FATWA LENGKAP TENTANG MENGUBUR JENAZAH



FATWA TENTANG MENGUBUR JENAZAH, DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN

56-Syaikh yang terhormat, kami melihat banyak orang saling berlomba dalam membawa jenazah. Ketika ada seseorang berhenti membawanya, segera datang orang lain menggantikannya. Apakah ada keistimewaan tersendiri bagi orang yang membawa jenazah?
Jawab:
Mengurus jenazah secara umum, dan diantaranya adalah membawa jenazah, tentunya mempunyai pahala yang besar. Tetapi saya tidak tahu, apakah ada dalil tersendiri tentang pahala yang dikhususkan buat orang-orang yang membawa jenazah.
Namun! Para ulama fiqih menjelaskan; yang mustahab bagi seseorang pembawa jenazah hendaklah ia membawanya pada keempat sudutnya.
Yakni, pertama ia membawa kerandanya di bagian depan yang kanan. Kemudian ia pindah dan ganti membawa bagian keranda belakang yang kanan. Setelah itu pindah dan ganti lagi ke bagian belakang yang kanan. Dan yang terakhir ia berpindah ke bagian belakang yang kiri. Baru ia pergi ke belakang dan diganti orang lain. Sehingga dengan demikian ia telah membawa keempat sudut keranda jenazah itu. Dalam hal ini ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari para sahabat.
Tetapi para sahabat membenci jika mereka membawa jenazah diantara dua sisi saja, meskipun hal itu tidak dilarang.


57-Apakah ada dzikir khusus ketika kita membawa jenazah?
Jawab:
Ada keterangan dari sebagian ulama` salaf, bahwa mereka membawa jenazah di atas pundak mereka, dan membawanya pada keempat sisi keranda. Yakni mereka bergantian membawanya, sehingga setiap orang bisa membawanya pada setiap sisi dan sudutnya. Tetapi untuk dzikir yang khusus saat membawa jenazah, sepengetahuan saya hal itu tak ada perintahnya. Allahu a`lam.



58-Jika jenazah dibawa di atas mobil, kemudian para pengiring juga mengikutinya di atas mobil-mobil mereka, maka apakah yang disyariatkan kepada mereka saat mengiringi ini. Apakah mereka berada di samping kanan dan kiri jenazah, ataukah di bagian depan dan belakang? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa Memberikan taufiq kepada anda.
Jawab:
Ketika jenazah dibawa di atas pundak, maka yang sunnah, para pengendara berjalan di bagian belakang sendiri. Sedangkan para pejalan kaki, mereka ada di depan, belakang, di samping kanan, atau di samping kiri jenazah. Semua keadaan ini sama saja bagi para pejalan kaki.
Sedangkan di zaman sekarang, kita banyak mendapati jenazah yang dibawa di atas mobil. Maka urusannya tetap sama seperti ketika dibawa di atas pundak. Dan tidak masalah jika sang pengiring itu berada di depan atau di belakang jenazah. Dalam hal ini tidak ada dosa.



59-Jika jenazah melewati beberapa orang yang sedang duduk, apakah orang-orang yang sedang duduk itu disyariatkan untuk berdiri?
Jawab:
Berdiri ketika jenazah lewat adalah perkara yang disyariatkan. Jadi, ketika jenazah melewati sekelompok orang, maka orang-orang itu harus berdiri untuk jenazah tersebut. Karena disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ada jenazah orang yahudi yang lewat, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdiri untuk jenazah tersebut. Kemudian orang-orang yang bersama beliau ikut berdiri pula. Lalu mereka berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, "Ini tadi adalah jenazah orang yahudi." Beliau bersabda, "Meski ia yahudi, bukankah ia sebuah jiwa?"[1]
Sedangkan dalam riwayat lain beliau bersabda,
((إِنَّناَ نَقُوْمُ هَيْبَةً لِلْمَوْتِ))
"Kita bangkit ini karena menghormati kematian."
Berdasarkan hadits ini, maka setiap orang yang duduk, ia disyariatkan untuk berdiri ketika melihat jenazah lewat. Mereka tidak boleh duduk, sampai jenazah itu tidak terlihat lagi.
Setelah itu, datang hadits lain yang menunjukkan bahwa hadits di atas adalah mansukh (dihapus hukumnya), atau kita diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak berdiri ketika jenazah lewat. Hadits itu adalah,
((كَانَ آخِرُ اْلأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ أَنَّهُ قَامَ ثُمَّ قَعَدَ))
"Yang terakhir dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari dua hal adalah beliau berdiri (ketika jenazah lewat) kemudian duduk (tanpa berdiri ketika melihat jenazah)."
Tapi yang jelas, jika kita berdiri terhadap jenazah tadi karena menghormati kematian, atau karena terkejut terhadap kematian seperti hadits di bawah ini,

((إِنَّ لِلْمَوْتِ فَزَعاً))[2]
"Sesungguhnya kematian itu sangat mengejutkan."
maka mustahab (dianjurkan) bagi kita untuk berdiri. Hal ini sangat dianjurkan pada saat jenazah melintas di hadapan kita dengan digotong di atas pundak orang-orang.
Adapun yang terjadi di zaman ini, maka kebanyakan jenazah dibawa di atas mobil dan jarang melewati kebanyakan orang-orang yang sedang duduk. Tetapi seandainya jenazah yang dibawa di atas mobil ini melintas di kerumunan orang-orang yang sedang duduk, maka tetap disyariatkan bagi mereka untuk berdiri sampai jenazah itu hilang dari penglihatan mereka.


60-Ada seseorang yang jenazah tidak melintas di hadapannya, tetapi ia mengerjakan shalat jenazah di masjid. Apakah disyariatkan padanya untuk tetap berdiri saat orang-orang menggotong jenazah sampai jenazah itu tidak kelihatan? Ataukah ia harus duduk?
Jawab:
Jika para manusia membawa jenazah dan menggotongnya, maka tak tak patut bagi siapapun untuk duduk sampai jenazah itu hilang dari penglihatannya.


61-Ada seseorang yang meninggal dunia di waktu malam, apakah ia kita mesti menguburkannya pada malam itu, atau mengakhirkannya hingga besok pagi?
Jawab:
Yang paling utama adalah kita bersegera menguburkan sang mayit. Sesuai dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[3]
"Dan cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara keluarganya."
Sedangkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((ثَلَاثَةٌ يَا عَلِيُّ لَا تُؤَخِّرْهُنَّ: الصَّلَاةُ إِذَا أَتَتْ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ، وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا))[4]
"Tiga perkara yang kamu jangan menundanya wahai Ali! Yaitu shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika sudah datang, dan seorang gadis, jika sudah menemukan orang yang sepadan dengannya."
Jika tidak ditemukan seorangpun yang mengurus jenazah itu, atau orang yang menggali kuburnya, atau mereka masih menunggu kedatangan beberapa kerabat yang hendak menyalatinya, dan mereka tidak kawatir jenazah itu akan membusuk, maka penundaan ini boleh dilakukan, karena adanya suatu maslahat dan tidak adanya mafsadah (keburukan).
Tetapi jika tidak, maka yang asal adalah mempercepat proses penguburan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ))[5]
"Cepat-cepatlah mengubur jenazah. Jika dia jenazah yang saleh, maka kalian mempercepat dirinya untuk mendapat kebaikan. Tapi jika tidak demikian, maka ia hanyalah keburukan yang kalian panggul di atas pundak kalian."


62-Ada seseorang yang meninggal di kota Riyadh, sementara seluruh saudaranya dikubur di kota Dammam. Sebelum meninggal dunia ia berwasiyat agar dikuburkan bersama saudara-saudaranya di kota Dammam. Pertanyaan kami, bolehkah kami membawa jenazahnya dari Riyadh ke Dammam?
Jawab:
Hal itu tidak masalah. Dengan syarat saat memindahkannya kita tidak kawatir jenazah itu akan membusuk atau tertimpa sesuatu yang buruk.


63-Sebagian jenazah ada yang dibawa ke pemakaman dengan dimasukkan ke dalam tabut (peti mati). Pertanyaan kami, bagaimana hukumnya jika kita mengubur mayit dengan dimasukkan ke dalam tabut (peti mati)?
Jawab:
Yang dimaksud dengan "at-tabut" adalah ash-shunduq, yakni peti. Kata at-tabut ini disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kisah Ibu Nabi Musa ‘Alayhi Salam, saat meletakkan Nabi Musa ‘Alayhi Salam yang masih kecil dan hidup ke dalam tabut. Dia Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,
"Taruhlah musa di dalam peti..." [6]
Dan pada dasarnya, seorang muslim tidak boleh menguburkan jenazah yang ada dalam peti. Seharusnya jenazah itu dikuburkan bersama dengan kafannya saja tidak dengan peti.


