25-Bolehkah jika kita
meninggalkan jenazah di dalam kamar sendirian ketika hendak dishalati? Bagaimana
pendapat anda dengan keyakinan sebagian orang yang mengatakan bahwa syetan
bermain-main dengannya?
Jawab:
Tidak
menjadi masalah jika kita meninggalkan jenazah sendirian di dalam kamar atau di
dalam rumah. Tidak ada larangan dalam hal ini, apalagi kita tidak kawatir
jenazah tersebut akan dimakan binatang buas atau burung-burung ganas yang datang
karena mencium baunya. Tetapi kita tetap berusaha keras untuk mempersingkat
kepengurusan jenazah secepat mungkin. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ
تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[1]
"Dan
cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah
seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara
keluarganya."
Adapun
keyakinan orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah jika ditinggal sendirian,
maka akan dibuat main-main oleh syetan, sesungguhnya ini keyakinan yang tak ada
dasarnya. Sebab syetan tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap jenazah itu di
dunia, jika ia betul-betul seorang mukmin. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala berbunyi,
"Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya." (QS. An-Nahl: 99)
Jadi,
orang-orang yang beriman itu setelah meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala
Memelihara mereka dari keburukan para syetan tersebut. Allahu
a`lam.
26-Jika ada seseorang yang
berdiri dan berbicara sebelum mengerjakan shalat jenazah. Yakni memuji-muji
mayit dan menyebut-nyebut kebaikan serta amal salehnya kepada para hadirin agar
mereka tahu amal perbuatannya sewaktu hidup. Apakah hal ini diperbolehkan atau
tidak?[2]
Jawab:
Tidak boleh bagi siapapun sebelum shalat jenazah untuk berbicara dan
menyebut-nyebut amal saleh sang mayit. Karena hal itu termasuk perbuatan bid`ah.
Yang disyariatkan kepada kita hanyalah menyuruh para hadirin agar berdoa buat si
mayit. Setiap orang berdoa sendiri-sendiri tidak berdoa secara
berjamaah.
27-Apakah membuat shaf di sebelah kanan Imam, disyariatkan ketika shalat
jenazah?
Jawab:
Pada dasarnya, seluruh shaf itu letaknya di belakang imam. Baik itu dalam
shalat jenazah atau shalat-shalat lainnya yang kita diperintah mengerjakannya
secara berjamaah, selama tempatnya luas dan mencakup seluruh
jamaah.
Adapun mengenai shalatnya Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu diantara
Alqamah Radhiyallahu ‘anhu dan Al-Aswad Radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu
dikarenakan sempitnya tempat. Hal ini diterangkan dalam hadits riwayat Abu Dawud
dan selainnya[3]. Jadi yang sahih, ini hanyalah perbuatan
Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu. Barangsiapa menghukumi hal ini sebagai
marfu`, atau meyakini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka
ia telah berbuat tidak benar.
Kemudian kita harus tahu, bahwa dalam shalat jenazah, diutamakan jika
orang-orang yang menyalati itu jumlahnya sebanyak tiga shaf. Sesuai dengan
hadits Malik bin Hubairah Radhiyallahu ‘anhu yang marfu` dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam, bahwa beliau bersabda,
((مَا مِنْ
مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
إِلاَّ أُوْجِبَ))[4]
"Tiada seorang muslim yang meninggal dunia, kemudian ia dishalati tiga
shaf dari kaum muslimin, kecuali doa mereka dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala."
Karena hadits di atas inilah, setiap Malik bin Hubairah Radhiyallahu
‘anhu menganggap sedikit jumlah orang yang menyalati jenazah, ia langsung
membagi mereka menjadi tiga shaf sesuai hadits di atas.
Tetapi dzahir hadits ini bahwa para jamaah itu memang berjumlah tiga shaf
di belakang Imam, bukan dibagi menjadi tiga seperti pendapat Malik Radhiyallahu
‘anhu.
Ada
yang mengatakan bahwa imam tetap menjadikannya sebagai satu shaff (tidak perlu
membaginya menjadi tiga).
Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat, hendaknya beberapa orang yang
menyalati jenazah itu berdiri di samping kanan imam, agar menjadi satu shaf yang
terhitung. Tetapi asal dari perbuatan ini adalah tidak boleh, kecuali ada udzur,
seperti jika makmumnya hanya satu orang, atau tempatnya tidak cukup untuk
beberapa shaf. Allahu a`lam.
28-Apa hukum menyalati jenazah itu, dan bagaimana
sifatnya?
Jawab:
Hukum menyalati jenazah adalah fardhu kifayah. Sedangkan sifatnya,
hendaknya seorang imam berdiri di arah yang sejajar dengan dada jenazah lelaki
dan bagian tengah jenazah wanita. Kemudian dia bertakbir, membaca isti`adzah
(A`udzu billaahi minasy syaithoonirrojim), dan membaca al-fatihah. Kemudian ia
bertakbir untuk yang kedua kalinya, dan membaca shalawat atas Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Yaitu dengan mengucapkan,
((اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ
مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعاَلَمِيْنَ
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ))[5]
“Ya Allah! Bershalawatlah atas
Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau bershalawat atas Ibrahim dan
keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah! Berilah
berkah kepada kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau Memberi berkah
kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha terpuji dan Maha
Mulia.”
Kemudian bertakbir
untuk yang ketiga kalinya, dan berdoa untuk si mayit. Ada doa umum untuk shalat
jenazah pada rakaat ketiga ini. Yaitu,
((اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ وَمَيِّتِناَ، وَصَغِيْرِناَ
وَكَبِيْرِناَ، وَشاَهِدِناَ وَغاَئِبِناَ، وَذَكَرِناَ وَأُنْثَاناَ، إِنَّكَ
تَعْلَمُ مُنْقَلَبَنَا وَمَثْوَانَا، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،
اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَـيْـتَهُ مِناَّ فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ
تَوَفَّيْتَهُ فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ))
"Ya Allah! ampunilah orang hidup dan mati kami, yang kecil dan besar dari
kami, yang hadir dan tidak hadir dari kami, yang lelaki dan perempuan dari kami,
sesungguhnya Engkau Mengetahui akhiran dan tempat kembali kami. Engkau Maha
Mampu atas segala sesuatu. Ya Allah! Siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami,
maka hidupkanlah dia atas agama Islam. Dan siapa saja yang Engkau matikan, maka
matikanlah ia atas keimanan."
