat tangan, jika wanita itu bukan mahramnya...
Mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala Senantiasa Memberikan taufiq kepada kaum muslimin untuk tafaqquh fi ad-din[20] dan tsabat[21] pada agama ini. amin!
127-Sebagian orang, ada yang membuat pesta dan menyembelih binatang ketika seorang kerabatnya meninggal dunia. Biaya pesta ini diambil dari harta si mayit. Bagaimana hukum perbuatan semacam ini?
Dan jika si mayit berwasiyat kepada ahli waris untuk mengadakan pesta ini setelah kematiannya, apakah Islam mengharuskan para ahli waris itu melaksanakan wasiat tersebut?[22]
Jawab:
Berwasiat untuk mengadakan pesta setelah kematian adalah perbuatan bid`ah dan termasuk perbuatan jahiliyah. Sama halnya dengan perbuatan yang dilakukan keluarga si mayit dalam rangka mengadakan pesta di atas jika melakukannya tanpa ada wasiat dari si mayti. Semua ini adalah perbuatan mungkar yang kita tidak boleh melakukannya.
Karena ada sebuah hadits dari Jarir bin abdullah al-Bajali Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((كُناَّ نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَةَ الطَّعاَمِ بَعْدَ الدَّفْنِ مِنَ النِّياَحَةِ))[23]
"Kami dulu (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam) menganggap perkumpulan di rumah keluarga si mayit dan membuat makanan setelah mayit dikubur adalah termasuk niyahah."
Juga karena hal itu menyalahi agama yang disyariatkan allah Subhanahu wa Ta’ala, berupa membantu keluarga si mayit dengan membuat makanan untuk mereka, karena mereka sibuk dengan musibah yang menimpa ini. Sesuai dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam saat beliau mendengar kabar kematian Ja`far bin abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu di medan perang Mu`tah. Beliau berkata kepada para istrinya,
((اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرَ طَعَاماً فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ))[24]
"Buatlah makanan buat keluarga Ja`far, karena mereka mendapat musibah yang menyibukkan mereka."
128-Kadangkala ada seseorang yang meninggal dunia karena bunuh diri, atau seorang pemabuk yang menenggak sejumlah besar minuman memabukkan yang menyebabkan kematiannya, atau ada seseorang yang dibunuh orang lain karena menyelamatkan diri dari keburukan orang yang terbunuh itu... pertanyaan saya, bolehkah saya mendatangi orang tua wanita si mayit yang meninggal karena beberapa sebab di atas, atau mendatangi kerabat mayit lainnya yang mempunyai hubungan dengan si mayit. Karena saya sangat ragu-ragu dalam hal ini, apakah saya harus pergi bertakziyah atau tidak?[25]
Jawab:
Tidak masalah untuk melakukan takziyah dalam kondisi seperti ini. Bahkan hal ini sangat dianjurkan, meskipun yang meninggal adalah seorang ahli maksiat atau pendosa lainnya. Sebagaimana takziyah itu dianjurkan untuk kita lakukan kepada keluarga mayit yang dibunuh karena qishash, atau rajam seperti seorang penzina yang sudah menikah.
Demikian pula dengan seseorang yang meminum arak hingga mati karena minuman memabukkan itu. Tidak ada larangan bagi kita untuk mentakziyah keluarganya dalam hal ini. Juga tidak ada larangan bagi kita untuk memintakan ampunan dan rahmat kepada allah Subhanahu wa Ta’ala buat si pelaku maksiat itu.
Dan si mayit ini tetap dimandikan serta dishalati. Tetapi ada orang-orang tertentu yang tidak boleh ikut dalam proses penshalatan jenazah ini seperti, sultan, hakim dan pejabat lainnya. agar orang-orang menjadi jera dan tahu bahwa perbuatan buruk ini tidak patut dikerjakan. Tetapi yang menshalatinya adalah orang-orang awam kebanyakan.
Sedangkan orang yang meninggal karena dianiaya orang lain, maka dia disini adalah orang yang terdzalimi. Ia harus kita shalati dan kita doakan jika ia seorang muslim. Demikian pula dengan seseorang yang mati karena diqishash –seperti yang kami terangkan di atas-, ia tetap dishalati, didoakan, dan ditakziyahi keluarganya jika ia seorang muslim dan tidak ada alasan apapun yang menghukuminya sebagai seseorang yang murtad (keluar dari Islam).