64-Syaikh yang terhormat, ikatan mana sajakah yang harus kami lepas dari mayit ketika kami meletakkannya dalam liang lahat?
Jawab:
Ikatan yang dilepaskan adalah ikatan-ikatan yang ada pada badannya. Sedangkan ikatan yang di atas kepala, atau yang di bawah kedua kaki, maka ini tidak perlu dilepas. Jadi yang kita lepaskan adalah ikatan-ikatan yang ada pada dada, leher, perut, paha, dan betisnya.
Hikmah kenapa kita diperintah untuk membuka ikatan itu, karena mayat beberapa saat setelah dikubur, badannya akan membesar dan menggelembung. Sehingga ketika membesar ini, dan ikatan-ikatan telah kita buka, maka kita tidak menyulitkan tubuhnya yang mengembang.
Jadi, kita tidak perlu melepas ikatan yang di atas kepala atau yang di bawah kaki sang mayit.


65-Bagaimana cara mengubur jenazah itu? Bagaimana posisinya di dalam kuburan? Karena kami mendapati ada beberapa orang yang memposisikan jenazah dalam keadaan telentang dan menjadikan kedua tangannya di atas dada.
Jawab:
Yang sesuai dengan sunnah, seharusnya kita memasukkan jenazah ke liang lahat dari kaki kuburan, jika itu mudah kita lakukan. Jika kondisinya tidak memungkinkan, maka kita boleh memasukkan jenazah dari bagian tengah kuburan.
Kuburan jenazah lelaki tidak perlu ditutupi, kecuali ada udzur seperti penyakit atau angin. Adapun alasan kenapa kuburan wanita harus ditutup dengan kain, hal itu agar proses pemasukannya ke dalam lahat bisa berjalan dengan sempurna.
Dan bentuk "lahat"[7] lebih utama dari bentuk "Syaqq"[8]. Sedangkan orang yang paling utama dalam memasukkan jenazah adalah orang yang paling dekat nasabnya kepada jenazah itu. Hal ini jika ia mampu melakukannya. Tetapi jika ada orang yang lebih mengerti cara meletakkan posisi jenazah di liang lahat, maka ia lebih utama dibanding para kerabat jenazah yang tidak mengerti.
Dalam penggalian kuburan, kita disunnahkan memperdalam kuburan dan melebarkannya, sekiranya hal itu membuat baunya tidak tercium dan jenazah menjadi aman dari gangguan binatang buas.
Kita tidak boleh memasukkan kayu ke dalam kuburan atau hal-hal yang bisa terbakar dengan api, kecuali terpaksa. Kemudian kita disunnahkan memasukkan jenazah itu di dalam "lahat"nya di sisi bagian kanan, dengan menghadap kiblat. Menghadap kiblat ini adalah wajib. Ketika memasukkannya kita sambil mengucap,
((بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ))
"Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam."
Kemudian kita menancapkan batu bata[9] pada "lahat" itu. Sesuai dengan ucapan Saad Radhiyallahu ‘anhu,
((اِلْحَدُوْا لِيْ لَحْدًا وَانْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْباً، كَماَ فُعِلَ بِرَسُوْلِ اللهِ))
"Buatkanlah lahat pada jenazahku, kemudian tancapkan padanya batu bata, seperti yang dilakukan pada jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam."
Setelah itu kita meletakkan tanah liat pada setiap ujung batu bata tadi, dan menutupi setiap kerenggangan yang ada padanya. Dan yang sunnah kita memastikan kembali apakah wajah sang jenazah sudah menghadap kiblat atau tidak. Karena disebutkan dalam hadits tentang ka`bah, bahwa ia adalah kiblat kaum muslimin saat hidup dan mati.
Kemudian disunnahkan pada setiap pengiring untuk menciduk dengan tangannya sebanyak tiga cidukan, lalu dilemparkan ke dalam kuburannya. Setelah itu baru ditimbuni dengan tanah. Lalu kuburannya ini kita naikkan sejengkal dari permukaan tanah, agar jika ada orang yang lewat, ia bisa membedakannya dengan tanah yang lain. Tetapi jika kita membuatnya dalam bentuk tasnim[10], maka itu lebih baik. Kemudian kita meletakkan kerikil di atasnya agar tanah menjadi kuat dan tidak berhamburan[11]. Lalu kita siramkan air di atasnya, dan tidak masalah seandainya kita meletakkan tanah liat di atas kuburan itu agar tanah menjadi kusut dan tidak terbawa angin.
Setelah proses penguburan selesai, kita disunnahkan untuk mendoakan ketetapan buat sang mayit saat berjumpa dengan dua orang malaikat. Kita disunnahkan mengucapkan doa seperti di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ لَقِّنْهُ حُجَّتَهُ، اَللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَياَةِ الدُّنْياَ وَفِي اْلآخِرَةِ))
"Ya Allah! Ajarkan kepada dia hujjahnya. Ya Allah! Tetapkan dia dengan perkataan yang tetap di dunia dan akhirat."
Dimakruhkan bagi kita dalam kondisi di atas kuburan seperti ini untuk berbicara tentang urusan dunia, tertawa atau tersenyum. Dan tidak mengapa jika kita menakuti-nakuti manusia dan mengingatkan mereka dengan kecemasan alam barzakh. Seperti yang diriwayatkan imam Ahmad bin Hambal dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ قَعَدَ عَلَى شَفَتِهِ فَجَعَلَ يَرُدُّ بَصَرَهُ فِيهِ ثُمَّ قَالَ: يُضْغَطُ الْمُؤْمِنُ فِيهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا، ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ عِبَادِ اللَّهِ الْفَظُّ الْمُسْتَكْبِرُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ عِبَادِ اللَّهِ الضَّعِيفُ الْمُسْتَضْعَفُ، ذُو الطِّمْرَيْنِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّ اللَّهُ قَسَمَهُ)) [12]
"Pernah kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengiringi sebuah jenazah. Ketika kami sampai di kuburan, beliau duduk di pinggir kuburan, dan berulang-ulang mengarahkan pandangannya kepada kuburan tersebut. Kemudian beliau bersabda, 'Seorang mukmin akan dihimpit di dalam kuburan ini dengan himpitan sangat keras, sampai bergeser pinggir-pinggir kuburannya. Adapun orang kafir, maka kuburannya akan dipenuhi dengan api.' Kemudian beliau bersabda, 'Maukah kalian kuberitahu siapakah seburuk-buruk hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala itu? Dialah orang yang kasar dan sombong. Maukah kalian kuberitahu siapakah sebaik-baik hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dialah orang yang lemah yang selalu diremehkan, yang memakai baju compang-camping, seandainya ia menyumpah sesuatu atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan sumpahnya.'"
Juga hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu  mengenai penguburan Saad bin Mu`adz Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini,
((لَمَّا دُفِنَ سَعْدٌ وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحَ النَّاسُ مَعَهُ طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرَ النَّاسُ، ثُمَّ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مِمَّ سَبَّحْتَ؟ قَالَ: لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الرَّجُلِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ))[13]
"Ketika Saad bin Mu`adz Radhiyallahu ‘anhu dikuburkan dan kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, tiba-tiba beliau bertasbih. Maka para sahabat bertasbih bersama beliau dalam waktu yang lama. Kemudian beliau bertakbir dan para sahabat ikut bertakbir bersama beliau. Setelah itu para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah! Kenapa anda bertasbih?' beliau menjawab, 'Kuburan ini telah menghimpit tubuh lelaki shalih ini, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala Membebaskannya dari himpitannya'."
Juga dari Abu Said Al-Khudriy Radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
((شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِنَازَةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا...))
"Saya menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebuah jenazah. Maka beliau bersabda, 'Wahai para manusia! Sesungguhnya umat ini akan diuji di dalam kuburannya'."
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan tentang siksa dan nikmat kubur dalam hadits yang panjang. Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad[14] dan Al-Bazzar.
Juga dari Bara` bin Azib Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، وَكَأَنَّ عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرَ... فَقَالَ: اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ))
"Kami keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika mengiringi jenazah seorang lelaki dari anshar. Kemudian kami sampai di pekuburan, tetapi kuburan itu belum digali untuknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam duduk dan kamipun duduk di sekitar beliau, seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang bertengger... kemudian beliau berkata, 'Berlindunglah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari fitnah kubur.' Beliau mengucapkan itu dua atau tiga kali. Kemudian beliau meneruskan, 'Sesungguhnya seorang hamba mukmin, jika sudah meninggalkan dunia dan hendak menuju akhirat, turun kepadanya beberapa malaikat dari langit yang wajah mereka terang benderang'."
            Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan haditsnya dengan sangat panjang mengenai azab dan nikmat kubur, juga tentang sifat keluarnya nyawa seorang mukmin dan nyawa orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan para perawi yang tsiqah, dan sebagian perawi ini menjadi perawi kitab sahih.[15]
            Jadi, jika ada orang yang mengingatkan akhirat, hari kiamat, dan beratnya ujian dalam kuburan kepada para manusia yang ada di atas kuburan, maka hal ini tidak patut diingkari. Karena perbuatan itu berdasarkan pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang tersebut di atas. Allahu a`lam.