Sedangkan doa khususnya
adalah di bawah ini,
((اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ
الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا
خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ
وَقِهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ))[6]
"Ya Allah! Ampunilah dia, rahmatilah dia, beri perlindungan padanya,
maafkan dia, muliakan kedudukannya, luaskan kuburannya, serta mandikanlah ia
dengan air, salju, dan embun. Sucikanlah ia dari segala dosa dan kesalahan,
sebagaimana Engkau mensucikan baju putih dari kotoran. Berikan kepadanya rumah
yang lebih baik dari rumahnya di dunia, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya, dan istri yang lebih baik dari istrinya. Ya Allah! masukkanlah ia
ke dalam surga, dan jauhkan ia dari siksa kubur dan siksa
neraka."
Seorang muslim boleh
menambah kedua doa di atas dengan doa di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ،
وَاجْعَلْهُ عَلَيْهِ رَوْضَةً مِنْ رِياَضِ الْجَنَّةِ، وَآنِسْ وُحْشَتَهُ،
وَارْحَمْ غُرْبَتَهُ، وَضَاعِفْ حَسَناَتِهِ، وَكَفِّرْ سَيِّئاَتِهِ، وَارْفَعْ دَرَجاَتِهِ،
وَأَجْزِلْ مَثُوْبَتَهُ، وَاخْلُفْهُ فِيْ عَقِبِهِ بِخَيْرٍ))
"Ya Allah! Luaskan kuburannya dan terangi ia di dalamnya.
Jadikanlah kuburan itu satu taman dari taman-taman surga, hilangkan pula
kesepiannya dan kasihanilah keterasingannya, lipat gandakan pahalanya, hapuskan
dosa-dosanya, tinggikan derajatnya, perbanyak pahalanya, dan tinggalkan buat
keluarganya pengganti dia yang lebih baik."
Ia juga bisa mengucapkan doa di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ إِنَّهُ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ، نَزَلَ بِجِوَارِكَ،
وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، وَلاَ نَعْلَمُ إِلاَّ
خَيْراً))
"Ya Allah! sesungguhnya dia adalah
hamba Engkau, putra hamba Engkau. Ia sekarang menjadi tetangga Engkau, dan
Engkau adalah sebaik-baik tetangga yang disinggahi. Kita tidak mengetahui
dari-Mu selain hanya kebaikan."
Atau mengucapkan doa di
bawah ini juga,
((اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّهُ، وَأَنْتَ خَلَقْتَهُ، وَأَنْتَ قَبَضْتَ
رُوْحَهُ، وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِسِرِّهِ وَعَلاَنِيَتِهِ، جِئْنَا شُفَعَاءَ
إِلَيْكَ فَاغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ إِنْ كَانَ مُحْسِناً فَزِدْ فِيْ
إِحْساَنِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئاً فَتَجَاوَزْ عَنْهُ))
"Ya Allah! Engkau adalah Rabbnya, Engkau yang Menciptakannya, Engkau pula
yang mencabut nyawanya. Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui dengan segala yang
ia rahasiakan dan ia perlihatkan. Kami datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat
untuknya, maka ampunilah dia. Ya Allah! jika ia orang yang berbuat baik, maka
tambahkanlah kebaikan padanya. Jika dia orang yang tidak baik, maka ampunilah
dia."
Kemudian ia bertakbir lagi untuk yang keempat kalinya, ia berhenti
sebentar sambil membaca doa ini,
((اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَهُ، وَلاَ تَفْتِـنَّا بَعْدَهُ،
وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ))
"Ya Allah! Janganlah Engkau mengharamkan atas kami pahala seperti yang ia
dapat, jangan Engkau memberi fitnah kepada kami sepeninggalnya, dan ampunilah
kami juga dia."
Baru kemudian mengucapkan salam satu kali dan menoleh ke arah kanannya.
Jika jenazahnya adalah anak kecil, kita berdoa dengan doa yang umum di
bawah ini,
((اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ ذُخْرًا لِوَالِدَيْهِ، وَفَرَطاً، وَأَجْرًا،
وَشَفِيْعًا مُجَابًا، اَللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ
أُجُوْرَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَاجْعَلْهُ فِيْ
كَفَالَةِ إِبْرَاهِيْمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ
الْجَحِيْمِ))
"Ya Allah! jadikanlah anak kecil ini sebagai tabungan buat kedua orang
tuanya, sebagai pendahulu yang baik, sebagai pahala, dan sebagai pemberi syafaat
yang dikabulkan. Ya Allah! beratkan dengannya timbangan amal kedua orang tuanya.
Perbanyaklah dengannya pahala kedua orang tuanya, dan gabungkan ia bersama
orang-orang mukmin yang salih terdahulu. Masukkan ia ke dalam asuhan Nabi
Ibrahim ‘Alayhi Salam, dan hindarkan ia dengan rahmat-Mu dari siksa neraka
jahim."
Jika jenazahnya wanita, maka dhamirnya kita ganti menjadi
muannats seperti ini,
((اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا...))
Dan seterusnya.
Orang yang menyalati jenazah, harus mengangkat kedua
tangannya pada setiap takbir, kemudian meletakkannya di atas dada. Jika ia
bertakbir sebanyak lima atau enam kali, maka hal itu dibolehkan. Tetapi doa yang
khususnya tadi ia baca setelah rakaat ketiga, dan doa umumnya ia baca setelah
rakaat keempat.
Jika ia mengucapkan salam
sebanyak dua kali, ke kanan dan ke kiri, maka itu juga diperbolehkan. Hanya saja
ini menyalahi yang lebih utama. Allahu a`lam.
