FATWA TENTANG MENGUBUR JENAZAH, DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN
56-Syaikh yang terhormat,
kami melihat banyak orang saling berlomba dalam membawa jenazah. Ketika ada
seseorang berhenti membawanya, segera datang orang lain menggantikannya. Apakah
ada keistimewaan tersendiri bagi orang yang membawa
jenazah?
Jawab:
Mengurus jenazah secara
umum, dan diantaranya adalah membawa jenazah, tentunya mempunyai pahala yang
besar. Tetapi saya tidak tahu, apakah ada dalil tersendiri tentang pahala yang
dikhususkan buat orang-orang yang membawa jenazah.
Namun! Para ulama fiqih
menjelaskan; yang mustahab bagi seseorang pembawa jenazah hendaklah ia
membawanya pada keempat sudutnya.
Yakni, pertama ia membawa
kerandanya di bagian depan yang kanan. Kemudian ia pindah dan ganti membawa
bagian keranda belakang yang kanan. Setelah itu pindah dan ganti lagi ke bagian
belakang yang kanan. Dan yang terakhir ia berpindah ke bagian belakang yang
kiri. Baru ia pergi ke belakang dan diganti orang lain. Sehingga dengan demikian
ia telah membawa keempat sudut keranda jenazah itu. Dalam hal ini ada beberapa
atsar yang diriwayatkan dari para sahabat.
Tetapi para sahabat membenci
jika mereka membawa jenazah diantara dua sisi saja, meskipun hal itu tidak
dilarang.
57-Apakah ada dzikir khusus
ketika kita membawa jenazah?
Jawab:
Ada keterangan dari sebagian
ulama` salaf, bahwa mereka membawa jenazah di atas pundak mereka, dan membawanya
pada keempat sisi keranda. Yakni mereka bergantian membawanya, sehingga setiap
orang bisa membawanya pada setiap sisi dan sudutnya. Tetapi untuk dzikir yang
khusus saat membawa jenazah, sepengetahuan saya hal itu tak ada perintahnya.
Allahu a`lam.
58-Jika jenazah dibawa di
atas mobil, kemudian para pengiring juga mengikutinya di atas mobil-mobil
mereka, maka apakah yang disyariatkan kepada mereka saat mengiringi ini. Apakah
mereka berada di samping kanan dan kiri jenazah, ataukah di bagian depan dan
belakang? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala
senantiasa Memberikan taufiq kepada anda.
Jawab:
Ketika jenazah dibawa di
atas pundak, maka yang sunnah, para pengendara berjalan di bagian belakang
sendiri. Sedangkan para pejalan kaki, mereka ada di depan, belakang, di samping
kanan, atau di samping kiri jenazah. Semua keadaan ini sama saja bagi para
pejalan kaki.
Sedangkan di zaman sekarang,
kita banyak mendapati jenazah yang dibawa di atas mobil. Maka urusannya tetap
sama seperti ketika dibawa di atas pundak. Dan tidak masalah jika sang pengiring
itu berada di depan atau di belakang jenazah. Dalam hal ini tidak ada
dosa.
59-Jika jenazah melewati
beberapa orang yang sedang duduk, apakah orang-orang yang sedang duduk itu
disyariatkan untuk berdiri?
Jawab:
Berdiri ketika jenazah lewat
adalah perkara yang disyariatkan. Jadi, ketika jenazah melewati sekelompok
orang, maka orang-orang itu harus berdiri untuk jenazah tersebut. Karena
disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
ada jenazah orang yahudi yang lewat, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
berdiri untuk jenazah tersebut. Kemudian orang-orang yang bersama beliau ikut
berdiri pula. Lalu mereka berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, "Ini
tadi adalah jenazah orang yahudi." Beliau bersabda, "Meski ia yahudi, bukankah
ia sebuah jiwa?"[1]
Sedangkan dalam riwayat lain
beliau bersabda,
((إِنَّناَ
نَقُوْمُ هَيْبَةً لِلْمَوْتِ))
"Kita bangkit ini karena menghormati
kematian."
Berdasarkan hadits ini, maka setiap
orang yang duduk, ia disyariatkan untuk berdiri ketika melihat jenazah lewat.
Mereka tidak boleh duduk, sampai jenazah itu tidak terlihat
lagi.
Setelah itu, datang hadits lain yang
menunjukkan bahwa hadits di atas adalah mansukh (dihapus hukumnya), atau kita
diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak berdiri ketika jenazah lewat. Hadits
itu adalah,
((كَانَ آخِرُ
اْلأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ أَنَّهُ قَامَ ثُمَّ قَعَدَ))
"Yang terakhir dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari dua hal adalah beliau berdiri (ketika jenazah
lewat) kemudian duduk (tanpa berdiri ketika melihat jenazah)."
Tapi yang jelas, jika kita berdiri
terhadap jenazah tadi karena menghormati kematian, atau karena terkejut terhadap
kematian seperti hadits di bawah ini,
((إِنَّ لِلْمَوْتِ فَزَعاً))[2]
"Sesungguhnya kematian itu sangat
mengejutkan."
maka mustahab (dianjurkan) bagi kita
untuk berdiri. Hal ini sangat dianjurkan pada saat jenazah melintas di hadapan
kita dengan digotong di atas pundak orang-orang.
Adapun yang terjadi di zaman ini,
maka kebanyakan jenazah dibawa di atas mobil dan jarang melewati kebanyakan
orang-orang yang sedang duduk. Tetapi seandainya jenazah yang dibawa di atas
mobil ini melintas di kerumunan orang-orang yang sedang duduk, maka tetap
disyariatkan bagi mereka untuk berdiri sampai jenazah itu hilang dari
penglihatan mereka.
60-Ada seseorang yang jenazah tidak
melintas di hadapannya, tetapi ia mengerjakan shalat jenazah di masjid. Apakah
disyariatkan padanya untuk tetap berdiri saat orang-orang menggotong jenazah
sampai jenazah itu tidak kelihatan? Ataukah ia harus
duduk?
Jawab:
Jika para manusia membawa jenazah
dan menggotongnya, maka tak tak patut bagi siapapun untuk duduk sampai jenazah
itu hilang dari penglihatannya.
61-Ada seseorang yang meninggal
dunia di waktu malam, apakah ia kita mesti menguburkannya pada malam itu, atau
mengakhirkannya hingga besok pagi?
Jawab:
Yang paling utama adalah
kita bersegera menguburkan sang mayit. Sesuai dengan perintah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ
مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[3]
"Dan
cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah
seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara
keluarganya."
Sedangkan dalam hadits Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda,
((ثَلَاثَةٌ يَا عَلِيُّ لَا تُؤَخِّرْهُنَّ: الصَّلَاةُ إِذَا
أَتَتْ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ، وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ
كُفُؤًا))[4]
"Tiga perkara yang kamu
jangan menundanya wahai Ali! Yaitu shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika
sudah datang, dan seorang gadis, jika sudah menemukan orang yang sepadan
dengannya."
Jika tidak ditemukan
seorangpun yang mengurus jenazah itu, atau orang yang menggali kuburnya, atau
mereka masih menunggu kedatangan beberapa kerabat yang hendak menyalatinya, dan
mereka tidak kawatir jenazah itu akan membusuk, maka penundaan ini boleh
dilakukan, karena adanya suatu maslahat dan tidak adanya mafsadah (keburukan).
Tetapi jika tidak, maka yang
asal adalah mempercepat proses penguburan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ
تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ
رِقَابِكُمْ))[5]
"Cepat-cepatlah mengubur jenazah.
Jika dia jenazah yang saleh, maka kalian mempercepat dirinya untuk mendapat
kebaikan. Tapi
jika tidak demikian, maka ia hanyalah keburukan yang kalian panggul di atas
pundak kalian."
62-Ada seseorang yang meninggal di kota Riyadh, sementara seluruh
saudaranya dikubur di kota Dammam. Sebelum meninggal dunia ia berwasiyat agar
dikuburkan bersama saudara-saudaranya di kota Dammam. Pertanyaan kami, bolehkah
kami membawa jenazahnya dari Riyadh ke Dammam?
Jawab:
Hal itu tidak masalah. Dengan syarat saat memindahkannya kita tidak
kawatir jenazah itu akan membusuk atau tertimpa sesuatu yang
buruk.
63-Sebagian jenazah ada yang dibawa ke pemakaman dengan dimasukkan ke
dalam tabut (peti mati). Pertanyaan kami, bagaimana hukumnya jika kita mengubur
mayit dengan dimasukkan ke dalam tabut (peti mati)?
Jawab:
Yang dimaksud dengan "at-tabut" adalah ash-shunduq, yakni peti. Kata
at-tabut ini disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kisah Ibu Nabi Musa
‘Alayhi Salam, saat meletakkan Nabi Musa ‘Alayhi Salam yang masih kecil dan
hidup ke dalam tabut. Dia Subhanahu wa Ta’ala Berfirman,
"Taruhlah musa di dalam peti..."
[6]
Dan pada dasarnya, seorang muslim tidak boleh menguburkan jenazah yang
ada dalam peti. Seharusnya jenazah itu dikuburkan bersama dengan kafannya saja
tidak dengan peti.
64-Syaikh yang terhormat, ikatan mana sajakah yang harus kami lepas dari
mayit ketika kami meletakkannya dalam liang lahat?
Jawab:
Ikatan yang dilepaskan adalah ikatan-ikatan yang ada pada badannya.
Sedangkan ikatan yang di atas kepala, atau yang di bawah kedua kaki, maka ini
tidak perlu dilepas. Jadi yang kita lepaskan adalah ikatan-ikatan yang ada pada
dada, leher, perut, paha, dan betisnya.