66-Berapakah batasan syar`i pada tanah kuburan yang ditinggikan?
Jawab:
Jika kita menggali kuburan kemudian mengubur mayit,   maka kita harus mengembalikan tanah kuburan yang kita gali tadi tanpa menguranginya sedikitpun, kecuali tanah itu sangat banyak. Kemudian kita tidak boleh meninggikan tanah kuburan itu lebih dari satu hasta[16], atau meninggikannya dari kebiasaan. Kita meninggikan disini, tujuannya agar orang-orang mengerti bahwa ini adalah kuburan seorang muslim, sehingga ia tidak menginjak-injaknya.


67-Manakah yang lebih utama dalam membuat lobang kubur, bentuk "Syaqq" atau bentuk "Lahat"?
Jawab:
Yang lebih utama adalah bentuk "Lahat", karena ada sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau bersabda,
((اَللَّحْدُ لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِناَ))[17]
"Bentuk lahat adalah bagi kita kaum muslimin, sedangkan bentuk Syaqq untuk selain kita."
Pendapat inilah yang dipilih pengarang kitab "Ar-Raudh Al-Murbi`". Kemudian dalam keutamaan lahat ini, ada juga perkataan dari Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
((اِلْحَدُوْا لِيْ لَحْدًا وَانْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْباً، كَماَ فُعِلَ بِرَسُوْلِ اللهِ))[18]
"Buatkanlah lahat pada jenazahku, kemudian tancapkan padanya batu bata, seperti yang dilakukan pada jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam."
NB:
Lahat: Adalah bentuk lobang kuburan yang segi empat, kemudian digali lagi pada bagian samping bawah yang searah dengan kiblat. Sehingga sang jenazah nanti dimasukkan ke dalam lobang ini. Setelah dimasukkan, jenazah ditutupi dengan batu bata yang tidak dibakar sampai tertutup rapat, dan bagian-bagian renggangnya ditutup dengan tanah liat. Baru kemudian ditimbuni tanah.
Sedangkan syaqq, ia adalah bentuk lobang kuburan yang hanya segi empat tanpa dilobangi lagi. Inilah yang umum dan sering kita jumpai pada masyarakat Indonesia. Tetapi ini bentuk yang tidak utama.[19]


68-Kebanyakan manusia saat mengubur jenazah, berkebiasaan menimbunkan tanah ke dalam kuburan dengan tiga kepalan tanah. Setelah itu ia pergi dan datang lainnya yang juga melemparkan tiga kepalan tanah. Apakah hal semacam ini ada dasarnya pada syariat?
Jawab:
Benar! Hal ini ada syariatnya. Yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati jenazah, kemudian beliau mendatangi mayit yang sudah dimasukkan ke liang lahat dan membuat tiga kepalan tanah, kemudian beliau melemparkan tiga kepalan tanah tersebut di arah kepala sang jenazah[20].
Demikian pula para ulama fiqih -rahimahumullah-, mereka  menegaskan dalam kitab-kitab mereka bahwa sangat dianjurkan bagi orang yang mengubur jenazah untuk melemparkan tiga kepalan tanah pada bagian kepala jenazah sambil mengucapkan,
((بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ))
"Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam."


69-Bagaimana pendapat anda tentang kebiasaan manusia yang marak di zaman ini, berupa memberikan nasehat di atas kuburan ketika jenazah dikuburkan?[21]
Jawab:
Menurut pendapat saya, memberikan nasehat di atas kuburan adalah perkara yang tidak ada syariatnya, dan tidak pantas jika kita menjadikannya sebagai kebiasaan yang terus menerus. Jika ada sebabnya, mungkin bisa dikatakan ada syariatnya. Yaitu seperti ketika melihat orang-orang yang tertawa di atas kuburan, yang bermain-main, atau bersenda gurau, maka disini tidak diragukan lagi bahwa nasehat menjadi baik dilakukan dan sangat dianjurkan. Karena ada sebab yang mengharuskan kita untuk mengucapkan nasehat itu.
Tetapi jika seseorang semata-mata berdiri dan berkhotbah di hadapan manusia saat mereka mengubur jenazah, maka hal ini tidak ada dasarnya dari tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan tidak patut kita lakukan.
Memang benar, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika sampai di kuburan saat mengiringi jenazah seorang sahabat anshar, yang waktu itu belum digali kuburan untuknya, beliau duduk di pinggir kuburan dan para sahabat ikut duduk bersama beliau, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger karena perasaan mencekam terhadap kematian itu.
Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawa sepotong kayu yang beliau gores-goreskan ke tanah. Kemudian beliau memberitahu para sahabat tentang keadaan seseorang ketika ia sekarat dan setelah dikuburkan.
Maka dalam hadits ini, sangat jelas bahwa beliau tidaklah berkhotbah dan tidak pula menasehati mereka. Tetapi beliau duduk sedang para sahabatnya menunggu kapan jenazah ini dimasukkan, sehingga beliaupun memberitahu mereka tentang hal ini.
Seperti halnya jika anda dan kawan-kawan anda sedang menunggu penguburan jenazah. Maka anda memberitahu mereka dengan hal yang sama seperti ini. Dan tentunya sangat berbeda antara perbincangan khusus yang terjadi diantara sesama kawan yang duduk, dan antara perbincangan yang diucapkan dalam bentuk seperti khotbah.
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ketika mengubur jenazah, beliau berdiri di atas kuburan sambil berkata,
((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))[22]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang ditanyai."
Maka hadits ini, ia merupakan permasalahan yang khusus bukan sebuah khotbah. Demikian pula dengan berdirinya beliau di kuburan seorang sahabat, kemudian beliau memberitahu para sahabat dengan kedua air matanya bercucuran. Beliau bersabda,
((مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ))[23]
"Tidak ada seorangpun dari kalian, kecuali telah ditentukan tempat duduknya; apakah di surga atau di neraka."
Hadits ini, atau hadits lain yang semakna, semuanya tidak menunjukkan bahwa khotbah di atas kuburan ketika menguburkan jenazah adalah suatu perkara yang disyariatkan, sehingga kita bisa menjadikannya sebagai suatu kebiasaan yang terus dilakukan. Dan permasalahan seperti ini, mestinya kita harus sangat berhati-hati.


70-Mengenai doa yang diucapkan setelah mayat dikuburkan, apakah kita melakukannya secara bersama-sama atau sendirian?
Jawab:
Pada dasarnya, doa seperti ini setiap orang harus mengucapkannya sendiri-sendiri. Tetapi jika ada beberapa orang yang tidak mengerti bagaimana cara berdoa, maka salah seorang dari para hadirin boleh berdoa dengan suara keras, kemudian yang lain mengamini. Karena mengamini sebuah doa, sama saja dengan berdoa. Seperti halnya saat membaca surat al-fatihah, imam yang membacanya kemudian para makmum mengamini bacaannya.


71-Apakah kita diharuskan mengangkat kedua tangan ketika berdoa untuk mayit setelah dikuburkan?
Jawab:
Setiap doa yang di luar shalat, kita disunatkan untuk mengangkat kedua tangan. Karena, mengangkat kedua tangan adalah salah satu sebab dikabulkannya doa dan permintaan yang kita ajukan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا))[24]
"Sesungguhnya Rabb kalian yang Maha Suci dan Maha Tinggi, sangat Pemalu dan sangat Pemurah. Dia Malu jika ada seorang hamba-Nya yang mengangkat kedua tangan saat berdoa, kemudian Dia tidak Memberinya apa-apa."
Imam As-Suyuthi telah mengumpulkan hadits-hadits tentang mengangkat tangan ini dalam sebuah kitab yang bernama, "Fadhdhu Al-Wi`a` Fi Ahaadits Raf`il Yadain fi Ad-Du`a`". Hadits yang beliau kumpulkan ini berjumlah lebih dari empat puluh hadits, apakah itu dari perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam atau dari perbuatannya. Dan masuk dalam bilangan hadits ini, yaitu berdoa buat si mayit di atas kuburannya sebelum atau sesudah dikuburkan.
Sebagaimana kitab itu juga mencakup seluruh hadits tentang mengangkat tangan pada setiap doa yang dianjurkan. Apakah itu setelah mengerjakan shalat, puasa, haji, atau yang lainnya.


72-Bolehkah bagi kita untuk duduk atau berdiri di kuburan ketika mendoakan mayit?[25]
Jawab:
Ziarah kubur yang syar`i, yaitu kita menziarahi kubur dengan maksud mengambil ibrah dan nasehat, juga untuk mengingatkan kita kepada kematian. Bukan untuk mencari berkah dari orang-orang saleh yang dikubur di dalamnya.
Barangsiapa datang ke kuburan, ia harus mengucapkan salam kepada para penduduk kubur itu. Yaitu mengucapkan,
((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ))[26]
"Semoga keselamatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa terlimpahkan kepada kalian wahai para penduduk alam kubur, dari kaum mukminin dan muslimin. insya Allah Subhanahu wa Ta’ala kami pasti menyusul kalian. Saya memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat kami, juga buat kalian."
Dan jika berkehendak, kita bisa mendoakan para penduduk kubur itu dengan doa-doa lain yang ma`tsur selain doa di atas.
Dalam kuburan, kita dilarang berdoa kepada orang mati, dan dilarang meminta pertolongan kepada mereka untuk menghilangkan malapetaka, atau untuk mendatangkan maslahat. Karena doa adalah ibadah. Jadi ibadah itu hanyalah diperuntukkan buat Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Dan tidak masalah, jika kita berdiri atau duduk di samping kuburan ketika mendoakan si mayit, bukan untuk mencari berkah atau beristirahat. Karena kuburan bukanlah ajang untuk beristirahat atau tempat tinggal yang bisa kita duduki dengan seenaknya.
Setelah mengubur jenazah, kita disyariatkan untuk berdiri di samping kuburan untuk mendoakan sang jenazah agar diberi ketetapan dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, bahwa setiap selesai mengubur jenazah beliau duduk di samping kuburan sembari berkata,
((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))[27]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang ditanyai."