29-Apakah diharuskan membaca surat lain setelah al-fatihah ketika shalat
jenazah?
Jawab:
Jika kita melakukannya, itu tidak menjadi masalah.
Sedangkan dalil yang mengharuskan kita membaca al-fatihah setelah takbir
pertama, adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam di bawah
ini,
((لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ))[7]
"Shalat tidak sah,
jika tidak dibacakan padanya surat al-fatihah (fatihatul kitab)."
Juga yang diriwayatkan
dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mengerjakan shalat jenazah,
kemudian ia membaca surat al-fatihah. Lalu ia berkata,
((لِتَعْلَمُوْا أَنَّهُ مِنَ السُّنَّةِ))[8]
"Agar kalian tahu bahwa
ini adalah sunnah."
Hadits
ini diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, dan ahlus sunan. Sedangkan imam An-Nasai,
beliau menambahkan bahwa Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu juga membaca
surat setelah al-fatihah dan dia membacanya dengan bacaan keras. Abdullah bin
Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa perbuatan seperti ini adalah benar dan
termasuk sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ibnul Jarud juga meriwayatkan adanya
surat yang dibaca setelah membaca al-fatihah. Tetapi Al-Baihaqi mengatakan,
"Riwayat hadits yang menyebutkan adanya surat yang dibaca setelah al-fatihah,
adalah riwayat yang tidak mahfudh."
Tetapi menurut kami, seseorang yang membaca surat setelah al-fatihah
dalam shalat jenazah, tidaklah diingkari. Karena keumuman firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang berbunyi,
"Karena itu, bacalah yang mudah bagimu
dari Al-Qur`an." (QS. Al-Muzzammil: 20)
30-Ketika mengerjakan shalat jenazah, apa hukumnya mengangkat tangan pada
setiap takbir?
Jawab:
Mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat jenazah hukumnya adalah
sunnah. Imam Al-Bukhari telah menyebutkan hal ini dalam kitab sahihnya dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu secara mu`allaq[9], kemudian
beliau menyambungnya dalam kitab khusus yang membahas tentang mengangkat tangan
dalam shalat.
Seperti ini pula diriwayatkan Imam As-Syafi`i, Abdurrazzaq, Ibnu Abi
Syaibah dan yang lainnya.
Sebagian ulama menghukumi hadits ini sebagai hadits marfu`. Tetapi yang
benar ini adalah hadits mauquf yang dihukumi marfu`.
Perbuatan ini dilakukan pula oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini diriwayatkan oleh Said dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
dia pernah mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir shalat
jenazah.
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
‘anhu bahwa dia berkata,
((مِنَ السُّـنَّةِ أَنْ تَرْفَعَ يَدَيْكَ فِيْ كُلِّ
تَكْبِيْرَةٍ))
"Termasuk yang sunnah, hendaknya anda mengangkat kedua tangan pada setiap
takbir."
Sedangkan Imam Al-Bukhari meriwayatkan pengangkatan kedua tangan pada
setiap takbir ini, pada kitab khusus yang membahas tentang "Raf`ul yadain"
(mengangkat kedua tangan). Beliau meriwayatkannya dari Qais bin Abi Hazim, Aban
bin Utsman, Nafi` bin Jubair, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri, dan yang
lainnya.
31-Apakah takbir pada shalat jenazah mesti diqadha` pada saat
ketinggalan?
Jawab:
Barangsiapa yang ketinggalan takbir shalat jenazah, maka ia harus
mengqadha`nya setelah imam mengucapkan salam. Namun jika kawatir jenazahnya
keburu digotong, maka ia segera mengqadha`nya secara berurutan dengan cepat
setelah imam mengucapkan salam. Agar bisa mengqadha`nya sebelum jenazah
diangkat.
Jika tidak kawatir jenazah segera diangkat, maka kita mengqadha`nya
sesuai keadaannya yang asal. Yakni kita membaca al-fatihah, membaca shalawat
atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, kemudian mendoakan si mayit dan
mengucapkan salam.
Tetapi kita tahu bahwa shalat jenazah tidaklah diwajibkan atas setiap
orang. Ia hanya fardhu kifayah. Jadi, kita boleh tidak mengqadha` takbir-takbir
dan dzikir yang ketinggalan tadi, kemudian ikut salam bersama-sama dengan imam.
Allahu a`lam.
32-Bagaimana derajat kesahihah hadits
yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah
Radhiyallahu
‘anhu di bawah ini?
((مَنْ صَلَّى عَلَى مَيِّتٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلاَ شَيْءَ
لَهُ))
"Barangsiapa menyalati jenazah di dalam masjid maka ia
tidak mendapat pahala apapun."
Jawab:
Hadits ini diriwayatkan imam Abu Dawud dan Ibnu Majah dalam
"Al-Janaiz", sedangkan dalam sanadnya terdapat "Shalih maula at-tau`amah".
Perawi ini telah pikun pada masa-masa terakhir hidupnya. Karena inilah Imam
An-Nawawi dalam syarah sahih Muslim berkata,
Para ulama menjawab hadits ini dengan beberapa
jawaban:
Pertama: Hadits ini adalah dhaif, sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah (dalil). Imam Ahmad berkata, "Ini adalah hadits dhaif.
Ia diriwayatkan oleh Shalih Maula at-tau`amah secara sendirian, padahal ia
adalah perawi yang dhaif."
Kedua: Riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab sunan Abi
Dawud yang masyhur[10] adalah berbunyi
seperti ini,"
((مَنْ صَلَّى عَلَى مَيِّتٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلاَ شَيْءَ
عَلَيْهِ))
"Barangsiapa
menyalati jenazah di dalam masjid maka tidak ada dosa
baginya."
Ketiga: Seandainya hadits yang ditanyakan di atas adalah
sahih, maka wajib ditakwilkan dengan lafadz yang
berbunyi
((فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ)), sehingga kita menggabungkan antara dua riwayat. Juga antara hadits yang ditanyakan di atas dengan hadits Suhail bin Baidha`.
((فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ)), sehingga kita menggabungkan antara dua riwayat. Juga antara hadits yang ditanyakan di atas dengan hadits Suhail bin Baidha`.
Hadits Suhail bin Baidha` Radhiyallahu ‘anhu adalah hadits
sahih yang diriwayatkan Imam Muslim dan ahlus sunan dari Aisyah Radhiyallahu
‘anhu. Yaitu ketika Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia,
Aisyah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((اُدْخُلُوْا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتىَّ أُصَلِّيَ
عَلَيْهِ))
"Masukkan jenazahnya ke dalam masjid agar saya bisa
menyalatinya."
Maka para sahabat seakan-akan mengingkari permintaan Aisyah Radhiyallahu
‘anhu ini, karena itu Aisyah Radhiyallahu ‘anhu membantah pengingkaran mereka
dengan perkataannya,
((وَاللهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي الْمَسْجِدِ، سُهَيْلٍ
وَأَخِيْهِ))[11]
"Demi Allah! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyalati dua
putra Baidha` di masjid. Dua putra itu adalah Suhail dan
saudaranya."
Sedangkan dalam riwayat lain Aisyah Radhiyallahu ‘anhu
berkata,
((ماَ أَسْرَعَ مَا نَسِيَ الناَّسُ، مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ عَلَى
ابْنَيْ بَيْضَاءَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ))
"Cepat sekali manusia menjadi lupa. Tidaklah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati dua putra Baidha` kecuali di dalam
masjid."
Dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu juga
berkata,
((صُلِّيَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطاَّبِ فيِ
الْمَسْجِدِ))[12]
"Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu dishalati di dalam
masjid."
Hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu
inilah yang diamalkan seluruh kaum muslimin, karena susahnya membawa jenazah ke
kuburan sebelum dishalati. Juga karena tidak semua orang yang menyalati akan
ikut ke kuburan, juga karena masjid adalah tempat berkumpulnya para jamaah
shalat, juga karena keutamaan masjid yang sangat banyak atas tempat lainnya,
maka shalat jenazah itu dilakukan di dalam masjid. Allahu
a`lam.
33-Sebagian orang mengatakan, ada beberapa waktu tertentu yang syariat
melarang kita untuk mengerjakan shalat jenazah padanya. Apakah perkataan ini
benar?
Jawab:
Memang benar. Karena diriwayatkan dalam hadits Uqbah Radhiyallahu ‘anhu
ia berkata,
((ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ نَقْبُرَ
فِيهِنَّ مَوْتَانَا، حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ،
وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ
لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ))[13]
"Ada tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang
kita untuk mengerjakan shalat jenazah, atau mengubur jenazah pada waktu itu.
Yaitu ketika matahari terbit sampai ia benar-benar naik. Ketika matahari ada di
tengah-tengah langit sampai ia bergeser. Dan ketika matahari beranjak untuk
terbenam."
Waktu-waktu di atas adalah waktu-waktu pendek yang tidak lebih dari
seperempat jam atau kurang dari itu. Jadi pada waktu-waktu yang tersebut di
atas, kita tidak boleh mengubur jenazah, tapi kita harus menunggu sampai waktu
itu habis.
34-Apakah larangan pada hadits Uqbah
Radhiyallahu
‘anhu yang baru anda sebutkan di atas, larangan yang
bersifat haram atau tidak? Apakah larangan itu juga mencakup shalat
jenazah?
Jawab:
Menurut pendapat saya, larangan di atas adalah larangan yang sifatnya
mengharamkan. Kecuali ada hal darurat. Seperti halnya kita dilarang mengerjakan
shalat pada waktu-waktu terlarang, para ulama menjadikan larangan itu sebagai
larangan yang sifatnya mengharamkan. Tetapi sebagian ulama ada yang
mengecualikan shalat-shalat yang ada sebabnya[14].
Sementara sebagian yang lain membuat larangan ini umum untuk setiap shalat
apapun, sampai shalat jenazah sekalipun.
35-Ada seorang jenazah yang dihadirkan untuk dishalati.
Tetapi saya tahu jenazah itu seseorang yang meninggalkan shalat secara
keseluruhan. Pertanyaan saya, apakah saya wajib memberitahu para jamaah tentang
keburukannya itu, ataukah cukup saya sendiri yang pergi dan tidak
menyalatinya?
Jawab:
Tidak wajib bagi anda untuk memberitahu manusia tentang
perbuatannya itu. Yang wajib bagi anda hanyalah tidak menyalatinya, dan
memberitahu imam, juga sebagian pembesar kaum, seperti para ulama dan yang
lainnya jika mereka terdapat diantara para jamaah. Adapun mengumumkan diantara
manusia bahwa ia tidak pernah mengerjakan shalat, maka itu tidak diwajibkan atas
anda.
36-Jika seorang sahabat meninggal dunia ketika saya sedang
keluar kota, sepuluh hari kemudian saya baru kembali, dan keluarganya
memberitahu saya dimana ia dimakamkan. Pertanyaan saya, bolehkah saya pergi ke
kuburannya dan menyalatinya disana?
Jawab:
Benar! Anda boleh menyalatinya di atas kuburannya. Karena
ada beberapa ulama yang membatasi bolehnya melakukan shalat jenazah dalam jangka
waktu satu bulan. Tetapi pendapat yang benar adalah mutlak, tanpa jangka waktu,
dan tidak terbatas pada satu bulan.
Dalil pembatasan itu adalah kisah kematian ibu Saad bin
Ubadah Radhiyallahu ‘anhu, saat Saad Radhiyallahu ‘anhu tidak ada. Kemudian ia
menyalatinya sebulan kemudian. Tapi dalam hadits ini tidak ada larangan untuk
menyalati jenazah setelah lebih dari satu bulan.