Hikmah kenapa kita diperintah untuk membuka ikatan itu, karena mayat
beberapa saat setelah dikubur, badannya akan membesar dan menggelembung.
Sehingga ketika membesar ini, dan ikatan-ikatan telah kita buka, maka kita tidak
menyulitkan tubuhnya yang mengembang.
Jadi, kita tidak perlu melepas ikatan yang di atas kepala atau yang di
bawah kaki sang mayit.
65-Bagaimana cara mengubur jenazah itu? Bagaimana posisinya
di dalam kuburan? Karena kami mendapati ada beberapa orang yang memposisikan
jenazah dalam keadaan telentang dan menjadikan kedua tangannya di atas
dada.
Jawab:
Yang sesuai dengan sunnah, seharusnya kita memasukkan jenazah ke liang
lahat dari kaki kuburan, jika itu mudah kita lakukan. Jika kondisinya tidak
memungkinkan, maka kita boleh memasukkan jenazah dari bagian tengah
kuburan.
Kuburan jenazah lelaki tidak perlu ditutupi, kecuali ada udzur seperti
penyakit atau angin. Adapun alasan kenapa kuburan wanita harus ditutup dengan
kain, hal itu agar proses pemasukannya ke dalam lahat bisa berjalan dengan
sempurna.
Dan bentuk "lahat"[7] lebih utama dari bentuk
"Syaqq"[8]. Sedangkan orang yang paling utama dalam
memasukkan jenazah adalah orang yang paling dekat nasabnya kepada jenazah itu.
Hal ini jika ia mampu melakukannya. Tetapi jika ada orang yang lebih mengerti
cara meletakkan posisi jenazah di liang lahat, maka ia lebih utama dibanding
para kerabat jenazah yang tidak mengerti.
Dalam penggalian kuburan, kita disunnahkan memperdalam kuburan dan
melebarkannya, sekiranya hal itu membuat baunya tidak tercium dan jenazah
menjadi aman dari gangguan binatang buas.
Kita tidak boleh memasukkan kayu ke dalam kuburan atau hal-hal yang bisa
terbakar dengan api, kecuali terpaksa. Kemudian kita disunnahkan memasukkan
jenazah itu di dalam "lahat"nya di sisi bagian kanan, dengan menghadap kiblat.
Menghadap kiblat ini adalah wajib. Ketika memasukkannya kita sambil
mengucap,
((بِسْمِ
اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ))
"Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
Salam."
Kemudian kita menancapkan batu bata[9] pada "lahat" itu. Sesuai dengan ucapan Saad
Radhiyallahu ‘anhu,
((اِلْحَدُوْا لِيْ لَحْدًا وَانْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْباً، كَماَ
فُعِلَ بِرَسُوْلِ اللهِ))
"Buatkanlah lahat pada jenazahku, kemudian tancapkan padanya batu bata,
seperti yang dilakukan pada jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam."
Setelah itu kita meletakkan tanah liat pada setiap ujung batu bata tadi,
dan menutupi setiap kerenggangan yang ada padanya. Dan yang sunnah kita
memastikan kembali apakah wajah sang jenazah sudah menghadap kiblat atau tidak.
Karena disebutkan dalam hadits tentang ka`bah, bahwa ia adalah kiblat kaum
muslimin saat hidup dan mati.
Kemudian disunnahkan pada setiap pengiring untuk menciduk dengan
tangannya sebanyak tiga cidukan, lalu dilemparkan ke dalam kuburannya. Setelah
itu baru ditimbuni dengan tanah. Lalu kuburannya ini kita naikkan sejengkal dari
permukaan tanah, agar jika ada orang yang lewat, ia bisa membedakannya dengan
tanah yang lain. Tetapi jika kita membuatnya dalam bentuk tasnim[10], maka itu
lebih baik. Kemudian kita meletakkan kerikil di atasnya agar tanah menjadi kuat
dan tidak berhamburan[11]. Lalu
kita siramkan air di atasnya, dan tidak masalah seandainya kita meletakkan tanah
liat di atas kuburan itu agar tanah menjadi kusut dan tidak terbawa
angin.
Setelah proses penguburan selesai, kita disunnahkan untuk mendoakan
ketetapan buat sang mayit saat berjumpa dengan dua orang malaikat. Kita
disunnahkan mengucapkan doa seperti di bawah ini,
((اَللَّهُمَّ لَقِّنْهُ حُجَّتَهُ، اَللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِي الْحَياَةِ الدُّنْياَ وَفِي اْلآخِرَةِ))
"Ya Allah! Ajarkan kepada dia hujjahnya. Ya Allah! Tetapkan dia dengan
perkataan yang tetap di dunia dan akhirat."
Dimakruhkan bagi kita dalam kondisi di atas kuburan seperti ini untuk
berbicara tentang urusan dunia, tertawa atau tersenyum. Dan tidak mengapa jika
kita menakuti-nakuti manusia dan mengingatkan mereka dengan kecemasan alam
barzakh. Seperti yang diriwayatkan imam Ahmad bin Hambal dari Hudzaifah
Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَلَمَّا
انْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ قَعَدَ عَلَى شَفَتِهِ فَجَعَلَ يَرُدُّ بَصَرَهُ
فِيهِ ثُمَّ قَالَ: يُضْغَطُ الْمُؤْمِنُ فِيهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا
حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا، ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ
بِشَرِّ عِبَادِ اللَّهِ الْفَظُّ الْمُسْتَكْبِرُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ
عِبَادِ اللَّهِ الضَّعِيفُ الْمُسْتَضْعَفُ، ذُو الطِّمْرَيْنِ لَوْ أَقْسَمَ
عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّ اللَّهُ قَسَمَهُ))
[12]
"Pernah kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam
mengiringi sebuah jenazah. Ketika kami sampai di kuburan, beliau duduk di
pinggir kuburan, dan berulang-ulang mengarahkan pandangannya kepada kuburan
tersebut. Kemudian beliau bersabda, 'Seorang mukmin akan dihimpit di dalam
kuburan ini dengan himpitan sangat keras, sampai bergeser pinggir-pinggir
kuburannya. Adapun orang kafir, maka kuburannya akan dipenuhi dengan api.'
Kemudian beliau bersabda, 'Maukah kalian kuberitahu siapakah seburuk-buruk hamba
Allah Subhanahu wa Ta’ala itu? Dialah orang yang kasar dan sombong. Maukah
kalian kuberitahu siapakah sebaik-baik hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dialah
orang yang lemah yang selalu diremehkan, yang memakai baju compang-camping,
seandainya ia menyumpah sesuatu atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan sumpahnya.'"
Juga hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu mengenai
penguburan Saad bin Mu`adz Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini,
((لَمَّا
دُفِنَ سَعْدٌ وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحَ النَّاسُ
مَعَهُ طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرَ النَّاسُ، ثُمَّ قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مِمَّ سَبَّحْتَ؟ قَالَ: لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الرَّجُلِ
الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
عَنْهُ))[13]
"Ketika Saad bin Mu`adz Radhiyallahu ‘anhu dikuburkan dan kami bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
Salam,
tiba-tiba beliau bertasbih. Maka para sahabat bertasbih bersama beliau dalam
waktu yang lama. Kemudian beliau bertakbir dan para sahabat ikut bertakbir
bersama beliau. Setelah itu para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah! Kenapa
anda bertasbih?' beliau menjawab, 'Kuburan ini telah menghimpit tubuh lelaki
shalih ini, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala Membebaskannya dari
himpitannya'."
Juga dari Abu Said Al-Khudriy Radhiyallahu ‘anhu dia
berkata,
((شَهِدْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِنَازَةً، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا...))
"Saya menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam sebuah
jenazah. Maka beliau bersabda, 'Wahai para manusia! Sesungguhnya umat ini akan
diuji di dalam kuburannya'."
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan tentang
siksa dan nikmat kubur dalam hadits yang panjang. Hadits ini diriwayatkan oleh
imam Ahmad[14] dan Al-Bazzar.
Juga dari Bara` bin Azib Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((خَرَجْنَا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ
الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، وَكَأَنَّ عَلَى
رُءُوسِنَا الطَّيْرَ... فَقَالَ: اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ،
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ
فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ
مَلَائِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ))
"Kami keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika mengiringi jenazah
seorang lelaki dari anshar. Kemudian kami sampai di pekuburan, tetapi kuburan
itu belum digali untuknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam duduk
dan kamipun duduk di sekitar beliau, seakan-akan di atas kepala kami ada burung
yang bertengger... kemudian beliau berkata, 'Berlindunglah kalian kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari fitnah kubur.' Beliau mengucapkan itu dua atau tiga
kali. Kemudian beliau meneruskan, 'Sesungguhnya seorang hamba mukmin, jika sudah
meninggalkan dunia dan hendak menuju akhirat, turun kepadanya beberapa malaikat
dari langit yang wajah mereka terang benderang'."
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan
haditsnya dengan sangat panjang mengenai azab dan nikmat kubur, juga tentang
sifat keluarnya nyawa seorang mukmin dan nyawa orang kafir. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan para perawi yang tsiqah, dan sebagian perawi
ini menjadi perawi kitab sahih.[15]
Jadi, jika ada orang yang mengingatkan akhirat, hari kiamat,
dan beratnya ujian dalam kuburan kepada para manusia yang ada di atas kuburan,
maka hal ini tidak patut diingkari. Karena perbuatan itu berdasarkan pada
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang tersebut di atas.