73-Bagaimana hukum mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan sang mayit, saat ia diturunkan?[28]
Jawab:
Tidak diragukan bahwa ini adalah perbuatan bid`ah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menurunkan perintah untuk itu. Karena hal ini tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan tidak pula dari para sahabat yang mulia. Padahal segala kebaikan ada dalam mengikuti mereka dan menapaki jalan yang mereka tempuh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At-Taubah: 100)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga bersabda,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))[29]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Dalam lafadz lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))[30]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak."
Beliau juga bersabda,
((أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ))[31]
"Amma ba`du, maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru. Dan setiap bid`ah adalah sesat."
Dan mudah-mudahan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, keluarga dan para sahabat beliau.


74-Bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang mengatakan bahwa jenazah mendengar talqin setelah ia dikuburkan, sebagaimana ia mendengar suara sandal para pengiring yang meninggalkannya?
Jawab:
Talqin yang dimaksud adalah talqin yang diucapkan kepada mayit setelah dikuburkan. Yaitu seseorang berkata, "Wahai fulan bin fulan, jika dua orang malaikat datang kepadamu maka ucapkan ini dan itu!"
Atau, "Ingatlah keyakinan yang sewaktu hidup kamu pegang, berupa keyakinan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tuhan, islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi."
Atau, "Katakan: Laa ilaaha Illallaah, Muhammad rasuulullah.."
Dalam hal ini memang ada sebuah hadits yang menerangkan. Hadits ini diriwayatkan imam Ad-Daruquthni, tapi hadits ini dhaif. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab "bulughul maram" sudah memberikan isyarat terhadap kedhaifannya, kemudian beliau mendatangkan lafadznya secara lengkap dalam kitab "At-Talkhish Al-Habir". Dan Imam Ash-Shan`ani dalam kitab "Subulus salam" juga memberikan isyarat dengan hal yang sama.
Hadits ini lafadznya adalah gharib (aneh), tak ada seorang imam haditspun yang mengeluarkannya dalam Al-Kutub As-Sittah[32], tidak pula para ulama` yang menulis kitab-kitab sahih ataupun kitab musnad.
Yang paling benar, hadits ini tidak bisa diamalkan. Dan tidak pantas jika kita mentalqin mayit dengan ucapan seperti ini. Meski seandainya ia mendengar ucapan kita seperti saat mendengar suara sandal, maka hal ini tidak berguna kepadanya jika ia mati dalam keadaan kafir atau munafik. Yang berguna baginya hanyalah amal saleh yang diperbuatnya sewaktu masih hidup. Allahu a`lam.


75-Ada seorang muslim yang meninggal dengan meninggalkan banyak putra. Putra-putranya ini kaya-kaya dan banyak berbuat kebaikan. Halalkah bagi mereka seandainya menyembelih kambing untuk mayit itu, atau membuat roti buat si mayit pada tanggal ketujuh atau keempat puluh dari kematiannya sebagai hadiah buat si mayit, kemudian ia mengundang seluruh kaum muslimin untuk menikmati makanan tersebut?[33]
Jawab:
Sadaqah buat si mayit memang disyariatkan, demikian pula dengan memberi makan fakir miskin, berbuat kebaikan kepada mereka, membantu tetangga yang kesusahan, dan menghormati kaum muslimin dengan sajian tadi. ini semua merupakan kebaikan dan perbuatan bagus yang sangat dianjurkan oleh syariat.
Tetapi menyembelih kambing, sapi, unta, burung, atau hewan lainnya buat sang mayit saat meninggal dunia, atau melakukan perbuatan ini pada hari tertentu, seperti pada hari ketujuh, hari keempat puluh, hari kamis, hari jum`at, atau malam jum`at, untuk menyadaqahkannya buat si mayit pada waktu-waktu tadi, ini merupakan perbuatan bid`ah yang munkar yang tidak pernah dilakukan pada masa pendahulu kita yang saleh, yaitu para sahabat radhiyallahu anhum.
Jadi, kita wajib meninggalkan perbuatan bid`ah ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))[34]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Juga sabdanya yang lain,
((إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ))[35]
"Janganlah kalian mengerjakan perbuatan yang baru dalam agama ini. Karena setiap perbuatan baru adalah bid`ah, dan setiap perbuatan bid`ah adalah sesat."


76-Syaikh yang terhormat! Setelah kita mengubur jenazah, ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa kita harus menunggu seukuran ketika kita menyembelih onta. Apakah maksud hadits ini?[36]
Jawab:
Hadits ini –mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati anda- adalah ucapan yang diwasiyatkan Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu. Ia menyuruh para pengiringnya untuk menunggu dia di atas kuburannya sekadar lamanya binatang yang disembelih sampai dibagi-bagi dagingnya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memerintahkan hal ini kepada umatnya, dan perbuatan seperti ini, juga tidak dikerjakan para sahabat sepengetahuan kami.
Tetapi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap beliau selesai mengubur jenazah adalah berhenti sejenak dan berkata,
 ((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))[37]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang ditanyai."
Jadi yang mesti anda lakukan adalah berhenti di atas kuburan dan berdoa, "Ya Allah! Tetapkanlah ia. Ya Allah! tetapkanlah ia. Ya Allah! Ampunilah dia. Ya Allah! Ampunilah dia. Ya Allah! Ampunilah dia." Kemudian anda pergi. Adapun menunggu selama itu seperti yang diwasiatkan Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu, maka hal ini tidak disyariatkan.


77-Bagaimana hukum mentalqin mayit setelah ia dikuburkan? Amalan apa sajakah yang harus kami lakukan setelah mengubur jenazah, yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam?
Sedangkan mengenai dzikir setelah shalat, apakah dzikir ini dilakukan secara berjamaah dengan suara keras, yang makmum mengikuti imam, atau selain itu?[38]
Jawab:
Yang pertama: Telah terbit fatwa dari kami tentang hukum mentalqin mayit. Fatwa itu adalah,
Tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur jenazah, beliau dan para sahabatnya berdiri di samping kuburan, lalu memintakan ampunan dan ketetapan bagi si mayit. Beliau juga menyuruh para sahabat untuk memintakan hal itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat si mayit tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat Abu Dawud[39] dari Hani` maula Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((كَانَ النَّبِيُّ إِذاَ فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))
"Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur jenazah, beliau berhenti di samping kuburan itu dan berkata, 'Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena sekarang ia sedang ditanyai'."
Jadi! Yang dikerjakan beliau bukanlah duduk di samping kuburan lalu membaca al-qur`an atau mentalqin si mayit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata[40], "Mentalqin si mayit setelah kematiannya bukanlah suatu kewajiban menurut ijma` para ulama. Dan bukan pula termasuk perbuatan kaum muslimin yang masyhur dari mereka di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam maupun zaman khulafa` rasyidin. Tetapi perbuatan itu hanya diambil dari beberapa orang sahabat seperti Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu dan Watsilah bin Al-Asyqa` Radhiyallahu ‘anhu.
Maka dari para ulama, ada yang memberikan rukhshah (keringanan) terhadap perbuatan ini seperti yang dilakukan Imam Ahmad. Bahkan ada sebagian pengikut madzhab Ahmad dan pengikut madzhab Syafi`i yang menganggap baik perbuatan ini. Tetapi diantara para ulama ada pula yang menghukuminya makruh, karena mereka meyakini bahwa ini adalah sebuah perbuatan bid`ah.
Jadi pendapat dalam masalah ini ada tiga macam: Istihbab (menganggap baik), makruh, dan mubah. Inilah pendapat-pendapat yang ada. Tetapi perbuatan sunnah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan sangat beliau anjurkan adalah berdoa buat si mayit."
Kedua: Telah keluar fatwa dari kami tentang perbuatan yang disyariatkan setelah mengubur mayit. Yaitu berupa doa dan istighfar buat sang mayit. Fatwa itu adalah,
"Setelah mengubur mayit dan menimbunkan tanah, kita Boleh berdiri di samping kuburan untuk memintakan ampun buat si mayit dan mendoakannya. Hal ini sangat dianjurkan, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim –Al-Hakim menghukuminya sahih- dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
((كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذاَ فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلـُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))
"Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur jenazah, beliau berhenti di samping kuburan dan berkata, 'Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena sekarang ia sedang ditanyai'."
Tetapi sepengetahuan kami, tidak ada sebuah hadits pun yang sahih yang menyebutkan seperti apa sifat istighfar dan doa buat si mayit yang habis dikubur itu. Yang disebutkan hanyalah perintah untuk memintakan ampunan dan berdoa secara mutlak buat si mayit agar ditetapkan. Maka cukup bagi kita dalam mengikuti perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ini dengan mengucapkan istighfar dan doa apapun. Seperti kita mengucapkan, 'Ya Allah! Ampunilah dia. Ya Allah! Tetapkan dia atas kebenaran.' Dan doa lain yang semacamnya."
Ketiga: Telah keluar pula fatwa dari kami tentang berdoa dan dzikir secara jamaah (bersama-sama) dengan suara keras sehabis mengerjakan shalat wajib. Inilah bunyi fatwa itu,
Pada dasarnya, dzikir dan ibadah adalah tauqifi[41] dan kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang diperintahkan-Nya. Demikian pula dengan kemutlakan dzikir dan ibadah tadi, serta penentuan waktu, tata cara, atau penentuan jumlahnya, harus sesuai dengan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pula.
Jika yang diperintahkan adalah mutlak tanpa ada ketentuan waktu, jumlah, tempat, atau tata cara, maka tidak boleh bagi kita untuk menetapinya dengan tata cara tersendiri, waktu tersendiri, atau jumlah tersendiri. Jadi, kita tetap beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak seperti diperintahkan-Nya.
Adapun yang ditetapkan dengan dalil-dalil, baik dari perbuatan ataupun perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, tentang pembatasannya dengan waktu tertentu, jumlah, tempat, atau tata cara, maka kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang ditetapkan oleh syariat tadi.
Dan tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, apakah itu perbuatan, ucapan, atau ketetapan mengenai doa secara berjamaah setelah shalat wajib, setelah membaca al-qur`an langsung, atau setelah selesai pelajaran. Sama saja, apakah itu dengan doa imam dan peng-amin-an para makmum atas doanya, atau dengan doa mereka semua secara serempak. Hal ini juga tidak pernah didapati dari para khulafa` rasyidin dan para sahabat.
Jadi, barangsiapa yang menetapi doa secara berjamaah setelah shalat lima waktu, atau setiap habis membaca al-qur`an, atau sehabis selesai pelajaran, maka ia telah berbuat bid`ah dalam agama, dan membuat perkara baru yang sama sekali bukan dari agama. Padahal telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebuah riwayat sahih bahwa beliau bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))[42]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak."
Beliau juga bersabda,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))[43]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."