37-Sebagian orang ketika mengetahui bahwa sahabat karib
atau seorang kerabatnya meninggal dunia di kota tertentu, ia segera mengerahkan
tenaganya demi berangkat ke kota tersebut untuk menyalati dan menghadiri
pemakaman jenazahnya. Bagaimanakah hukum hal semacam ini?
Jawab:
Hal ini tidak apa-apa dilakukan. Karena orang itu ketika
mengerahkan tenaga, ia tidak mengerahkannya demi daerah yang ia bakal beribadah
padanya, dan tidak meyakini bahwa ibadah di daerah tersebut ada keistimewaan
tersendiri dibanding daerah lainnya. Tetapi ia datang ke tempat itu karena
hendak menyalati temannya itu.
Sedangkan pergi ke suatu tempat dengan mengerahkan segala
tenaga, yang diharamkan dari hal ini, misalnya yaitu jika seseorang berangkat ke
kuburan demi keistimewaan yang ia yakini ada pada kuburan tersebut. Atau pergi
ke masjid karena keistimewaan yang diyakininya tidak terdapat pada masjid-masjid
yang lain. Atau ia pergi tempat tertentu yang ia yakini bahwa tempat itu penuh
keberkahan, atau yang serupa dengan itu. Maka semua hal ini adalah diharamkan,
kecuali tiga masjid yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam,
yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha.
Adapun bepergiannya untuk menyalati seorang muslim, maka
ini tidak menjadi masalah. Demikian pula dengan bepergiannya untuk mengunjungi
saudara-saudaranya yang muslim, ini juga tidak masalah dan tidak masuk dalam
bepergian yang dilarang. Allahu a`lam.
38-Jika saya selesai menyalati jenazah di masjid, kemudian
saya pergi ke kuburan dan mendapati ada beberapa orang menyalati jenazah itu
disana, apakah saya boleh menyalatinya lagi bersama
mereka?
Jawab:
Hal seperti ini tidak disyariatkan, tetapi jika dilakukan
maka tidak apa-apa. Karena itu merupakan tambahan doa buat si mayit. Juga dalam
hal ini terdapat pahala dan kebaikan bagi yang menyalati.
39-Bolehkah kami mengubur jenazah saat matahari terbit dan
belum naik ke permukaan bumi?
Jawab:
Jika orang-orang yang menggali kubur mulai menguburkan
jenazah dan memasukkannya ke liang lahat sebelum matahari terbit dari arah
timur, maka tidak apa-apa jika mereka meneruskan penimbunan tanah serta hal-hal
lain saat matahari terbit.
Tetapi jika matahari sedang terbit, kemudian orang-orang
mulai menurunkan jenazah ke liang lahat, maka ini tidak patut dilakukan.
Mestinya mereka melakukannya lebih pagi sebelum matahari terbit, atau menunggu
sampai matahari menjadi tinggi.
40-Jika seseorang meninggal di waktu malam dan kami
menyolatinya di waktu fajar, apakah kami segera menguburkannya, atau menunggu
sampai matahari terbit dan meninggi sepanjang tombak dari permukaan
bumi?
Jawab:
Yang seharusnya kita lakukan adalah mempercepat
pekuburannya sebelum matahari terbit.
41-Jika seseorang meninggal dunia di waktu dhuha, apakah
kita menunda menyolatinya sampai masuk waktu shalat dzuhur, atau segera
menyolatinya di waktu dhuha itu?
Jawab:
Menunggu sampai datang waktu shalat dzuhur adalah lebih
utama, karena di waktu dzuhur ini orang-orang berkumpul untuk shalat dzhuhur,
sehingga kita mendapatkan orang-orang yang menyalati dan mendoakan si mayit
dalam jumlah yang lebih besar. Juga karena waktu antara dhuha dengan dzuhur
adalah waktu yang singkat, yang biasanya si mayit tidak berubah dalam waktu
sesingkat itu.
42-Beberapa ulama` menyebutkan bahwa yang paling utama
dalam shalat jenazah, hendaknya jumlah shaf orang yang menyalati tidak kurang
dari tiga shaf, bagaimana derajat kesahihan ucapan ini?
Jawab:
Ucapan ini sangat benar! Karena ada hadits dari Malik bin
Hubairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda,
((مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ
ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ أُوْجِبَ –وفي لفظ- إِلاَّ غُفِرَ
لَـهُ))[15]
"Tiada seorang muslim yang
meninggal dunia, kemudian ia dishalati tiga shaf dari kaum muslimin, kecuali doa
mereka dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, -dalam lafadz lain- kecuali si
jenazah pasti diampuni."
Dan berdasarkan hadits
ini, setiap Malik Radhiyallahu ‘anhu menganggap bahwa jumlah orang yang
menyalati jenazah adalah sedikit, ia segera membagi mereka menjadi tiga shaf.
Tetapi kalau jumlah orang yang menyalati sedikit, maka jika satu shafnya kurang
dari dua orang, kita tidak bisa membariskannya masing-masing satu shaf satu
orang di belakang imam.
43-Dimanakah seorang imam berdiri ketika menyolati jenazah lelaki atau
wanita?
Jawab:
Yang
disebutkan dalam hadits, seorang imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah
lelaki, dan ada yang mengatakan sejajar dengan dadanya. Mengenai jenazah wanita,
maka sang imam berdiri sejajar dengan bagian tengahnya.
Dan
jika seorang imam hendak menyalati jenazah lelaki dan wanita secara bersamaan,
maka ia menjadikan kepala jenazah lelaki sejajar dengan bagian tengah jenazah
wanita.
44-Jika menyolati beberapa orang yang meninggal dunia, ada jenazah
laki-laki, jenazah wanita dan jenazah anak-anak. Siapakah diantara jenazah itu
yang paling dekat dengan imam?
Jawab:
Yang didahulukan adalah jenazah para lelaki dewasa, setelah itu jenazah
anak-anak, baru kemudian jenazah para wanita dewasa, dan yang terakhir jenazah
gadis-gadis kecil.