Allahu a`lam.
66-Berapakah batasan syar`i pada tanah kuburan yang
ditinggikan?
Jawab:
Jika kita menggali kuburan kemudian mengubur
mayit, maka kita harus mengembalikan
tanah kuburan yang kita gali tadi tanpa menguranginya sedikitpun, kecuali tanah
itu sangat banyak. Kemudian kita tidak boleh meninggikan tanah kuburan itu lebih dari satu
hasta[16], atau meninggikannya dari kebiasaan. Kita
meninggikan disini, tujuannya agar orang-orang mengerti bahwa ini adalah kuburan
seorang muslim, sehingga ia tidak menginjak-injaknya.
67-Manakah yang lebih utama dalam membuat lobang kubur, bentuk "Syaqq"
atau bentuk "Lahat"?
Jawab:
Yang lebih utama adalah bentuk "Lahat", karena ada sebuah hadits dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau bersabda,
((اَللَّحْدُ
لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِناَ))[17]
"Bentuk lahat adalah bagi kita kaum muslimin, sedangkan bentuk Syaqq
untuk selain kita."
Pendapat inilah yang dipilih pengarang kitab "Ar-Raudh Al-Murbi`".
Kemudian dalam keutamaan lahat ini, ada juga perkataan dari Saad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
((اِلْحَدُوْا لِيْ لَحْدًا وَانْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْباً،
كَماَ فُعِلَ بِرَسُوْلِ اللهِ))[18]
"Buatkanlah lahat pada jenazahku, kemudian tancapkan padanya batu bata,
seperti yang dilakukan pada jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam."
NB:
Lahat: Adalah bentuk lobang kuburan yang segi empat, kemudian digali lagi
pada bagian samping bawah yang searah dengan kiblat. Sehingga sang jenazah nanti
dimasukkan ke dalam lobang ini. Setelah dimasukkan, jenazah ditutupi dengan batu
bata yang tidak dibakar sampai tertutup rapat, dan bagian-bagian renggangnya
ditutup dengan tanah liat. Baru kemudian ditimbuni tanah.
Sedangkan syaqq, ia adalah bentuk lobang kuburan yang hanya segi empat
tanpa dilobangi lagi. Inilah yang umum dan sering kita jumpai pada masyarakat
Indonesia. Tetapi ini bentuk yang tidak utama.[19]
68-Kebanyakan manusia saat mengubur jenazah, berkebiasaan menimbunkan
tanah ke dalam kuburan dengan tiga kepalan tanah. Setelah itu ia pergi dan datang
lainnya yang juga melemparkan tiga kepalan tanah. Apakah hal semacam ini ada
dasarnya pada syariat?
Jawab:
Benar! Hal ini ada syariatnya. Yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyalati jenazah, kemudian
beliau mendatangi mayit yang sudah dimasukkan ke liang lahat dan membuat tiga
kepalan tanah, kemudian beliau melemparkan tiga kepalan tanah tersebut di arah
kepala sang jenazah[20].
Demikian pula para ulama fiqih -rahimahumullah-, mereka menegaskan dalam
kitab-kitab mereka bahwa sangat dianjurkan bagi orang yang mengubur jenazah
untuk melemparkan tiga kepalan tanah pada bagian kepala jenazah sambil
mengucapkan,
((بِسْمِ
اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ))
"Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa
Salam."
69-Bagaimana pendapat anda tentang kebiasaan manusia yang marak di zaman
ini, berupa memberikan nasehat di atas kuburan ketika jenazah
dikuburkan?[21]
Jawab:
Menurut pendapat saya, memberikan nasehat di atas kuburan adalah perkara
yang tidak ada syariatnya, dan tidak pantas jika kita menjadikannya sebagai
kebiasaan yang terus menerus. Jika ada sebabnya, mungkin bisa dikatakan ada
syariatnya. Yaitu seperti ketika melihat orang-orang yang tertawa di atas
kuburan, yang bermain-main, atau bersenda gurau, maka disini tidak diragukan
lagi bahwa nasehat menjadi baik dilakukan dan sangat dianjurkan. Karena ada
sebab yang mengharuskan kita untuk mengucapkan nasehat itu.
Tetapi jika seseorang semata-mata berdiri dan berkhotbah di hadapan
manusia saat mereka mengubur jenazah, maka hal ini tidak ada dasarnya dari
tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan tidak patut kita
lakukan.
Memang benar, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika sampai di
kuburan saat mengiringi jenazah seorang sahabat anshar, yang waktu itu belum
digali kuburan untuknya, beliau duduk di pinggir kuburan dan para sahabat ikut
duduk bersama beliau, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang
bertengger karena perasaan mencekam terhadap kematian itu.
Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawa sepotong kayu
yang beliau gores-goreskan ke tanah. Kemudian beliau memberitahu para sahabat
tentang keadaan seseorang ketika ia sekarat dan setelah
dikuburkan.
Maka dalam hadits ini, sangat jelas bahwa beliau tidaklah berkhotbah dan
tidak pula menasehati mereka. Tetapi beliau duduk sedang para sahabatnya
menunggu kapan jenazah ini dimasukkan, sehingga beliaupun memberitahu mereka
tentang hal ini.
Seperti halnya jika anda dan kawan-kawan anda sedang menunggu penguburan
jenazah. Maka anda memberitahu mereka dengan hal yang sama seperti ini. Dan
tentunya sangat berbeda antara perbincangan khusus yang terjadi diantara sesama
kawan yang duduk, dan antara perbincangan yang diucapkan dalam bentuk seperti
khotbah.
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ketika
mengubur jenazah, beliau berdiri di atas kuburan sambil
berkata,
((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ
التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))[22]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang
ditanyai."
Maka hadits ini, ia merupakan permasalahan yang khusus
bukan sebuah khotbah. Demikian pula dengan berdirinya beliau di kuburan seorang
sahabat, kemudian beliau memberitahu para sahabat dengan kedua air matanya
bercucuran. Beliau
bersabda,
((مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا كُتِبَ مَقْعَدُهُ
مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ))[23]
"Tidak ada seorangpun dari kalian, kecuali telah ditentukan tempat
duduknya; apakah di surga atau di neraka."
Hadits ini, atau hadits lain yang semakna, semuanya tidak menunjukkan
bahwa khotbah di atas kuburan ketika menguburkan jenazah adalah suatu perkara
yang disyariatkan, sehingga kita bisa menjadikannya sebagai suatu kebiasaan yang
terus dilakukan. Dan permasalahan seperti ini, mestinya kita harus sangat
berhati-hati.
70-Mengenai doa yang diucapkan setelah mayat dikuburkan, apakah kita
melakukannya secara bersama-sama atau sendirian?
Jawab:
Pada dasarnya, doa seperti ini setiap orang harus mengucapkannya
sendiri-sendiri. Tetapi jika ada beberapa orang yang tidak mengerti bagaimana
cara berdoa, maka salah seorang dari para hadirin boleh berdoa dengan suara
keras, kemudian yang lain mengamini. Karena mengamini sebuah doa, sama saja
dengan berdoa. Seperti halnya saat membaca surat al-fatihah, imam yang
membacanya kemudian para makmum mengamini bacaannya.
71-Apakah kita diharuskan mengangkat kedua tangan ketika
berdoa untuk mayit setelah dikuburkan?
Jawab:
Setiap doa yang di luar shalat, kita disunatkan untuk mengangkat kedua
tangan. Karena, mengangkat kedua tangan adalah salah satu sebab dikabulkannya
doa dan permintaan yang kita ajukan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam bersabda,
((إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ
كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ
يَرُدَّهُمَا صِفْرًا))[24]
"Sesungguhnya Rabb kalian yang Maha Suci dan Maha Tinggi, sangat Pemalu
dan sangat Pemurah. Dia Malu jika ada seorang hamba-Nya yang mengangkat kedua
tangan saat berdoa, kemudian Dia tidak Memberinya apa-apa."
Imam
As-Suyuthi telah mengumpulkan hadits-hadits tentang mengangkat tangan ini dalam
sebuah kitab yang bernama, "Fadhdhu Al-Wi`a` Fi Ahaadits Raf`il Yadain fi
Ad-Du`a`". Hadits yang beliau kumpulkan ini berjumlah lebih dari empat puluh
hadits, apakah itu dari perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam atau dari
perbuatannya. Dan masuk dalam bilangan hadits ini, yaitu berdoa buat si mayit di
atas kuburannya sebelum atau sesudah dikuburkan.
Sebagaimana kitab itu juga mencakup seluruh hadits tentang mengangkat
tangan pada setiap doa yang dianjurkan. Apakah itu setelah mengerjakan
shalat, puasa, haji, atau yang lainnya.
72-Bolehkah bagi kita untuk duduk atau berdiri di kuburan ketika
mendoakan mayit?[25]
Jawab:
Ziarah kubur yang syar`i, yaitu kita menziarahi kubur
dengan maksud mengambil ibrah dan nasehat, juga untuk mengingatkan kita kepada
kematian. Bukan untuk mencari berkah dari orang-orang saleh yang dikubur di
dalamnya.
Barangsiapa datang ke kuburan, ia harus mengucapkan salam kepada para
penduduk kubur itu. Yaitu mengucapkan,
((السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ،
أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ))[26]
"Semoga keselamatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa
terlimpahkan kepada kalian wahai para penduduk alam kubur, dari kaum mukminin
dan muslimin. insya Allah Subhanahu wa Ta’ala kami pasti menyusul kalian. Saya
memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat kami, juga buat
kalian."