78-Bagaimana kita menggabungkan antara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ))[44]
"Sesungguhnya mayit itu disiksa dengan tangisan keluarga terhadapnya."
Dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
{وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...}[45]
"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain." (QS. Al-Isra`: 15)?
Jawab:
Hadits ini tidak berarti bahwa seorang mayit disiksa karena perbuatan orang lain. Tetapi makna sahihnya, adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, "Uddah Ash-Shaabirin wa Dzakhirah Asy-Syaakirin"[46].
Beliau berkata: Maksud hadits, "Seorang mayit disiksa dengan tangisan keluarganya terhadapnya" bahwa si mayit merasa sakit dari perbuatan keluarganya dan dari tangisan, serta jeritan, dan niyahah mereka. 
Semua perbuatan ini membuat si mayit bersedih dan merasa kesakitan. Sebagaimana ia merasa sakit dari perbuatan buruk keluarganya sewaktu masih hidup. Yang demikian itu, Karena si mayit diperlihatkan kepadanya amal-amal yang dilakukan kerabatnya.
Sehingga, berdasarkan pernyataan ini berarti si mayit tidak disiksa karena dosa orang lain. Jadi tidak ada pertentangan (ta`arudh) antara ayat dan hadits di atas.


79-Kami harap kepada Syaikh yang terhormat, agar memperingatkan kaum muslimin bagaimana hukum membaca al-qur`an atas orang mati, apakah itu boleh atau tidak? Dan bagaimana kedudukan hadits-hadits yang menerangkan tentang hal itu?[47]
Jawab:
Membaca al-qur`an atas orang mati tidak ada dasar sahih yang bisa dijadikan pedoman dan tidak ada pula syariatnya. Yang disyariatkan hanyalah membaca al-qur`an diantara orang-orang yang masih hidup, agar mereka bisa mengambil manfaat dari bacaan itu, dan mentadabburi kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian memahaminya.
Adapun membaca al-qur`an atas orang mati di atas kuburannya, atau setelah kematiannya sebelum ia dikubur, atau membaca untuknya di tempat mana saja untuk dihadiahkan kepadanya, maka sepengetahuan kami hal ini tidak ada dalilnya.
Para ulama` telah mengarang banyak kitab dalam masalah ini, juga menulis banyak tulisan tentang hal itu. Diantara mereka ada yang membolehkan membaca, bahkan menganjurkan agar si mayit itu dikhatami dengan al-qur`an sebanyak beberapa khataman, dan menggabungkan perbuatan ini termasuk sadaqah dengan harta.
Tapi diantara ulama ada yang berkata, ini adalah perbuatan tauqifi. Maksudnya, perbuatan ini termasuk ibadah-ibadah, maka tidak boleh mengerjakannya kecuali yang ditetapkan oleh syariat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))[48]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak."
Juga tidak ada dalil pada masalah ini sepengetahuan kami yang menunjukkan disyariatkannya membaca al-qur`an buat orang mati. Jadi kita harus tetap pada kaidah dasar yang mengatakan bahwa ibadah adalah tauqifi.
Jadi! Tidak boleh dibacakan al-qur`an atas orang mati, beda dengan sadaqah atas nama mereka, berdoa untuk mereka, haji, umrah dan melunaskan hutang orang lain atas nama mereka. Karena seluruh perbuatan ini bermanfaat bagi mereka.
Dalam hal ini banyak dalil yang menyebutkan. diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ))[49]
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputus seluruh amal perbuatannya kecuali tiga hal. Sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya."
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga Berfirman,
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka –yakni setelah para sahabat-, mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"." (QS. Al-Hasyr: 10)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah Memuji orang-orang yang datang setelah para sahabat karena doa mereka bagi para pendahulunya. Hal ini menunjukkan bahwa doa bagi kaum muslimin yang meninggal dunia adalah disyariatkan, dan hal itu sangat bermanfaat bagi mereka. Demikian pula dengan sadaqah, ia juga berguna buat orang-orang mati berdasarkan hadits tersebut di atas.
Dan sangat mungkin sekali, jika mensadaqahkan harta yang kita gunakan menyewa orang untuk membaca al-qur`an buat orang mati itu, kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dengan niat untuk mayit ini. Sehingga si mayit mengambil manfaat dari harta tersebut dan orang yang menyadaqahkan harta tadi bisa selamat dari perbuatan bid`ah. Karena telah disebutkan dalam sahih Muslim hadits di bawah ini,
((أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ))[50]
"Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Ia berkata, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibu saya meninggal secara tiba-tiba dan tidak berwasiyat apapun. Saya yakin, seandainya ia berbicara pasti ia bersadaqah. Apa dia mendapat pahala jika saya bersadaqah untuknya? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Benar!"
Disini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan bahwa sadaqah atas nama si mayit, akan berguna bagi mayit itu. Demikian pula dengan ibadah haji dan umrah yang dilakukan untuknya. Banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini. Demikian pula dengan melunaskan hutang orang lain atas nama si mayit, hal ini bermanfaat pula bagi si mayit.
Adapun jika seseorang membaca al-qur`an, kemudian memberikan pahala bacaan al-qur`an tadi kepada si mayit, atau menghadiahkannya, atau ia mengerjakan shalat dan puasa tatawu` untuk si mayit, maka ini semua tidak ada dalilnya. Jadi yang benar, sesungguhnya perbuatan ini tidak disyariatkan.