45-Kami melihat sebagian orang sudah menyalati jenazah di masjid,
kemudian ketika mereka membawanya ke kuburan untuk dimakamkan, mereka meletakkan
jenazah itu di atas tanah sebelum dimasukkan ke liang lahat. Lalu orang-orang
berkata, "Jika ada seseorang yang belum menyalati jenazah ini, maka hendaklah ia
menyalatinya sekarang sebelum dikuburkan."
Pertanyaan kami bagaimana hukum perbuatan ini? Karena sepengetahuan kami,
tidak ada hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang memerintahkan hal
itu, beliau hanya menyuruh shalat di atas kuburan. Padahal ada sebuah hadits
dari beliau yang melarang kita untuk shalat di pemakaman. Mohon jelaskan hal ini
kepada kami!
Jawab:
Di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dulu, setiap shalat jenazah
selalu dilaksanakan di baqi`, dekat pemakaman. Karena di baqi` ada mushalla
khusus untuk menyalati jenazah. Setelah jenazah sudah dishalati disana, para
sahabat kemudian membawanya ke pemakaman yang jaraknya dekat dari situ.
Jadi shalat jenazah ini tidak selalu dilaksanakan di dalam masjid,
kecuali pada masa-masa yang terakhir.
Aisyah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ عَلَى سُهَيْلِ
بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلاَّ فِيْ جَوْفِ الْمَسْجِدِ))[16]
"Demi Allah! tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati
Suhail bin Baidha` dan saudaranya kecuali di dalam masjid."
(Aisyah Radhiyallahu ‘anhu mengatakan hadits di atas, karena ada beberapa
sahabat yang mengingkarinya saat ia meminta jenazah Saad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu ‘anhu dimasukkan ke dalam masjid, agar Aisyah Radhiyallahu ‘anhu
bisa menyalatinya.
Para
sahabat mengingkari permintaan Aisyah Radhiyallahu ‘anhu karena kebiasaan yang
mereka ketahui selama ini, shalat jenazah adalah di baqi`, sebuah tempat dekat
pekuburan bukan di masjid)[17].
Jika
demikian, maka tidak apa-apa jika jenazah itu dishalati di tempat pemakaman.
Adapun shalat yang kita dilarang melakukannya di dalam pekuburan, adalah shalat
yang ada rukuk dan sujudnya.
46-Jika dihadirkan ke dalam masjid seorang jenazah untuk dishalati,
sementara saya tidak tahu, jenazah itu orang yang mengerjakan shalat atau tidak,
maka apakah yang harus saya perbuat?
Jawab:
Jika
anda tidak bisa memastikan bahwa jenazah ini orang yang meninggalkan shalat
secara keseluruhan, maka pada dasarnya ia tetap termasuk dari kaum muslimin.
Maka anda harus menyolatinya.
47-Apakah kita diwajibkan untuk meluruskan shaf dan menutup kerenggangan
saat mengerjakan shalat jenazah?
Jawab:
Benar! Shalat jenazah sama seperti shalat-shalat yang lain, jadi
barisan-barisan shafnya harus diluruskan dan kerenggangannya harus
ditutup.
48-Mungkinkah bagi ahlussunnah untuk menghadiri jenazah orang-orang yang
menyimpang (seperti tukang klenik, ahli bid`ah dll.) dan menyolati
mereka?[18]
Jawab:
Orang-orang menyimpang yang penyimpangan mereka sampai pada derajat
syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti orang-orang yang meminta
bantuan dan pertolongan dari orang mati, atau makhluk gaib; sebangsa jin,
malaikat dan lainnya, mereka adalah orang-orang kafir yang tidak boleh menyolati
jenazah mereka, dan tidak boleh menghadiri kematian mereka.
Adapun orang yang penyimpangannya tidak sampai pada derajat syirik,
seperti ahli bid`ah yang melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang tak ada kesyirikan padanya, atau yang merayakan peringatan malam
isra` mi`raj, atau peringatan-peringatan lainnya, maka mereka hanyalah
orang-orang yang berbuat maksiat. Jadi mereka harus dishalati, dihadiri
jenazahnya, dan diharapkan buat mereka segala apa yang diharapkan bagi para
pelaku maksiat dari ahli tauhid. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang berbunyi,
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni dosa syirik,
tetapi Dia mengampuni dosa-dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa`: 48)
49-Ada seorang wanita yang hamil sampai bulan kelima, kemudian janinnya
meninggal dalam perut. Apakah kita harus menyalati janin
tersebut?
Jawab:
Jika janin yang meninggal sudah berumur empat bulan, maka ia harus
dimandikan, dikafani, dan dishalati. Karena setelah empat bulan ini, malaikat
sudah meniupkan nyawa pada janin tersebut. Tepatnya setelah empat puluh hari
yang ketiga. Sebagaimana disebutkan Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu dalam
hadits marfu`,
((إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ
أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ
فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ))[19]
"Sesungguhnya setiap orang dari kalian, dikumpulkan penciptaannya dalam
perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani. Kemudian ia berubah
menjadi segumpal darah selama empat puluh hari juga, kemudian ia berubah menjadi
segumpal daging selama empat puluh hari juga. Kemudian seorang malaikat diutus
kepadanya untuk meniupkan ruh."
Adapun janin yang di bawah empat bulan, maka malaikat belum meniupkan ruh
padanya. Sehingga, ketika gugur ia tidak bisa dinamakan mayit, karena tidak
adanya ruh tadi. Sedangkan memandikan dan menyalati, keduanya hanya disyariatkan pada
seorang mayit. Ini adalah pendapat pertama.
Pendapat kedua mengatakan; jika janin sudah berwujud seorang manusia,
maka ia harus dimandikan dan dishalati meski belum berumur empat bulan. Yakni
kedua kakinya sudah tepisah dari anggota lainnya. Demikian pula, kedua tangan
dan lekuk-lekuk wajahnya. Pendapat kedua ini berdasar pada keumuman hadits
marfu` dari Mughirah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda,
"Janin yang lahir dalam keadaan mati, harus dishalati."