Dan
jika berkehendak, kita bisa mendoakan para penduduk kubur itu dengan doa-doa
lain yang ma`tsur selain doa di atas.
Dalam kuburan, kita dilarang berdoa kepada orang mati, dan dilarang
meminta pertolongan kepada mereka untuk menghilangkan malapetaka, atau untuk
mendatangkan maslahat. Karena doa adalah ibadah. Jadi ibadah itu hanyalah
diperuntukkan buat Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Dan
tidak masalah, jika kita berdiri atau duduk di samping kuburan ketika mendoakan
si mayit, bukan untuk mencari berkah atau beristirahat. Karena kuburan bukanlah
ajang untuk beristirahat atau tempat tinggal yang bisa kita duduki dengan
seenaknya.
Setelah mengubur jenazah, kita disyariatkan untuk berdiri di samping
kuburan untuk mendoakan sang jenazah agar diberi ketetapan dan ampunan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam, bahwa setiap selesai mengubur jenazah beliau duduk di samping
kuburan sembari berkata,
((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ
التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))[27]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang
ditanyai."
73-Bagaimana hukum mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan sang
mayit, saat ia diturunkan?[28]
Jawab:
Tidak diragukan bahwa ini adalah perbuatan bid`ah yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak pernah menurunkan perintah untuk itu. Karena hal ini tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan tidak pula dari para
sahabat yang mulia. Padahal segala kebaikan ada dalam mengikuti mereka dan
menapaki jalan yang mereka tempuh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang berbunyi,
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.
Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar." (QS. At-Taubah: 100)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga bersabda,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ))[29]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan
itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Dalam lafadz lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ))[30]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka
amalan itu adalah tertolak."
Beliau juga bersabda,
((أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ))[31]
"Amma ba`du, maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Salam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru. Dan setiap
bid`ah adalah sesat."
Dan
mudah-mudahan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, keluarga dan para sahabat
beliau.
74-Bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang mengatakan bahwa
jenazah mendengar talqin setelah ia dikuburkan, sebagaimana ia mendengar suara
sandal para pengiring yang meninggalkannya?
Jawab:
Talqin yang dimaksud adalah talqin yang diucapkan kepada mayit setelah
dikuburkan. Yaitu seseorang berkata, "Wahai fulan bin fulan, jika dua orang
malaikat datang kepadamu maka ucapkan ini dan itu!"
Atau, "Ingatlah keyakinan yang sewaktu hidup kamu pegang, berupa
keyakinan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tuhan, islam sebagai agama,
dan Muhammad sebagai Nabi."
Atau, "Katakan: Laa ilaaha Illallaah, Muhammad
rasuulullah.."
Dalam hal ini memang ada sebuah hadits yang menerangkan. Hadits ini
diriwayatkan imam Ad-Daruquthni, tapi hadits ini dhaif. Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam kitab "bulughul maram" sudah memberikan isyarat terhadap kedhaifannya,
kemudian beliau mendatangkan lafadznya secara lengkap dalam kitab "At-Talkhish
Al-Habir". Dan Imam Ash-Shan`ani dalam kitab "Subulus salam" juga memberikan
isyarat dengan hal yang sama.
Hadits ini lafadznya adalah gharib (aneh), tak ada seorang
imam haditspun yang mengeluarkannya dalam Al-Kutub
As-Sittah[32], tidak pula para ulama` yang menulis
kitab-kitab sahih ataupun kitab musnad.
Yang paling benar, hadits ini tidak bisa diamalkan. Dan tidak pantas jika
kita mentalqin mayit dengan ucapan seperti ini. Meski seandainya ia mendengar
ucapan kita seperti saat mendengar suara sandal, maka hal ini tidak berguna
kepadanya jika ia mati dalam keadaan kafir atau munafik. Yang berguna baginya
hanyalah amal saleh yang diperbuatnya sewaktu masih hidup. Allahu
a`lam.
75-Ada seorang muslim yang meninggal dengan meninggalkan banyak putra.
Putra-putranya ini kaya-kaya dan banyak berbuat kebaikan. Halalkah bagi mereka
seandainya menyembelih kambing untuk mayit itu, atau membuat roti buat si mayit
pada tanggal ketujuh atau keempat puluh dari kematiannya sebagai hadiah buat si
mayit, kemudian ia mengundang seluruh kaum muslimin untuk menikmati makanan
tersebut?[33]
Jawab:
Sadaqah buat si mayit memang disyariatkan, demikian pula dengan memberi
makan fakir miskin, berbuat kebaikan kepada mereka, membantu tetangga yang
kesusahan, dan menghormati kaum muslimin dengan sajian tadi. ini semua merupakan
kebaikan dan perbuatan bagus yang sangat dianjurkan oleh syariat.
Tetapi menyembelih kambing, sapi, unta, burung, atau hewan lainnya buat
sang mayit saat meninggal dunia, atau melakukan perbuatan ini pada hari
tertentu, seperti pada hari ketujuh, hari keempat puluh, hari kamis, hari
jum`at, atau malam jum`at, untuk menyadaqahkannya buat si mayit pada waktu-waktu
tadi, ini merupakan perbuatan bid`ah yang munkar yang tidak pernah dilakukan
pada masa pendahulu kita yang saleh, yaitu para sahabat radhiyallahu
anhum.
Jadi, kita wajib meninggalkan perbuatan bid`ah ini sesuai dengan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ))[34]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan
itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
Juga
sabdanya yang lain,
((إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ))[35]
"Janganlah kalian mengerjakan perbuatan yang baru dalam agama ini. Karena
setiap perbuatan baru adalah bid`ah, dan setiap perbuatan bid`ah adalah
sesat."
76-Syaikh yang terhormat! Setelah kita mengubur jenazah, ada sebuah
hadits yang menerangkan bahwa kita harus menunggu seukuran ketika kita
menyembelih onta. Apakah maksud hadits ini?[36]
Jawab:
Hadits ini –mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati anda-
adalah ucapan yang diwasiyatkan Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu. Ia menyuruh
para pengiringnya untuk menunggu dia di atas kuburannya sekadar lamanya binatang
yang disembelih sampai dibagi-bagi dagingnya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam tidak memerintahkan hal ini kepada umatnya, dan perbuatan seperti ini,
juga tidak dikerjakan para sahabat sepengetahuan kami.
Tetapi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap beliau
selesai mengubur jenazah adalah berhenti sejenak dan berkata,
((اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ
الْآنَ يُسْأَلُ))[37]
"Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang
ditanyai."
Jadi yang mesti anda lakukan adalah berhenti di atas kuburan dan berdoa,
"Ya Allah! Tetapkanlah ia. Ya Allah! tetapkanlah ia. Ya Allah! Ampunilah dia. Ya
Allah! Ampunilah dia. Ya Allah! Ampunilah dia." Kemudian anda pergi. Adapun
menunggu selama itu seperti yang diwasiatkan Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu,
maka hal ini tidak disyariatkan.
77-Bagaimana hukum mentalqin
mayit setelah ia dikuburkan? Amalan apa sajakah yang harus kami lakukan setelah
mengubur jenazah, yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam?
Sedangkan mengenai dzikir
setelah shalat, apakah dzikir ini dilakukan secara berjamaah dengan suara keras,
yang makmum mengikuti imam, atau selain itu?[38]
Jawab:
Yang pertama: Telah
terbit fatwa dari kami tentang hukum mentalqin mayit. Fatwa itu adalah,
Tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur
jenazah, beliau dan para sahabatnya berdiri di samping kuburan, lalu memintakan
ampunan dan ketetapan bagi si mayit. Beliau juga menyuruh para sahabat untuk
memintakan hal itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat si mayit tersebut.
Dalilnya adalah hadits riwayat Abu Dawud[39] dari
Hani` maula Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((كَانَ النَّبِيُّ إِذاَ فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ
عَلَيْهِ فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ
فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))
"Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur
jenazah, beliau berhenti di samping kuburan itu dan berkata, 'Mintakan ampun
buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
buat dirinya, karena sekarang ia sedang ditanyai'."
Jadi! Yang
dikerjakan beliau bukanlah duduk di samping kuburan lalu membaca al-qur`an atau
mentalqin si mayit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata[40], "Mentalqin si
mayit setelah kematiannya bukanlah suatu kewajiban menurut ijma` para ulama. Dan
bukan pula termasuk perbuatan kaum muslimin yang masyhur dari mereka di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam maupun zaman khulafa` rasyidin. Tetapi
perbuatan itu hanya diambil dari beberapa orang sahabat seperti Abu Umamah
Radhiyallahu ‘anhu dan Watsilah bin Al-Asyqa` Radhiyallahu ‘anhu.
Maka dari para
ulama, ada yang memberikan rukhshah (keringanan) terhadap perbuatan ini seperti
yang dilakukan Imam Ahmad. Bahkan ada sebagian pengikut madzhab Ahmad dan
pengikut madzhab Syafi`i yang menganggap baik perbuatan ini. Tetapi diantara
para ulama ada pula yang menghukuminya makruh, karena mereka meyakini bahwa ini
adalah sebuah perbuatan bid`ah.
Jadi pendapat
dalam masalah ini ada tiga macam: Istihbab (menganggap baik), makruh, dan mubah.
Inilah pendapat-pendapat yang ada. Tetapi perbuatan sunnah yang diperintahkan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan sangat beliau anjurkan adalah berdoa
buat si mayit."
Kedua: Telah keluar
fatwa dari kami tentang perbuatan yang disyariatkan setelah mengubur mayit.