80-Bolehkah membagi al-qur`an menjadi tiga puluh juz dengan dijilid dalam bentuk tersendiri, sekiranya satu bagian dari beberapa ayat dibuat dalam satu juz terjilid, dan beberapa bagian ayat lainnya dalam satu juz terjilid sendiri, dan berada di tangan orang lain[51]. Kemudian beberapa kaum muslimin yang hadir disitu membacanya dalam setengah jam -misalnya- dalam upacara itu, lalu dikatakan bahwa khatam al-qur`an yang sempurna ini dihadiahkan kepada roh si mayit?[52]
Jawab:
Pertama: Yang dilakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah, mereka membagi al-qur`an berdasarkan surat bukan dengan ayat. Mereka juga tidak membaginya berdasarkan pada jumlah huruf. Tetapi mereka membuatnya menjadi tujuh hizib. Dan setiap orang dari mereka secara umum mengkhatamkan Al-Qur`an dalam waktu tujuh malam.
Maka dari Aus bin Abi Aus Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((سَأَلْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ؟ قَالُوا: ثَلَاثٌ وَخَمْسٌ وَسَبْعٌ وَتِسْعٌ وَإِحْدَى عَشْرَةَ وَثَلَاثَ عَشْرَةَ وَحِزْبُ الْمُفَصَّلِ وَحْدَهُ))[53]
"Saya bertanya kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, bagaimana cara mereka dalam membagi al-qur`an? Mereka menjawab, membaginya menjadi tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, dan tiga belas. Adapun hizib al-mufashshal[54] maka dibagi secara tersendiri."
Adapun membagi al-qur`an menjadi tiga puluh juz, atau membaginya menjadi enam puluh bagian, apalagi dengan sangat memperhatikan jumlah huruf, maka yang pertama kali melakukan hal ini terhadap al-qur`an adalah Al-Hajjaj bin Yusuf. Dialah yang memerintahkan hal ini.
Setelah itu, kebiasaan semacam ini menyebar dari Iraq ke seluruh negeri-negeri Islam. Tetapi cara pembagian yang pertama –yaitu cara para sahabat- adalah lebih utama, karena itulah yang makruf diantara para sahabat dan para pengikut mereka, yang perbuatan mereka terhadap agama ini lebih telitih dan lebih hati-hati.
Juga karena dengan pembagian ala sahabat tadi, menjadi terwujud kesempurnaan arti dan kisah cerita, sesuai dengan habisnya hizib tersebut. Lain halnya dengan pembagian atau pembuatan hizib al-qur`an yang diperintahkan oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, yang kadang-kadang satu hizib itu selesai sebelum sempurnanya arti atau kisah.
Adapun yang anda sebutkan, bahwa satu bagian dari beberapa ayat dijadikan dalam satu juz yang terjilid, dan bagian beberapa ayat lainnya terdapat pada juz yang terjilid lainnya dan berada di tangan orang lain, maka hal ini tidak pernah terjadi pada pembagian yang dilakukan oleh para sahabat, dan seorang muslim tidak patut untuk memperbuatnya.
Kedua: Para sahabat tidak pernah membagi-bagi Al-Qur`an diantara mereka, yang setiap orang dari mereka membaca satu juz, agar dengan setiap satu juz yang mereka baca terlaksana satu khataman, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada roh sang mayit. Para sahabat tidak pernah melakukan hal semacam ini. Yang mereka lakukan adalah, setiap orang dari mereka membaca apa yang dimudahkan dari Al-Qur`an kepada mereka, atau membacanya secara keseluruhan dalam beberapa malam atau beberapa hari. Sehingga dia mengkhatamkannya sendiri, demi mengambil manfaat dari al-qur`an itu, dan mengharap pahalanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya sendiri.
Dan tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau membaca al-qur`an untuk roh orang-orang mati, atau beliau menghadiahkan pahala bacaannya kepada mereka.
Ketahuilah! Sebaik-baik kebaikan adalah dalam mengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, berpegang teguh terhadap sunnah dan tuntunan beliau, juga perbuatan para khulafa` rasyidin. Dan mudah-mudahan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, keluarga dan para sahabatnya.


81-Ketika ada orang meninggal dunia, ada beberapa orang yang bertugas mengumpulkan para manusia. Setelah mereka berkumpul, ia mendatangkan seorang qari` yang membaca al-qur`an di tengah-tengah mereka. pertanyaan kami, benarkah perbuatan seperti ini?[55]
Jawab:
Ini adalah perbuatan bid`ah yang sangat mungkar.


82-Syaikh yang terhormat, bagaimana kedudukan hadits yang mengatakan, "Bacakan surat yasin atas orang-orang mati kalian[56]." Karena sebagian orang ada yang membaca surat yasin ini di samping kuburan[57].
Jawab:
Hadits,
((اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يَسٍ))
"Bacakan surat yasin atas orang-orang mati kalian!"
Hadits ini adalah dhaif karena terdapat padanya seorang perawi yang dhaif. Kemudian... waktu membaca surat Yasin yang paling tepat -jika hadits ini sahih-, adalah ketika seseorang dalam keadaan sekarat. Di saat seperti inilah seharusnya dibacakan surat yasin atasnya.
Para ulama` mengatakan bahwa surat Yasin ini mempunyai keutamaan, yaitu memudahkan keluarnya roh dari tubuh orang yang meninggal dunia. Karena dalam surat ini terdapat ayat yang berbunyi,
"Dikatakan kepadanya, 'Masuklah ke dalam Surga!' Maka ia berkata, 'Aduhai kaumku! Seandainya mereka mengerti perihal ampunan yang telah diberikan Rabbku kepadaku, dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan'." (QS. Yaasiin: 26-27)
Jadi, surat ini hanya dibacakan kepada orang yang sekarat, jika kedudukan haditsnya benar-benar sahih. Adapun membacanya di atas kuburan, maka hal ini tak ada dalilnya.


83-Ada sebagian orang, yang ketika menguburkan jenazah dan menimbunkan tanah di atas kuburannya, ia mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan tersebut. Sebagian mereka ada yang membaca al-qur`an di kuburannya. Menurut anda bagaimana hukum perbuatan ini?
Jawab:
Mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan tidak ada dalilnya dalam agama Islam. Yang ada hanyalah hadits mengenai talqin yang dinukil oleh pengarang kitab "Subulus Salaam", yaitu ketika si mayit sudah dikuburkan, maka dikatakan kepadanya, "Wahai Fulan bin fulan! Ingatlah bahwa kamu saat hidup senantiasa berpegang kepada: Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu ann muhammadan Rasulullah.." tetapi hadits ini bukan hadits yang sahih, sehingga tidak boleh diamalkan.
Karena itulah, melakukan talqin di kuburan, mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan, atau membaca al-qur`an di kuburan atas si mayit, semua perbuatan ini adalah dilarang.


84-Ada beberapa orang yang ketika sekarat, ia berwasiyat agar setelah wafatnya nanti ia dikuburkan di kota Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yakni kota Madinah. Tetapi ia meninggal dunia di kota lain, seperti Riyadh misalnya. Bagaimana hukum memindahkan jenazahnya ke kota Madinah?
Jawab:
Perbuatan ini tidak apa-apa dilaksanakan. Karena pada dasarnya ia dibolehkan, ketika tidak ada kesulitan dalam melakukannya, dan si mayit tidak dikawatirkan membusuk. Juga pemindahannya ke kota lain ini tidak menunda proses penguburannya, seperti jika proses pemberangkatannya perlu waktu yang lama misalnya.
Karena yang seharusnya dilakukan oleh keluarga yang masih hidup adalah menyegerakan mengubur mayit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[58]
"Dan cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara keluarganya."
Juga sesuai sabda beliau yang lain,
((أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ))[59]
"Cepat-cepatlah mengubur jenazah. Jika dia jenazah yang saleh, maka kalian mempercepat dirinya untuk mendapat kebaikan. Tapi jika tidak demikian, maka ia hanyalah keburukan yang kalian panggul di atas pundak kalian."
Jadi kesimpulannya: Jika kita tidak kawatir jenazahnya akan membusuk, kemudian ada kendaraan yang bisa membawanya dengan cepat, maka kita tidak apa-apa untuk memindahkannya.


85-Bolehkah kita menangisi si mayit dengan tangisan yang disertai jeritan, merobek-robek baju, dan memukul pipi? Apakah tangisan seperti ini berpengaruh bagi si mayit?[60]
Jawab:
Kita tidak boleh meratapi mayit, menangis dengan menjerit-jerit, merobek-robek baju, memukuli pipi, atau melakukan perbuatan lain yang serupa dengan itu.
Karena ada sebuah riwayat dalam kitab Ash-Shahihain dari Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda,
((لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ))[61]
"Bukan golongan kami seseorang yang menampari pipi, merobek-robek baju, dan memanggil-manggil dengan panggilan jahiliyah."
Dan ada hadits lain dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau melaknati wanita yang berbuat niyahah, juga melaknati wanita yang mendengarkan niyahah itu.
Juga ada riwayat sahih, bahwasanya beliau bersabda,
((إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ فِيْ قَبْرِهِ بِمَا يُنَاحُ عَلَيْهِ))[62]
"Sesungguhnya mayit itu akan disiksa dalam kuburannya sebab tangisan yang diperuntukkan baginya."
Dalam lafadz lain,
((إِنَّ الْمَيِتَّ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ)) [63]
"Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangisan keluarga terhadapnya."


86-Darimanakah datangnya peringatan yang dilaksanakan untuk mayit pada hari ketiga dari penguburannya?[64]
Jawab:
Perbuatan ini adalah kebid`ahan yang dilakukan orang-orang tidak mengerti tentang Islam, dan tidak memahami kewajiban mereka terhadap Islam dalam memelihara ushul dan furu`nya[65]. Mereka juga tidak memiliki bagian keIslaman yang sempurna, tetapi mencampur adukkan agama itu dengan adat istiadat orang-orang yang tersesat.
Jadi, perbuatan ini adalah perkara bid`ah yang dibuat-buat dalam Islam. Sehingga perkara ini pasti ditolak oleh syariat. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))[66]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak."