Dan
kita disyariatkan untuk memberi nama janin yang terlahir dalam keadaan meninggal
tersebut. Karena di hari kiamat besok, ia dipanggil dengan namanya. Jika kita
tidak mengetahui dengan jelas, apakah ia janin laki-laki atau perempuan, maka ia
diberi nama yang cocok buat lelaki dan perempuan, seperti Qatadah dan
Ikrimah.
50-Ada sebagian wanita yang terkadang menyalati jenazah, kemudian ikut
mengiringi jenazah ke kuburan. Ketika jenazah sampai pada pintu gerbang kuburan,
sang wanita berhenti dan tidak ikut masuk ke dalam pemakaman. Bagaimanakah hukum
hal seperti ini?
Jawab:
Pada
dasarnya, seorang wanita dibolehkan menyalati jenazah siapapun. Tetapi untuk
mengiringi, maka hal ini tidak dibolehkan. Yang menunjukkan larangan ini, adalah
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada para wanita, yang beliau
mendapati mereka sedang menunggu-nunggu jenazah. Beliau berkata kepada
mereka,
((هَل تُغَسِّلْنَ؟)) قُلْنَ: لاَ، ((هَلْ تُدْلِيْنَ
فِيْمَنْ يُدْلِيْ)) قُلْنَ: لاَ. قَالَ: ((فَارْجِعْنَ مَأْزُوْرَاتٍ غَيْرَ
مَأْجُوْرَاتٍ، فَإِنَّكُنَّ تَفْتِنَّ اْلأَحْياَءَ وَتُؤْذِيْنَ
اْلأَمْوَاتَ))[21]
"Apakah kalian hendak memandikan jenazah?" mereka menjawab, 'tidak!'
"Apakah kalian membantu menimbakan air?" mereka menjawab, 'Tidak!' kemudian
beliau berkata, "Kalau begitu pulanglah kalian dengan membawa dosa dan tidak
mendapat pahala. Karena kalian hanya mendatangkan fitnah bagi orang hidup dan
menyakiti orang yang meninggal dunia."
Juga yang menunjukkan larangan di atas, yaitu ucapan Ummu Athiyyah
Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini,
“Kami (para
wanita) dilarang untuk mengiringi jenazah, tapi larangan itu tidak ditekankan
kepada kami[23].”
Larangan yang
terdapat pada hadits ini adalah larangan yang sifatnya mengharamkan, karena
tidak ada dalil lain yang menyalahi hadits ini. Maka dari sini, kita tahu bahwa
para wanita tidak boleh mengiringi jenazah secara mutlaq.
51-Jika jenazah
sudah dimasukkan ke liang lahat, bolehkah kita menyolatinya?[24]
Jawab:
Kita boleh
menshalati jenazah, meski sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. Pernyataan ini
berdasarkan pada perbuatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang pergi ke kuburan, kemudian beliau mengerjakan shalat jenazah di atas kuburan wanita yang biasa menyapu masjid. Karena wanita tersebut meninggal dunia, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak tahu perihal kematiannya.[25]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang pergi ke kuburan, kemudian beliau mengerjakan shalat jenazah di atas kuburan wanita yang biasa menyapu masjid. Karena wanita tersebut meninggal dunia, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak tahu perihal kematiannya.[25]
52-Bagaimana
hukumnya jika seseorang masuk masjid, kemudian ia mendapati orang-orang sedang
mengerjakan shalat jenazah di waktu yang sempit, seperti waktu maghrib yang
waktunya hampir habis. Apakah orang tersebut mengerjakan shalat jenazah atau
mengerjakan shalat fardhu?[26]
Jawab:
Orang ini boleh
lebih dulu mengerjakan shalat jenazah, selama tidak kawatir waktu shalat fardhu
akan habis. Karena jika tidak mengerjakan shalat jenazah terlebih dahulu, maka
shalat ini akan hilang, sementara shalat fardhu waktunya masih banyak.
Maka dengan melakukan hal ini, berarti kita telah menggabungkan antara dua
fadhilah (keutamaan).
Tetapi jika
kawatir waktu shalat fardhu akan habis, maka kita lebih mendahulukan shalat
fardhu dan merelakan tidak mengerjakan shalat jenazah. Sebab shalat jenazah
hanyalah fardhu kifayah, ia juga sudah dilaksanakan beberapa orang yang
mengerjakannya.
Dan perlu
diketahui, waktu adalah syarat sahnya shalat. Ia asalnya waktu yang luas
(muwassa`) sampai menjadi sempit dan hanya cukup untuk mengerjakan shalat fardhu
saja. Jika sudah seperti ini, maka ia menjadi waktu yang sempit (mudhayyaq).
Nah, pada saat waktu mudhayyaq inilah shalat fardhu menjadi fardhu ain bagi
kita, sehingga kita tidak boleh mengerjakan shalat yang hanya fardhu
kifayah.
Mudah-mudahan
shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
53-Bagaimana cara mengerjakan shalat ghaib?[27]
Jawab:
Cara
mengerjakan shalat ghaib, sama seperti mengerjakan shalat jenazah terhadap mayit
yang hadir. Karena inilah, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengumumkan
kematian Najasyi, beliau menyuruh para sahabat agar keluar menuju mushalla
(tempat shalat). Kemudian beliau membuat mereka menjadi beberapa shaf, lalu
bertakbir sebanyak empat kali, sama halnya saat beliau menshalati jenazah yang
hadir.[28]
54-Apakah kita harus menshalati setiap orang yang meninggal dunia dengan
shalat gaib?
Jawab:
Dalam
hal ini terdapat khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama`.
Diantara mereka ada yang berkata, kita harus menyalati setiap orang
yang meninggal dunia dengan shalat gaib. Sampai ada seorang ulama dari pemilih
pendapat ini yang mengatakan, adalah keharusan bagi setiap orang untuk
mengerjakan shalat jenazah pada setiap malam dan meniatkannya untuk setiap orang
yang meninggal dari kaum muslimin pada hari itu, baik yang ada di timur maupun
di barat.