Yaitu berupa doa dan istighfar buat sang mayit. Fatwa itu
adalah,
"Setelah mengubur mayit dan menimbunkan tanah, kita Boleh berdiri di
samping kuburan untuk memintakan ampun buat si mayit dan mendoakannya. Hal ini
sangat dianjurkan, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim –Al-Hakim
menghukuminya sahih- dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dia
berkata,
((كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذاَ فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ
عَلَيْهِ فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلـُوا لَهُ التَّثْبِيتَ
فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ))
"Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam setiap selesai mengubur
jenazah, beliau berhenti di samping kuburan dan berkata, 'Mintakan ampun buat
saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat
dirinya, karena sekarang ia sedang ditanyai'."
Tetapi
sepengetahuan kami, tidak ada sebuah hadits pun yang sahih yang menyebutkan
seperti apa sifat istighfar dan doa buat si mayit yang habis dikubur itu. Yang
disebutkan hanyalah perintah untuk memintakan ampunan dan berdoa secara mutlak
buat si mayit agar ditetapkan. Maka cukup bagi kita dalam mengikuti perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ini dengan mengucapkan istighfar dan doa
apapun. Seperti kita mengucapkan, 'Ya Allah! Ampunilah dia. Ya Allah! Tetapkan
dia atas kebenaran.' Dan doa lain yang semacamnya."
Ketiga: Telah keluar
pula fatwa dari kami tentang berdoa dan dzikir secara jamaah (bersama-sama)
dengan suara keras sehabis mengerjakan shalat wajib. Inilah bunyi fatwa
itu,
Pada dasarnya, dzikir dan ibadah adalah tauqifi[41] dan kita
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang diperintahkan-Nya.
Demikian pula dengan kemutlakan dzikir dan ibadah tadi, serta penentuan waktu,
tata cara, atau penentuan jumlahnya, harus sesuai dengan yang disyariatkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala pula.
Jika yang
diperintahkan adalah mutlak tanpa ada ketentuan waktu, jumlah, tempat, atau tata
cara, maka tidak boleh bagi kita untuk menetapinya dengan tata cara tersendiri,
waktu tersendiri, atau jumlah tersendiri. Jadi, kita tetap beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak seperti
diperintahkan-Nya.
Adapun yang
ditetapkan dengan dalil-dalil, baik dari perbuatan ataupun perkataan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, tentang pembatasannya dengan waktu tertentu,
jumlah, tempat, atau tata cara, maka kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala sesuai dengan yang ditetapkan oleh syariat tadi.
Dan tidak
pernah ada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, apakah itu perbuatan, ucapan,
atau ketetapan mengenai doa secara berjamaah setelah shalat wajib, setelah
membaca al-qur`an langsung, atau setelah selesai pelajaran. Sama saja, apakah
itu dengan doa imam dan peng-amin-an para makmum atas doanya, atau dengan doa
mereka semua secara serempak. Hal ini juga tidak pernah didapati dari para
khulafa` rasyidin dan para sahabat.
Jadi,
barangsiapa yang menetapi doa secara berjamaah setelah shalat lima waktu, atau
setiap habis membaca al-qur`an, atau sehabis selesai pelajaran, maka ia telah
berbuat bid`ah dalam agama, dan membuat perkara baru yang sama sekali bukan dari
agama. Padahal telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebuah
riwayat sahih bahwa beliau bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ))[42]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka
amalan itu adalah tertolak."
Beliau juga
bersabda,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ))[43]
"Barangsiapa mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan
itu bukan dari agama ini, maka itu adalah tertolak."
78-Bagaimana kita menggabungkan
antara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ
عَلَيْهِ))[44]
"Sesungguhnya mayit itu disiksa
dengan tangisan keluarga terhadapnya."
Dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang
berbunyi,
{وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...}[45]
"Dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain." (QS. Al-Isra`: 15)?
Jawab:
Hadits
ini tidak berarti bahwa seorang mayit disiksa karena perbuatan orang lain.
Tetapi makna sahihnya, adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
kitabnya, "Uddah Ash-Shaabirin wa Dzakhirah Asy-Syaakirin"[46].
Beliau
berkata: Maksud hadits, "Seorang mayit disiksa dengan tangisan keluarganya
terhadapnya" bahwa si mayit merasa sakit dari perbuatan keluarganya dan dari
tangisan, serta jeritan, dan niyahah mereka.
Semua
perbuatan ini membuat si mayit bersedih dan merasa kesakitan. Sebagaimana ia
merasa sakit dari perbuatan buruk keluarganya sewaktu masih hidup. Yang demikian
itu, Karena si mayit diperlihatkan kepadanya amal-amal yang dilakukan
kerabatnya.
Sehingga, berdasarkan pernyataan ini berarti si mayit tidak disiksa
karena dosa orang lain. Jadi tidak ada pertentangan (ta`arudh) antara ayat dan
hadits di atas.
79-Kami harap kepada Syaikh
yang terhormat, agar memperingatkan kaum muslimin bagaimana hukum membaca
al-qur`an atas orang mati, apakah itu boleh atau tidak? Dan bagaimana kedudukan
hadits-hadits yang menerangkan tentang hal itu?[47]
Jawab:
Membaca
al-qur`an atas orang mati tidak ada dasar sahih yang bisa dijadikan pedoman dan
tidak ada pula syariatnya. Yang disyariatkan hanyalah membaca al-qur`an diantara
orang-orang yang masih hidup, agar mereka bisa mengambil manfaat dari bacaan
itu, dan mentadabburi kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian
memahaminya.
Adapun
membaca al-qur`an atas orang mati di atas kuburannya, atau setelah kematiannya
sebelum ia dikubur, atau membaca untuknya di tempat mana saja untuk dihadiahkan
kepadanya, maka sepengetahuan kami hal ini tidak ada dalilnya.
Para
ulama` telah mengarang banyak kitab dalam masalah ini, juga menulis banyak
tulisan tentang hal itu. Diantara mereka ada yang membolehkan membaca, bahkan
menganjurkan agar si mayit itu dikhatami dengan al-qur`an sebanyak beberapa
khataman, dan menggabungkan perbuatan ini termasuk sadaqah dengan
harta.
Tapi
diantara ulama ada yang berkata, ini adalah perbuatan tauqifi. Maksudnya,
perbuatan ini termasuk ibadah-ibadah, maka tidak boleh mengerjakannya kecuali
yang ditetapkan oleh syariat. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersabda,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ))[48]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka
amalan itu adalah tertolak."
Juga tidak ada
dalil pada masalah ini sepengetahuan kami yang menunjukkan disyariatkannya
membaca al-qur`an buat orang mati. Jadi kita harus tetap pada kaidah dasar yang
mengatakan bahwa ibadah adalah tauqifi.
Jadi! Tidak
boleh dibacakan al-qur`an atas orang mati, beda dengan sadaqah atas nama mereka,
berdoa untuk mereka, haji, umrah dan melunaskan hutang orang lain atas nama
mereka. Karena seluruh perbuatan ini bermanfaat bagi mereka.
Dalam hal ini
banyak dalil yang menyebutkan. diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang berbunyi,
((إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ،
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ))[49]
"Jika seorang
manusia meninggal dunia, maka terputus seluruh amal perbuatannya kecuali tiga
hal. Sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
mendoakannya."
Allah Subhanahu
wa Ta’ala juga Berfirman,
"Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka –yakni setelah para sahabat-, mereka
berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"." (QS. Al-Hasyr: 10)
Pada ayat di
atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah Memuji orang-orang yang datang setelah
para sahabat karena doa mereka bagi para pendahulunya. Hal ini menunjukkan bahwa
doa bagi kaum muslimin yang meninggal dunia adalah disyariatkan, dan hal itu
sangat bermanfaat bagi mereka. Demikian pula dengan sadaqah, ia juga berguna buat orang-orang mati
berdasarkan hadits tersebut di atas.
Dan
sangat mungkin sekali, jika mensadaqahkan harta yang kita gunakan menyewa orang
untuk membaca al-qur`an buat orang mati itu, kepada para fakir miskin dan
orang-orang yang membutuhkan dengan niat untuk mayit ini. Sehingga si mayit
mengambil manfaat dari harta tersebut dan orang yang menyadaqahkan harta tadi
bisa selamat dari perbuatan bid`ah. Karena telah disebutkan dalam sahih Muslim
hadits di bawah ini,
((أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ
نَفْسُهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا
أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ))[50]
"Ada
seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Ia
berkata, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibu saya meninggal secara tiba-tiba dan
tidak berwasiyat apapun. Saya yakin, seandainya ia berbicara pasti ia
bersadaqah. Apa dia mendapat pahala jika saya bersadaqah untuknya? Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Benar!"
Disini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan bahwa sadaqah atas nama si
mayit, akan berguna bagi mayit itu. Demikian pula dengan ibadah haji dan umrah
yang dilakukan untuknya. Banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini.
Demikian pula dengan melunaskan hutang orang lain atas nama si mayit, hal ini
bermanfaat pula bagi si mayit.
Adapun
jika seseorang membaca al-qur`an, kemudian memberikan pahala bacaan al-qur`an
tadi kepada si mayit, atau menghadiahkannya, atau ia mengerjakan shalat dan
puasa tatawu` untuk si mayit, maka ini semua tidak ada dalilnya. Jadi yang
benar, sesungguhnya perbuatan ini tidak disyariatkan.