87-Atas dasar apakah orang-orang memperingati mayit pada hari keempat puluh setelah kematiannya. Apakah ada dalil yang jelas tentang disyariatkannya menyanjung-nyanjung kebaikan si mayit ini?[67]
Jawab:
Pertama: Pada dasarnya peringatan keempat puluh hari setelah kematian mayit adalah kebiasaan para fir`aun Mesir, yang sering mereka kerjakan sebelum datangnya ajaran Islam. Kemudian kebiasaan ini menyebar dari mereka dan diikuti para manusia lainnya. Perbuatan ini adalah perkara bid`ah yang mungkar, yang sama sekali tidak ada dalilnya dalam Islam. Perbuatan ini ditolak oleh sabda Nabi yang berbunyi,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))[68]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Kedua: Meratapi si mayit dan memuji-muji kebaikannya dengan cara yang ada di zaman ini, berupa berkumpul untuk melakukan hal itu, serta berlebih-lebihan dalam memuji si mayit, maka ini tidak boleh dilakukan. Sesuai dengan hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Al-Hakim dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَرَاثِي))[69]
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kita meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan si mayit."
Juga karena dalam menyebut-nyebut sifat si mayit ada semacam kebanggaan, memperbarui rasa duka cita, dan merangsang kesedihan yang terus menerus, maka perbuatan ini menjadi dilarang.
Adapun jika sekedar memuji si mayit saati namanya disebut orang, atau ketika jenazahnya sedang lewat, atau agar jenazahnya dikenal orang, dengan menyebut perbuatan-perbuatan mulianya atau semacamnya, yang serupa dengan perbuatan para sahabat saat memuji kebaikan para syuhada` Uhud dan lainnya, maka ini tidak apa-apa dilakukan.
Sesuai dengan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((مُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرًا فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ، وَجَبَتْ، وَجَبَتْ. وَمُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ، وَجَبَتْ، وَجَبَتْ. قَالَ عُمَرُ: فِدًى لَكَ أَبِي وَأُمِّي، مُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرٌ، فَقُلْتَ: وَجَبَتْ وَجَبَتْ وَجَبَتْ، وَمُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شَرٌّ، فَقُلْتَ: وَجَبَتْ وَجَبَتْ وَجَبَتْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ))[70]
"Ada seorang jenazah yang lewat, kemudian jenazah itu dipuji oleh banyak orang. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib baginya.'  Kemudian lewat seorang jenazah, lalu orang-orang mencela keburukan dirinya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib baginya.'
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, 'Wahai Rasulullah! Kenapa ketika ada jenazah lewat kemudian ia dipuji banyak orang anda mengucapkan, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib baginya.' dan ketika ada jenazah lewat lainnya dan ia dicela keburukannya anda mengucapkan, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib baginya.'?'
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, 'Jenazah manapun yang kalian puji kebaikannya, maka wajib baginya surga. Dan jenazah manapun yang kalian cela keburukannya, maka baginya adalah neraka. Kalian adalah para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Kalian adalah para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Kalian adalah para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi'."


88-Bolehkah kita menyebut si mayit bahwa dia adalah Al-Maghfur lah (yang diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) atau Al-Marhum (yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala)?[71]
Jawab:
Sering kita temui di Koran-koran, berita tentang kematian beberapa orang. Seperti halnya, banyak kita temui ucapan "turut berduka cita" kepada kerabat-kerabat si mayit. Dalam koran-koran itu, mereka menyebut si mayit dengan al-maghfur lah, al-marhum, atau ucapan-ucapan serupa lainnya yang memastikan bahwa ia adalah penduduk Surga.
Tentunya hal ini tidak tersembunyi bagi orang yang mempunyai ilmu tentang aqidah dan ajaran Islam, bahwa hal itu termasuk perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Dan aqidah ahlussunnah wal jama`ah menyatakan, kita tidak boleh bersaksi untuk siapapun bahwa dia adalah penduduk Surga atau penduduk Neraka. Kecuali orang-orang yang disebutkan oleh nash al-qur`an al-karim seperti Abu Lahab, atau yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersaksi bahwa mereka adalah penduduk Surga, seperti sepuluh orang sahabat yang dipastikan masuk Surga dan yang lainnya.
Semakna dengan hal di atas, yaitu persaksian dari seseorang bahwa si mayit telah diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala atau telah dirahmati-Nya. Karena itulah, yang semestinya kita ucapkan adalah, Ghafarallahu lah; mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengampuninya, atau Rahimahullah; mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala Merahmatinya, atau kata-kata lainnya yang merupakan doa bagi si mayit.


89-Apa hukumnya jika beberapa orang mengatakan, "Ia telah dikubur di tempat peristirahatan terakhirnya"?[72]
Jawab:
Perkataan, "Ia telah dikubur di tempat peristirahatan terakhirnya" haram untuk kita ucapkan. Sebab, jika anda mengucapkan, "jenazah itu sudah dikuburkan di tempat peristirahatannya yang terakhir" berarti kuburan adalah tempat paling akhirnya. Padahal perkataan ini mengandung akidah pengingkaran terhadap hari kebangkitan.
Dan merupakan hal yang dimaklumi (diketahui) oleh kaum muslimin pada umumnya, bahwa kuburan bukanlah tempat paling akhir bagi si mayit. Kepercayaan bahwa kuburan adalah tempat terakhir, hanya diyakini orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir.
Adapun seorang muslim, maka sesuatu paling terakhirnya bukanlah kuburan. Pernah pada suatu ketika, ada orang arab baduwi (pedalaman), mendengar seorang lelaki membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu menziarahi[73] alam kubur." (QS. At-Takaatsur: 1-2)
Maka orang arab baduwi itu berkata, "Demi Allah! Orang yang berkunjung itu tidak akan menetap."
Orang baduwi mengatakan demikian, karena orang yang berkunjung atau berziarah, akan meneruskan perjalanannya. Maka mau tidak mau harus ada hari kebangkitan. Dan inilah yang benar.


90-Saya kadang-kadang mengerjakan ibadah thawaf untuk salah seorang kerabat, orang tua, atau kakek-kakek saya yang telah meninggal dunia. Bagaimana hukum perbuatan saya ini? Dan bagaimana pula hukum mengkhatamkan al-qur`an buat mereka? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala Membalas anda dengan balasan yang sebaik-baiknya.[74]
Jawab:
Yang afdhal (paling utama) adalah meninggalkan perbuatan ini, karena tidak ada dalil untuk itu. Tetapi disyariatkan bagi anda untuk bersadaqah buat siapa saja dari kerabat dan lainnya yang meninggal dunia dalam keadaan muslim. Juga disyariatkan bagi anda untuk berdoa buat mereka, mengerjakan ibadah haji, dan umrah.
Adapun mengerjakan shalat buat mereka, melakukan thawaf, dan membaca al-qur`an buat mereka, maka yang afdhal adalah meninggalkannya karena tidak adanya dalil.
Tetapi beberapa ulama ada yang membolehkan hal itu, karena diqiyaskan dengan sadaqah dan berdoa. Namun, yang lebih selamat adalah meninggalkannya[75].


91-Beberapa orang memberikan saran, agar setiap kuburan diberi papan kecil yang disitu tertulis nama si mayit yang ada di dalamnya. Bagaimana hukum hal ini?
Perbuatan ini sangat dilarang. Karena ada sebuah hadits bahwa Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ، أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ، أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ))[76]
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kita untuk mengkapur kuburan, mendudukinya, membangun di atasnya, menambahinya, atau menulis di atasnya."
Maka menulis nama di atas kuburan, masuk pada larangan hadits di atas. Dan mungkin bagi kita untuk mengenali penghuni kuburan itu, dengan meletakkan batu atau yang semisal di atasnya. Disebutkan dalam sunan Abi Dawud, bahwa ketika Utsman bin Madz`un Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meletakkan batu di atas kuburannya di bagian kepala. Kemudian beliau bersabda,
((أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي))[77]
"Dengan batu itu saya menandai kuburan saudaraku, dan seperti inilah saya mengubur setiap yang meninggal dari keluargaku."


92-Bagaimana hukum menancapkan pelepah kurma dan kaktus hijau di atas kuburan mayit?[78]
Jawab:
Ini tidak boleh dilakukan. Adapun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sewaktu menancapkan dua pelepah kurma di atas kuburan dua orang yang disiksa, karena beliau mengetahui mereka sedang disiksa. Jadi ini khusus buat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Sehingga kita dilarang meletakkan pelepah kurma atau pohon yang lain di atas kuburan.


93-Bolehkah kami mengubur orang-orang Islam di pekuburan orang-orang non muslim? Karena orang-orang Islam tinggal di kota yang sangat jauh dari pekuburan mereka, sehingga proses penguburan ini mengharuskan kami untuk membawa mayit ke tempat penguburan lebih dari satu minggu. Padahal yang sunnah adalah menyegerakan mengubur mayit.[79]
Jawab:
Kaum muslimin tidak boleh mengubur seorang muslim di pekuburan orang-orang kafir. Karena praktek kaum muslimin semenjak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, para khulafa` rasyidin, dan yang datang setelah mereka, adalah terus-menerus membedakan antara pekuburan kaum muslimin dengan pekuburan orang-orang kafir, dan tidak pernah mengubur seorang muslimpun bersama dengan orang musyrik.
Maka perbuatan ini merupakan ijma` amali dalam membedakan pekuburan kaum muslimin dari pekuburan orang-orang kafir. Juga sesuai dengan hadits riwayat Imam An-Nasai dari Basyir bin Al-Khashashiyyah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ عَلَى قُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ: ((لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلَاءِ شَرًّا كَثِيرًا))، ثُمَّ مَرَّ عَلَى قُبُورِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ: ((لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلَاءِ خَيْرًا كَثِيرًا))[80]
"Saya pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, kemudian beliau melewati pekuburan kaum muslimin. Beliau bersabda, 'Mereka telah meninggalkan keburukan yang sangat banyak.' Kemudian beliau melewati pekuburan kaum musyrikin, dan bersabada, 'Mereka telah meninggalkan kebaikan yang sangat banyak'."
Maka hadits ini menunjukkan, bahwa pekuburan kaum muslimin harus dibedakan dari pekuburan orang-orang musyrik.