Ulama` lainnya mengatakan, kita tidak harus mengerjakan shalat gaib
untuk siapapun, selain untuk jenazah yang belum kita shalati.
Kelompok ketiga mengatakan, kita harus mengerjakan shalat gaib untuk
setiap muslim yang mempunyai jasa terhadap kaum muslimin, apakah jasa itu berupa
ilmu yang bermanfaat atau yang lainnya.
Tetapi yang rajih, kita tidah diharuskan mengerjakan shalat gaib atas
siapapun, kecuali kepada jenazah yang kita belum menyalatinya. Sebab, di zaman
khulafa` ar-rasyidin, banyak orang berjasa terhadap Islam yang meninggal dunia,
tetapi tak ada seorangpun dari mereka yang dishalati dengan shalat
gaib.
Dan
ibadah itu pada dasarnya adalah tauqifi, yakni berhenti terhadap apa yang ada
dalam al-qur`an dan as-sunnah. Kita dilarang mengerjakan ibadah apapun sampai
datang dalil yang menyebutkan bahwa ibadah tersebut
disyariatkan.
55-Kebanyakan orang di Madinah Al-Munawwarah mempunyai kebiasaan
memasukkan mayit ke dalam masjid lewat pintu "Ar-Rahmah"[29], tidak lewat pintu-pintu
yang lain. Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan Merahmati si mayit dan Mengampuninya dengan lewat di pintu itu. Apakah
perbuatan ini ada kebenarannya menurut syariat kita yang
suci?[30]
Jawab:
Keyakinan seperti ini dasarnya tidak saya ketahui dari syariat yang
suci. Malah ini
merupakan perbuatan mungkar yang tidak boleh dijadikan keyakinan. Dan tidak
masalah jika kita memasukkan jenazah lewat semua pintu masjid yang ada. Tetapi
yang paling afdhal adalah memasukkan jenazah lewat pintu yang ketika
memasukkannya kita tidak mengganggu orang-orang yang shalat.
[1] HR. Abu Dawud no. 2747 dan Al-Baihaqi
[2] Shalih Al-Fauzan, Majalah Ad-Dakwah, edisi
1570
[3] HR. Abu Dawud no.
613
[4] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz, no.
2753
[5]HR. Al-Bukhari no, 3370 dan Muslim no, 405
dari Ka`ab bin `Ujrah radhiyallahu anhu.
[6] HR. Muslim dari Auf bin
Malik t no.
1600
[7] HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, no.
714; dan Muslim dalam kitab Ash-Sholah, no. 595; juga At-Tirmidzi dalam kitab
Ash-Sholah, no. 230
[8] Lihat, sahih Al-Bukhari, kitab
Al-Janaaiz, bab membaca surat al-fatihah atas jenazah, no.
90
[9] Lihat, Sahih Al-Bukhari, kitabul janaaiz,
bab: Sunnatu Ash-shalaah ala al-janaaiz, 3/189
[10] Lihat, sunan Abi Dawud, no. 2776; Ibnu Majah, no. 1506;
dan Ahmad, no. 9353
[11] HR. Muslim dan Ahlus sunan.
[12] HR. Imam Malik.
[13] HR. Muslim, 2/208; Abu Dawud, 2/66; dan At-Tirmidzi,
2/144.
[14] Seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat dua rakaat
setelah wudhu, dan shalat jenazah.
[15] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz, no.
2753
[16] HR. Muslim, 3/63
[17] Yang ada diantara dua kurung, tambahan dari
penerjemah.
[18] Al-Lajnah Ad-Daaimah, fatawa islamiyyah,
2/31
[19] HR. Al-Bukhari dalam kitab bad`il khalqi (awal mula
penciptaan), no. 2969 dan Muslim dalam kitab Al-Qadar, no.
4781
[20] HR. Ahmad, no. 17468, Abu Dawud, no. 2766, dan
At-Tirmidzi. At-Tirmidzi menghukumi sahih hadits ini.
[21] HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari Ali
bin Abi Thalib t.
[22] Muttafaq alaih.
[23] Ucapan, "Tetapi larangan itu
tidak ditekankan kepada kita." Seakan-akan dalam ucapan ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberikan larangan itu secara tegas. Tapi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab ucapan Ummu Athiyyah t dengan pernyataan
berikut,
"قَدْ يَكُوْنُ مُرَادُهَا لَمْ يُؤَكِّدِ النَّهْيَ، وَهَذَا
لاَ يَنْفِي التَّحْرِيْمَ، وَقَدْ تَكُوْنُ هِيَ ظَنَّتْ أَنَّهُ لَيْسَ بِنَهْيِ
تَحْرِيْمٍ، وَالْحُجَّةُ فِيْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ فِيْ غَيْرِهِ" (مجموع الفتاوى: 24/355)
“Bisa jadi maksud Ummu
Athiyyah
memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam tidak mempertegas larangan
itu. Jika demikian halnya maka perkataan (وَلَمْ يَعْزِمْ
عَلَيْناَ) tidak menafikan
keharaman (mengiringi jenazah bagi wanita) itu. Dan bisa jadi, memang Ummu
Athiyyah yang menduga bahwa larangan disini bukan larangan pengharaman. Tetapi
kita meyakini, bahwa hujjah yang mesti ditetapi adalah ucapan nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bukan ucapan selain beliau.” (Majmu` al-fatawa,
24/355)
[24] Ibnu Utsaimin, pertemuan terbuka,
1/42
[25] HR. Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shalaah,
458/406
[26] Al-Lajnah Ad-Daaimah, fatawa islamiyyah,
2/27
[27] Ibnu Utsaimin, Fatawa islaamiyyah,
2/29
[28] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[29] Bab ar-rahmah atau pintu ar-rahmah, adalah nama salah satu
pintu masjid nabawi di Madinah.
[30] Ibnu Baz, Fatawa Islamiyyah,
2/50
0 comments:
Post a Comment