80-Bolehkah membagi
al-qur`an menjadi tiga puluh juz dengan dijilid dalam bentuk tersendiri,
sekiranya satu bagian dari beberapa ayat dibuat dalam satu juz terjilid, dan
beberapa bagian ayat lainnya dalam satu juz terjilid sendiri, dan berada di
tangan orang lain[51]. Kemudian beberapa kaum
muslimin yang hadir disitu membacanya dalam setengah jam -misalnya- dalam
upacara itu, lalu dikatakan bahwa khatam al-qur`an yang sempurna ini dihadiahkan
kepada roh si mayit?[52]
Jawab:
Pertama: Yang
dilakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah, mereka membagi
al-qur`an berdasarkan surat bukan dengan ayat. Mereka juga tidak membaginya
berdasarkan pada jumlah huruf. Tetapi mereka membuatnya menjadi tujuh hizib. Dan
setiap orang dari mereka secara umum mengkhatamkan Al-Qur`an dalam waktu tujuh
malam.
Maka
dari Aus bin Abi Aus Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((سَأَلْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ؟ قَالُوا: ثَلَاثٌ
وَخَمْسٌ وَسَبْعٌ وَتِسْعٌ وَإِحْدَى عَشْرَةَ وَثَلَاثَ عَشْرَةَ وَحِزْبُ
الْمُفَصَّلِ وَحْدَهُ))[53]
"Saya bertanya
kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, bagaimana cara
mereka dalam membagi al-qur`an? Mereka
menjawab, membaginya menjadi tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, dan tiga
belas. Adapun hizib al-mufashshal[54] maka
dibagi secara tersendiri."
Adapun
membagi al-qur`an menjadi tiga puluh juz, atau membaginya menjadi enam puluh
bagian, apalagi dengan sangat memperhatikan jumlah huruf, maka yang pertama kali
melakukan hal ini terhadap al-qur`an adalah Al-Hajjaj bin Yusuf. Dialah yang
memerintahkan hal ini.
Setelah
itu, kebiasaan semacam ini menyebar dari Iraq ke seluruh negeri-negeri Islam.
Tetapi cara pembagian yang pertama –yaitu cara para sahabat- adalah lebih utama,
karena itulah yang makruf diantara para sahabat dan para pengikut mereka, yang
perbuatan mereka terhadap agama ini lebih telitih dan lebih
hati-hati.
Juga
karena dengan pembagian ala sahabat tadi, menjadi terwujud kesempurnaan arti dan
kisah cerita, sesuai dengan habisnya hizib tersebut. Lain halnya dengan
pembagian atau pembuatan hizib al-qur`an yang diperintahkan oleh Al-Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi, yang kadang-kadang satu hizib itu selesai sebelum sempurnanya
arti atau kisah.
Adapun
yang anda sebutkan, bahwa satu bagian dari beberapa ayat dijadikan dalam satu
juz yang terjilid, dan bagian beberapa ayat lainnya terdapat pada juz yang
terjilid lainnya dan berada di tangan orang lain, maka hal ini tidak pernah
terjadi pada pembagian yang dilakukan oleh para sahabat, dan seorang muslim
tidak patut untuk memperbuatnya.
Kedua: Para
sahabat tidak pernah membagi-bagi Al-Qur`an diantara mereka, yang setiap orang
dari mereka membaca satu juz, agar dengan setiap satu juz yang mereka baca
terlaksana satu khataman, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada roh
sang mayit. Para sahabat tidak pernah melakukan hal semacam ini. Yang mereka
lakukan adalah, setiap orang dari mereka membaca apa yang dimudahkan dari
Al-Qur`an kepada mereka, atau membacanya secara keseluruhan dalam beberapa malam
atau beberapa hari. Sehingga dia mengkhatamkannya sendiri, demi mengambil
manfaat dari al-qur`an itu, dan mengharap pahalanya dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala buat dirinya sendiri.
Dan
tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau
membaca al-qur`an untuk roh orang-orang mati, atau beliau menghadiahkan pahala
bacaannya kepada mereka.
Ketahuilah! Sebaik-baik kebaikan adalah dalam mengikut Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, berpegang teguh terhadap sunnah dan tuntunan
beliau, juga perbuatan para khulafa` rasyidin. Dan mudah-mudahan shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Salam, keluarga dan para sahabatnya.
81-Ketika ada orang
meninggal dunia, ada beberapa orang yang bertugas mengumpulkan para manusia.
Setelah mereka berkumpul, ia mendatangkan seorang qari` yang membaca al-qur`an
di tengah-tengah mereka. pertanyaan kami, benarkah perbuatan seperti
ini?[55]
Jawab:
Ini
adalah perbuatan bid`ah yang sangat mungkar.
82-Syaikh yang terhormat,
bagaimana kedudukan hadits yang mengatakan, "Bacakan surat yasin atas
orang-orang mati kalian[56]." Karena sebagian orang ada
yang membaca surat yasin ini di samping kuburan[57].
Jawab:
Hadits,
((اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يَسٍ))
"Bacakan surat yasin atas orang-orang mati kalian!"
Hadits
ini adalah dhaif karena terdapat padanya seorang perawi yang dhaif. Kemudian...
waktu membaca surat Yasin yang paling tepat -jika hadits ini sahih-, adalah
ketika seseorang dalam keadaan sekarat. Di saat seperti inilah seharusnya
dibacakan surat yasin atasnya.
Para
ulama` mengatakan bahwa surat Yasin ini mempunyai keutamaan, yaitu memudahkan
keluarnya roh dari tubuh orang yang meninggal dunia. Karena dalam surat ini
terdapat ayat yang berbunyi,
"Dikatakan kepadanya, 'Masuklah ke dalam Surga!' Maka ia berkata,
'Aduhai kaumku! Seandainya mereka mengerti perihal ampunan yang telah diberikan
Rabbku kepadaku, dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan'." (QS.
Yaasiin: 26-27)
Jadi,
surat ini hanya dibacakan kepada orang yang sekarat, jika kedudukan haditsnya
benar-benar sahih. Adapun membacanya di atas kuburan, maka hal ini tak ada
dalilnya.
83-Ada sebagian orang, yang
ketika menguburkan jenazah dan menimbunkan tanah di atas kuburannya, ia
mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan tersebut. Sebagian mereka ada yang
membaca al-qur`an di kuburannya. Menurut anda bagaimana hukum perbuatan
ini?
Jawab:
Mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan tidak ada dalilnya dalam
agama Islam. Yang ada hanyalah hadits mengenai talqin yang dinukil oleh
pengarang kitab "Subulus Salaam", yaitu ketika si mayit sudah dikuburkan, maka
dikatakan kepadanya, "Wahai Fulan bin fulan! Ingatlah bahwa kamu saat hidup
senantiasa berpegang kepada: Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu ann
muhammadan Rasulullah.." tetapi hadits ini bukan hadits yang sahih, sehingga
tidak boleh diamalkan.
Karena
itulah, melakukan talqin di kuburan, mengumandangkan adzan dan iqamat di
kuburan, atau membaca al-qur`an di kuburan atas si mayit, semua perbuatan ini
adalah dilarang.
84-Ada beberapa orang yang
ketika sekarat, ia berwasiyat agar setelah wafatnya nanti ia dikuburkan di kota
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yakni kota Madinah. Tetapi ia meninggal dunia di
kota lain, seperti Riyadh misalnya. Bagaimana hukum memindahkan jenazahnya ke
kota Madinah?
Jawab:
Perbuatan ini tidak apa-apa dilaksanakan. Karena pada dasarnya ia
dibolehkan, ketika tidak ada kesulitan dalam melakukannya, dan si mayit tidak
dikawatirkan membusuk. Juga pemindahannya ke kota lain ini tidak menunda proses
penguburannya, seperti jika proses pemberangkatannya perlu waktu yang lama
misalnya.
Karena
yang seharusnya dilakukan oleh keluarga yang masih hidup adalah menyegerakan
mengubur mayit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ
مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ))[58]
"Dan
cepat-cepatlah kalian dalam mengurus jenazah. Karena tidak pantas bagi jenazah
seorang muslim untuk dibiarkan tergeletak diantara
keluarganya."
Juga sesuai
sabda beliau yang lain,
((أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ
تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ
رِقَابِكُمْ))[59]
"Cepat-cepatlah mengubur jenazah.
Jika dia jenazah yang saleh, maka kalian mempercepat dirinya untuk mendapat
kebaikan. Tapi
jika tidak demikian, maka ia hanyalah keburukan yang kalian panggul di atas
pundak kalian."
Jadi
kesimpulannya: Jika kita tidak kawatir jenazahnya akan membusuk, kemudian ada
kendaraan yang bisa membawanya dengan cepat, maka kita tidak apa-apa untuk
memindahkannya.
85-Bolehkah kita menangisi
si mayit dengan tangisan yang disertai jeritan, merobek-robek baju, dan memukul
pipi? Apakah tangisan seperti ini berpengaruh bagi si mayit?[60]
Jawab:
Kita
tidak boleh meratapi mayit, menangis dengan menjerit-jerit, merobek-robek baju,
memukuli pipi, atau melakukan perbuatan lain yang serupa dengan
itu.
Karena
ada sebuah riwayat dalam kitab Ash-Shahihain dari Abdullah bin Mas`ud
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi bersabda,
((لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ
الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ))[61]
"Bukan golongan
kami seseorang yang menampari pipi, merobek-robek baju, dan memanggil-manggil
dengan panggilan jahiliyah."
Dan ada hadits
lain dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwa beliau melaknati wanita
yang berbuat niyahah, juga melaknati wanita yang mendengarkan niyahah
itu.
Juga ada
riwayat sahih, bahwasanya beliau bersabda,
((إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ فِيْ قَبْرِهِ بِمَا
يُنَاحُ عَلَيْهِ))[62]
"Sesungguhnya
mayit itu akan disiksa dalam kuburannya sebab tangisan yang diperuntukkan
baginya."