 


[1] HR. Muslim dalam sahihnya, kitabul janaiz, no. 1596
[2] HR. Muslim, kitabul janaiz, bab al-qiyam li al-janazah.
[3] HR. Abu Dawud no. 2747 dan Al-Baihaqi
[4] HR. Ahmad, no. 787; juga At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad sahih.
[5] Muttafaq alaih dari Abu Hurairah t.
[6] QS. Thaaha: 39
[7] Lahat adalah bentuk galian kubur yang sisi pada arah kiblatnya di lobangi lagi, kemudian si mayit dimasukkan ke dalamnya.
[8] Syaqq adalah bentuk tanah kuburan yang hanya digali segi empat tanpa dilobangi lagi bagian sisi kiblatnya.
[9] Batu bata yang terbuat dari tanah tanpa dibakar. Sehingga bisa cepat bercampur dan menjadi tanah lagi.
[10] Yaitu menggundukkan tanah di atas kuburan sebesar punuk unta.
[11] Meletakkan kerikil di sini, karena kondisi tanah di bumi Saudi seperti debu karena jarang hujan. Seandainya tidak diberi kerikil, tanah itu akan berhamburan tertiup angin. Beda dengan kondisi tanah kita di indonesia yang penuh dengan kadar air, bahkan kadang-kadang kita baru menggali, air berdatangan dari sana sini. Karena kami pernah mengiringi jenazah teman Indonesia kami yang meninggal dan dikubur di pekuburan Baqi` sebelah masjid nabawi. Tanahnya hampir seperti tepung. Sehingga ketika menaburkannya ke dalam, dan datang angin, tanah itu menjadi debu yang berterbangan. Allahu a`lam.
[12] HR. Ahmad, no. 22360
[13] HR. Ahmad, no. 14498 dan lainnya.
[14] HR. Ahmad, no. 15077
[15] HR. Ahmad, no. 17803
[16] Jarak antara siku hingga ujung jari tengah.
[17] HR. Abu Dawud, 2/29; At-Tirmidzi, 2/152; dan An-Nasai, 1/83
[18] HR. Muslim dalam kitab al-janaaiz, no. 1606
[19] Tambahan (NB) ini dari penerjemah.
[20] HR. Ibnu Majah, 1/474
[21] Ibnu Utsaimin, majmu`atu fatawa wa durus al-haram al-makky, 3/376
[22] HR. Abu Dawud dalam kitab al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits Utsman bin Affan t.
[23] HR. Al-Bukhari dalam kitab at-tauhid, bab firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: walaqad yassarnal qur`aan lidz dzikri..., fathul bari, 13/521
[24] HR. Abu Dawud, no. 1273 dan At-Tirmidzi, no. 3479. At-Tirmidzi menghukumi hasan hadits ini.
[25] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 740
[26] HR. Muslim dalam kitab al-janaaiz, bab isti`dzan an-nabi fi ziyarati ummih, no. 1620
[27] HR. Abu Dawud dalam kitab al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits Utsman bin Affan t.
[28] Ibnu Baaz, majmu`at fatawa wa maqaalat mutanawwi`ah, 1/443
[29] Syarah sahih Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16, dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam Ahmad, no. 24840
[30] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no. 3243
[31] HR. Muslim dari Hadits Jabir bin Abdillah y, kitab al-jumu`ah, no. 1435
[32] Yaitu, 1-Sahih Al-Bukhari, 2-Sahih Muslim, 3-Sunan Abi Dawud, 4-Sunan At-Tirmidzi, 5-Sunan An-Nasai, dan 6-Sunan Ibnu Majah.
[33] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 760
[34] Syarah sahih Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16, dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam Ahmad, no. 24840
[35] HR. Abu Dawud, kitab as-sunnah, no. 3991
[36] Ibnu Utsaimin, kitab alfaadz wa mafaahiim fi miizaan asy-syari`ah, hlm. 60
[37] HR. Abu Dawud dalam kitab al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits Utsman bin Affan t.
[38] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah ad-dakwah, edisi. 853
[39] HR. Abu Dawud, no. 3221, kitabul janaaiz, babul istighfar `inda qabril mayyit.
[40] Lihat naskah ucapan beliau ini di Majmu` al-fatawa, 24/296
[41] yakni kita hanya berpedoman kepada yang diperintahkan oleh al-qur`an dan as-sunnah. Jika tidak ada perintah berarti kita haram mengerjakannya.
[42] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no. 3243
[43] Syarah sahih Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16, dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam Ahmad, no. 24840
[44] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-janaaiz, no. 1206; dan Muslim dalam kitab al-janaaiz pula, no. 1536
[45] QS. Al-Isra`: 15
[46] Lihat, bab kedelapan belas hlm. 109; darul kutub al-ilmiyyah.
[47] Ibnu Baaz, majmu` fatawa wa maqaalaat mutanawwi`ah, 4/340
[48] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no. 3243
[49] HR. Muslim, kitabul washiyyah, bab: Ma yalhaqu al-insan min ats-tsawaab ba`da wafaatih, 3/1255, no. 1631; dan Abu Dawud dalam kitab al-washaya, bab: fima ja`a fi ash-shadaqah an al-mayyit, 2/106
[50] HR. Muslim, kitab al-washiyyah, no. 3083, juga kitab Az-Zakaah, bab wushuul tsawaab ash-shadaqah an al-mayyit, 7/9
[51] Maksudnya, bagian beberapa ayat dalam satu juz terjilid yang lain ini, di pegang orang lain dan dia yang membacanya.
[52] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah ad-dakwah, edisi. 796
[53] HR. Ahmad, no. 15578, dan Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, no. 1185
[54] Ada yang mengatakan bahwa Al-Mufashshal adalah surat-surat yang ada disekitar surat Qaf. Yang lain mengatakan, ia adalah surat-surat mulai Al-Hujurat hingga akhir mushaf. Allahu a`lam.
[55] Ibnu Utsaimin. Alfaadz wa Mafaahiim fi Miizan Asy-Syari`ah, hlm. 36
[56] HR. Abu Dawud dalam kitab al-janaiz, no. 2714
[57] Ibnu Utsaimin. Alfaadz wa Mafaahiim fi Miizan Asy-Syari`ah, hlm. 61
[58] HR. Abu Dawud no. 2747 dan Al-Baihaqi
[59] Muttafaq alaih dari Abu Hurairah t.
[60] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah ad-dakwah, edisi. 795
[61] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-janaaiz, no. 1212
[62] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-janaaiz, no. 1206
[63] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-janaaiz, no. 1206; dan Muslim dalam kitab al-janaaiz pula, no. 1536
[64] Ibnu Baaz, Majalah ad-dakwah, edisi. 779
[65] Ushul adalah dasar-dasar ajaran Islam, sedangkan Ushul adalah cabang-cabang dari ajaran tadi.
[66] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no. 3243
[67] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah, edisi. 779
[68] Syarah sahih Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16, dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam Ahmad, no. 24840
[69] Musnad Imam Ahmad, no. 18351, dan sunan Ibnu Majah, bab ma jaa-a fi al-janaiz, no. 1581
[70] HR. Muslim, kitabul janaiz, no. 1578 dan Ahmad, no. 12470
[71] Ibnu Baaz, Majmu` fatawa wa maqaalat mutanawwi`ah, 4/335
[72] Ibnu Utsaimin. Alfaadz wa Mafaahim fi mizan Asy-Syari`ah, hlm. 28
[73] "Menziarahi" disini bukan mendatangi kuburan. Tapi artinya, sampai kalian dikuburkan di alam kubur. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan ungkapan ziarah, karena orang yang dikubur dalam kuburan ia tidak selamanya disitu. Suatu saat ia pasti segera dibangkitkan.
[74] Ibnu Baz, majmu` fatawa wa maqalat mutanawwi`ah, 4/224
[75] Karena asal dari ibadah adalah tauqif bukan qiyas.
[76] HR. Abu Dawud, 2/272 dan An-Nasai, 1/284
[77] HR. Abu Dawud, kitabul janaiz, no. 2791
[78] Ibnu Baz, fatawa Islamiyyah, 2/37
[79] Al-Lajnah Ad-Daimah, fatawa islamiyyah, 2/36
[80] HR. An-Nasai, kitab al-janaiz, no. 2021



penguburan jenazah

0 comments:

Post a Comment