129-Mengenai takziyah dan berkumpul untuk takziyah yang dilarang. Sebagian orang, jika kami memberitahu mereka bahwa perbuatan ini adalah bid`ah, dia menjawab, "Kami melakukan ini tidak dimaksudkan untuk ibadah, tetapi hanya sebagai adat istiadat belaka." Bagaimana membantah ucapan seperti ini?[26]
Jawab:
Cara menjawab ucapan ini, kita katakan bahwa takziyah adalah sunnah. Jadi takziyah itu termasuk ibadah. Sehingga, jika ibadah itu diserupakan dalam bentuk seperti ini, yang bentuk itu tidak pernah dikenal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka itu adalah perbuatan bid`ah.
Karena itulah pahala diberikan kepada seseorang, sebab keutamaannya dalam melakukan takziyah terhadap orang yang tertimpa musibah. Karena takziyah adalah ibadah, dan pahala itu tidak diberikan kecuali atas ibadah saja.
130-Diantara penyimpangan yang menyebar di kalangan manusia, mereka meyakini bahwa takziyah tidak boleh dilakukan setelah tiga hari dari kematian si mayit.[27]
Jawab:
Sebagian ulama memang menyebutkan pernyataan ini. Tetapi yang benar, takziyah itu boleh dilakukan meski setelah tiga hari, selama orang yang tertimpa musibah itu belum melupakan musibah yang menimpanya. Karena maksud dari takziyah adalah, menguatkan orang yang tertimpa musibah dalam berlaku sabar.
Hanya saja takziyah ini tidak boleh kita ulangi lagi, karena bisa jadi perkataan yang kita ucapkan dulu membuat orang yang kesusahan itu menjadi teringat kembali.
131-Kebanyakan manusia, jika seorang kerabatnya ada yang meninggal dunia, mereka membuat pesta makan selama dua atau tiga hari berturut-turut untuk menyambut para pentakziyah yang datang, baik dari jauh ataupun dekat. apakah perbuatan ini dibenarkan?[28]
Jawab:
Ini adalah perbuatan bid`ah. Karena para sahabat menganggap bahwa membuat makanan dan berkumpul karena kematian si mayit adalah termasuk niyahah.
Sumber Referensi :
[1] Takziyah dalam bahasa kita adalah melayat, atau memberikan ucapan turut berduka cita, atau menghibur keluarga si mayit dari musibah yang baru saja menimpanya.
[2] Ibnu Utsaimin, Majmu` durus wa fatawa al-haram al-makky, 3/364
[3] HR. at-Tirmidzi, dalam kitab al-janaiz, no. 993
[4] Yaitu mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji`uun.
[5] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 1579
[6] Salih al-Fauzan, majalah ad-dakwah, edisi. 1551
[7] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 1547
[8] HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-janaiz, no. 919 dari hadits abdullah bin Ja`far t; juga Ibnu Majah, bab ma ja-a fi al-janaiz, no. 1599
[9] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 1547
[10] HR. Muslim dalam kitab al-Iman, no. 70
[11] al-Lajnah ad-daimah, fatwa no. 2927.
[12] Ibadah yang dilakukan oleh anggota badan.
[13] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no. 3243
[14] Syarah sahih Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16, dan diriwayatkan pula oleh Imam al-Bukhari, kitab ash-Shulh, no. 2499; dan Imam ahmad, no. 24840
[15] Ibnu Baaz, Fatawa hai`at kibar al-ulama`, 2/351
[16] Ibnu Jibrin, harian "al-Muslimun", edisi. 45
[17] Mungkin dalam bahasa kita, kita lebih mengenalnya dengan selametan.
[18] Shalih al-Fauzan, al-Muntaqa, 1/76
[19] Ibnu Baz, majmu` fatawa wa maqalat mutanawwi`ah, 5/345
[20] Mendalami ajaran agama.
[21] Tetap kokoh dan teguh dalam menjalani ajaran agama.
[22] Ibnu Baz, Majmu` fatawa wa maqalat mutanawwi`ah, 4/347
[23] HR. Imam ahmad dengan sanad hasan.
[24] HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-janaiz, no. 919 dari hadits abdullah bin Ja`far t; juga Ibnu Majah, bab ma ja-a fi al-janaiz, no. 1599
[25] Ibnu Baz, Majmu` fatawa wa maqalat mutanawwi`ah, 4/227
[26] Ibnu Utsaimin, alfadz wa mafaahiim fi miizan asy-syari`ah, hlm. 42
[27] Ibnu Utsaimin, alfaadz wa mafaahim fi mizan asy-Syariah, hlm. 35
[28] Idem. Hlm. 33
0 comments:
Post a Comment