Dalam lafadz
lain,
((إِنَّ الْمَيِتَّ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ
عَلَيْهِ))
[63]
"Sesungguhnya
mayit itu akan disiksa karena tangisan keluarga terhadapnya."
86-Darimanakah datangnya peringatan yang dilaksanakan untuk mayit
pada hari ketiga dari penguburannya?[64]
Jawab:
Perbuatan ini adalah kebid`ahan yang dilakukan orang-orang tidak
mengerti tentang Islam, dan tidak memahami kewajiban mereka terhadap Islam dalam
memelihara ushul dan furu`nya[65]. Mereka juga
tidak memiliki bagian keIslaman yang sempurna, tetapi mencampur adukkan agama
itu dengan adat istiadat orang-orang yang tersesat.
Jadi,
perbuatan ini adalah perkara bid`ah yang dibuat-buat dalam Islam. Sehingga
perkara ini pasti ditolak oleh syariat. Sesuai dengan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ))[66]
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka
amalan itu adalah tertolak."
87-Atas dasar apakah orang-orang memperingati mayit pada hari
keempat puluh setelah kematiannya. Apakah ada dalil yang jelas tentang
disyariatkannya menyanjung-nyanjung kebaikan si mayit ini?[67]
Jawab:
Pertama: Pada dasarnya
peringatan keempat puluh hari setelah kematian mayit adalah kebiasaan para
fir`aun Mesir, yang sering mereka kerjakan sebelum datangnya ajaran Islam.
Kemudian kebiasaan ini menyebar dari mereka dan diikuti para manusia
lainnya. Perbuatan ini adalah perkara bid`ah yang mungkar, yang sama sekali tidak
ada dalilnya dalam Islam. Perbuatan ini ditolak oleh sabda Nabi yang
berbunyi,
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ))[68]
"Barangsiapa
mendatangkan perkara baru dalam agama ini, yang perbuatan itu bukan dari agama
ini, maka itu adalah tertolak."
Kedua: Meratapi si
mayit dan memuji-muji kebaikannya dengan cara yang ada di zaman ini, berupa
berkumpul untuk melakukan hal itu, serta berlebih-lebihan dalam memuji si mayit,
maka ini tidak boleh dilakukan. Sesuai dengan hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah,
dan disahihkan oleh Al-Hakim dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu ia
berkata,
((نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنِ الْمَرَاثِي))[69]
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kita meratapi dan
menyebut-nyebut kebaikan si mayit."
Juga
karena dalam menyebut-nyebut sifat si mayit ada semacam kebanggaan, memperbarui
rasa duka cita, dan merangsang kesedihan yang terus menerus, maka perbuatan ini
menjadi dilarang.
Adapun
jika sekedar memuji si mayit saati namanya disebut orang, atau ketika jenazahnya
sedang lewat, atau agar jenazahnya dikenal orang, dengan menyebut
perbuatan-perbuatan mulianya atau semacamnya, yang serupa dengan perbuatan para
sahabat saat memuji kebaikan para syuhada` Uhud dan lainnya, maka ini tidak
apa-apa dilakukan.
Sesuai
dengan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
((مُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرًا
فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ، وَجَبَتْ،
وَجَبَتْ. وَمُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ نَبِيُّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ، وَجَبَتْ، وَجَبَتْ. قَالَ
عُمَرُ: فِدًى لَكَ أَبِي وَأُمِّي، مُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا
خَيْرٌ، فَقُلْتَ: وَجَبَتْ وَجَبَتْ وَجَبَتْ، وَمُرَّ بِجَنَازَةٍ فَأُثْنِيَ
عَلَيْهَا شَرٌّ، فَقُلْتَ: وَجَبَتْ وَجَبَتْ وَجَبَتْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ
لَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ،
أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي
الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ))[70]
"Ada seorang
jenazah yang lewat, kemudian jenazah itu dipuji oleh banyak orang. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib
baginya.' Kemudian
lewat seorang jenazah, lalu orang-orang mencela keburukan dirinya. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib
baginya.'
Umar
Radhiyallahu ‘anhu berkata, 'Wahai Rasulullah! Kenapa ketika ada jenazah lewat
kemudian ia dipuji banyak orang anda mengucapkan, 'Wajib baginya, wajib baginya,
wajib baginya.' dan ketika ada jenazah lewat lainnya dan ia dicela keburukannya
anda mengucapkan, 'Wajib baginya, wajib baginya, wajib
baginya.'?'
Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, 'Jenazah manapun yang kalian puji
kebaikannya, maka wajib baginya surga. Dan jenazah manapun yang kalian cela
keburukannya, maka baginya adalah neraka. Kalian adalah para saksi
Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Kalian adalah
para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Kalian adalah
para saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi'."
88-Bolehkah kita menyebut si
mayit bahwa dia adalah Al-Maghfur lah (yang diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) atau Al-Marhum (yang
dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala)?[71]
Jawab:
Sering
kita temui di Koran-koran, berita tentang kematian beberapa orang. Seperti
halnya, banyak kita temui ucapan "turut berduka cita" kepada kerabat-kerabat si
mayit. Dalam koran-koran itu, mereka menyebut si mayit dengan al-maghfur lah,
al-marhum, atau ucapan-ucapan serupa lainnya yang memastikan bahwa ia adalah
penduduk Surga.
Tentunya hal ini tidak tersembunyi bagi orang yang mempunyai ilmu
tentang aqidah dan ajaran Islam, bahwa hal itu termasuk perkara-perkara yang
hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Dan aqidah ahlussunnah wal
jama`ah menyatakan, kita tidak boleh bersaksi untuk siapapun bahwa dia adalah
penduduk Surga atau penduduk Neraka. Kecuali orang-orang yang disebutkan oleh
nash al-qur`an al-karim seperti Abu Lahab, atau yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersaksi bahwa mereka adalah penduduk Surga, seperti sepuluh
orang sahabat yang dipastikan masuk Surga dan yang lainnya.
Semakna
dengan hal di atas, yaitu persaksian dari seseorang bahwa si mayit telah
diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala atau telah dirahmati-Nya. Karena itulah, yang
semestinya kita ucapkan adalah, Ghafarallahu lah;
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengampuninya, atau Rahimahullah;
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala Merahmatinya, atau kata-kata lainnya
yang merupakan doa bagi si mayit.
89-Apa hukumnya jika
beberapa orang mengatakan, "Ia telah dikubur di tempat peristirahatan
terakhirnya"?[72]
Jawab:
Perkataan, "Ia telah dikubur di tempat peristirahatan
terakhirnya" haram untuk kita ucapkan. Sebab, jika anda mengucapkan,
"jenazah itu sudah dikuburkan di tempat peristirahatannya yang terakhir" berarti
kuburan adalah tempat paling akhirnya. Padahal perkataan ini mengandung akidah
pengingkaran terhadap hari kebangkitan.
Dan
merupakan hal yang dimaklumi (diketahui) oleh kaum muslimin pada umumnya, bahwa
kuburan bukanlah tempat paling akhir bagi si mayit. Kepercayaan bahwa kuburan
adalah tempat terakhir, hanya diyakini orang-orang yang tidak beriman kepada
hari akhir.
Adapun
seorang muslim, maka sesuatu paling terakhirnya bukanlah kuburan. Pernah pada
suatu ketika, ada orang arab baduwi (pedalaman), mendengar seorang lelaki
membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai
kamu menziarahi[73] alam
kubur." (QS.
At-Takaatsur: 1-2)
Maka
orang arab baduwi itu berkata, "Demi Allah! Orang yang berkunjung itu tidak
akan menetap."
Orang
baduwi mengatakan demikian, karena orang yang berkunjung atau berziarah, akan
meneruskan perjalanannya. Maka mau tidak mau harus ada hari kebangkitan. Dan
inilah yang benar.
90-Saya kadang-kadang
mengerjakan ibadah thawaf untuk salah seorang kerabat, orang tua, atau
kakek-kakek saya yang telah meninggal dunia. Bagaimana hukum perbuatan saya ini?
Dan bagaimana pula hukum mengkhatamkan al-qur`an buat mereka? Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala Membalas anda dengan
balasan yang sebaik-baiknya.[74]
Jawab:
Yang
afdhal (paling utama) adalah meninggalkan perbuatan ini, karena tidak ada dalil
untuk itu. Tetapi disyariatkan bagi anda untuk bersadaqah buat siapa saja dari
kerabat dan lainnya yang meninggal dunia dalam keadaan muslim. Juga disyariatkan
bagi anda untuk berdoa buat mereka, mengerjakan ibadah haji, dan
umrah.
Adapun
mengerjakan shalat buat mereka, melakukan thawaf, dan membaca al-qur`an buat
mereka, maka yang afdhal adalah meninggalkannya karena tidak adanya
dalil.
Tetapi
beberapa ulama ada yang membolehkan hal itu, karena diqiyaskan dengan sadaqah
dan berdoa. Namun, yang lebih selamat adalah meninggalkannya[75].
91-Beberapa orang memberikan
saran, agar setiap kuburan diberi papan kecil yang disitu tertulis nama si mayit
yang ada di dalamnya. Bagaimana hukum hal ini?
Perbuatan ini sangat dilarang. Karena ada sebuah hadits bahwa Jabir
Radhiyallahu ‘anhu berkata,
((نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى
عَلَيْهِ، أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ، أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ))[76]
"Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kita untuk mengkapur kuburan,
mendudukinya, membangun di atasnya, menambahinya, atau menulis di
atasnya."
Maka
menulis nama di atas kuburan, masuk pada larangan hadits di atas. Dan mungkin
bagi kita untuk mengenali penghuni kuburan itu, dengan meletakkan batu atau yang
semisal di atasnya. Disebutkan dalam sunan Abi Dawud, bahwa ketika Utsman bin
Madz`un Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam meletakkan batu di atas kuburannya di bagian kepala. Kemudian beliau
bersabda,
((أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ
إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي))[77]
"Dengan batu
itu saya menandai kuburan saudaraku, dan seperti inilah saya mengubur setiap
yang meninggal dari keluargaku."
92-Bagaimana hukum
menancapkan pelepah kurma dan kaktus hijau di atas kuburan
mayit?[78]
Jawab:
Ini
tidak boleh dilakukan. Adapun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
sewaktu menancapkan dua pelepah kurma di atas kuburan dua orang yang disiksa,
karena beliau mengetahui mereka sedang disiksa. Jadi ini khusus buat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Sehingga kita dilarang meletakkan pelepah kurma
atau pohon yang lain di atas kuburan.
93-Bolehkah kami mengubur
orang-orang Islam di pekuburan orang-orang non muslim? Karena orang-orang Islam
tinggal di kota yang sangat jauh dari pekuburan mereka, sehingga proses
penguburan ini mengharuskan kami untuk membawa mayit ke tempat penguburan lebih
dari satu minggu. Padahal yang sunnah adalah menyegerakan mengubur
mayit.[79]
Jawab:
Kaum
muslimin tidak boleh mengubur seorang muslim di pekuburan orang-orang kafir.
Karena praktek kaum muslimin semenjak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam,
para khulafa` rasyidin, dan yang datang setelah mereka, adalah terus-menerus
membedakan antara pekuburan kaum muslimin dengan pekuburan orang-orang kafir,
dan tidak pernah mengubur seorang muslimpun bersama dengan orang
musyrik.
Maka
perbuatan ini merupakan ijma` amali dalam membedakan pekuburan kaum muslimin
dari pekuburan orang-orang kafir. Juga sesuai dengan hadits riwayat Imam
An-Nasai dari Basyir bin Al-Khashashiyyah Radhiyallahu ‘anhu ia
berkata,
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ عَلَى قُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ:
((لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلَاءِ شَرًّا كَثِيرًا))، ثُمَّ مَرَّ عَلَى قُبُورِ
الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ: ((لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلَاءِ خَيْرًا كَثِيرًا))[80]
"Saya pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam,
kemudian beliau melewati pekuburan kaum muslimin. Beliau bersabda, 'Mereka telah
meninggalkan keburukan yang sangat banyak.' Kemudian beliau melewati pekuburan
kaum musyrikin, dan bersabada, 'Mereka telah meninggalkan kebaikan yang sangat
banyak'."
Maka
hadits ini menunjukkan, bahwa pekuburan kaum muslimin harus dibedakan dari
pekuburan orang-orang musyrik.
[1] HR. Muslim dalam sahihnya, kitabul
janaiz, no. 1596
[2] HR. Muslim, kitabul janaiz, bab
al-qiyam li al-janazah.
[3] HR. Abu Dawud no. 2747 dan
Al-Baihaqi
[4] HR. Ahmad, no. 787; juga
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad sahih.
[5] Muttafaq alaih dari Abu Hurairah
t.
[6] QS. Thaaha:
39
[7] Lahat adalah bentuk galian kubur
yang sisi pada arah kiblatnya di lobangi lagi, kemudian si mayit dimasukkan ke
dalamnya.
[8] Syaqq adalah bentuk tanah kuburan
yang hanya digali segi empat tanpa dilobangi lagi bagian sisi
kiblatnya.
[9] Batu bata yang terbuat dari
tanah tanpa dibakar. Sehingga bisa cepat bercampur dan menjadi tanah
lagi.
[10] Yaitu menggundukkan tanah
di atas kuburan sebesar punuk unta.
[11] Meletakkan kerikil di sini,
karena kondisi tanah di bumi Saudi seperti debu karena jarang hujan. Seandainya
tidak diberi kerikil, tanah itu akan berhamburan tertiup angin. Beda dengan
kondisi tanah kita di indonesia yang penuh dengan kadar air, bahkan
kadang-kadang kita baru menggali, air berdatangan dari sana sini. Karena kami
pernah mengiringi jenazah teman Indonesia kami yang meninggal dan dikubur di
pekuburan Baqi` sebelah masjid nabawi. Tanahnya hampir seperti tepung. Sehingga
ketika menaburkannya ke dalam, dan datang angin, tanah itu menjadi debu yang
berterbangan. Allahu
a`lam.
[12] HR. Ahmad, no.
22360
[13] HR. Ahmad, no. 14498 dan
lainnya.
[14] HR. Ahmad, no.
15077
[15] HR. Ahmad, no.
17803
[16] Jarak antara siku hingga
ujung jari tengah.
[17] HR. Abu Dawud, 2/29; At-Tirmidzi,
2/152; dan An-Nasai, 1/83
[18] HR. Muslim dalam kitab
al-janaaiz, no. 1606
[19] Tambahan (NB) ini dari
penerjemah.
[20] HR. Ibnu Majah,
1/474
[21] Ibnu Utsaimin, majmu`atu
fatawa wa durus al-haram al-makky, 3/376
[22] HR. Abu Dawud dalam kitab
al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits
Utsman bin Affan t.
[23] HR. Al-Bukhari dalam kitab
at-tauhid, bab firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: walaqad yassarnal qur`aan lidz
dzikri..., fathul bari, 13/521
[24] HR. Abu Dawud, no. 1273 dan
At-Tirmidzi, no. 3479. At-Tirmidzi menghukumi hasan hadits
ini.
[25] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah,
edisi. 740
[26] HR. Muslim dalam kitab al-janaaiz,
bab isti`dzan an-nabi fi ziyarati ummih, no. 1620
[27] HR. Abu Dawud dalam kitab
al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits
Utsman bin Affan t.
[28] Ibnu Baaz, majmu`at fatawa wa
maqaalat mutanawwi`ah, 1/443
[29] Syarah sahih Muslim, kitab
al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16,
dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam
Ahmad, no. 24840
[30] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no.
3243
[31] HR. Muslim dari Hadits Jabir bin
Abdillah y, kitab al-jumu`ah, no.
1435
[32] Yaitu, 1-Sahih Al-Bukhari, 2-Sahih
Muslim, 3-Sunan Abi Dawud, 4-Sunan At-Tirmidzi, 5-Sunan An-Nasai, dan 6-Sunan
Ibnu Majah.
[33] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah,
edisi. 760
[34] Syarah sahih Muslim, kitab
al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16,
dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam
Ahmad, no. 24840
[35] HR. Abu Dawud, kitab as-sunnah, no.
3991
[36] Ibnu Utsaimin, kitab alfaadz wa
mafaahiim fi miizaan asy-syari`ah, hlm. 60
[37] HR. Abu Dawud dalam kitab
al-janaaiz, bab al-istighfar `inda al-qabr li al-mayyit, no. 2804 dari hadits
Utsman bin Affan t.
[38] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah
ad-dakwah, edisi. 853
[39] HR. Abu Dawud, no. 3221, kitabul
janaaiz, babul istighfar `inda qabril mayyit.
[40] Lihat naskah ucapan beliau ini di
Majmu` al-fatawa, 24/296
[41] yakni kita hanya berpedoman kepada
yang diperintahkan oleh al-qur`an dan as-sunnah. Jika tidak ada perintah berarti
kita haram mengerjakannya.
[42] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no.
3243
[43] Syarah sahih Muslim, kitab
al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16,
dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam
Ahmad, no. 24840
[44] HR. Al-Bukhari dalam kitab
al-janaaiz, no. 1206; dan Muslim dalam kitab al-janaaiz pula, no.
1536
[45] QS. Al-Isra`:
15
[46] Lihat, bab kedelapan belas hlm.
109; darul kutub al-ilmiyyah.
[47] Ibnu Baaz, majmu` fatawa wa
maqaalaat mutanawwi`ah, 4/340
[48] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no.
3243
[49] HR. Muslim, kitabul washiyyah, bab:
Ma yalhaqu al-insan min ats-tsawaab ba`da wafaatih, 3/1255, no. 1631; dan Abu
Dawud dalam kitab al-washaya, bab: fima ja`a fi ash-shadaqah an al-mayyit,
2/106
[50] HR. Muslim, kitab al-washiyyah, no.
3083, juga kitab Az-Zakaah, bab wushuul tsawaab ash-shadaqah an al-mayyit,
7/9
[51] Maksudnya, bagian beberapa ayat
dalam satu juz terjilid yang lain ini, di pegang orang lain dan dia yang
membacanya.
[52] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah
ad-dakwah, edisi. 796
[53] HR. Ahmad, no. 15578, dan Abu Dawud
dalam kitab Ash-Shalah, no. 1185
[54] Ada yang mengatakan bahwa
Al-Mufashshal adalah surat-surat yang ada disekitar surat Qaf. Yang lain
mengatakan, ia adalah surat-surat mulai Al-Hujurat hingga akhir mushaf. Allahu
a`lam.
[55] Ibnu Utsaimin. Alfaadz wa Mafaahiim
fi Miizan Asy-Syari`ah, hlm. 36
[56] HR. Abu Dawud dalam
kitab al-janaiz, no. 2714
[57] Ibnu Utsaimin. Alfaadz
wa Mafaahiim fi Miizan Asy-Syari`ah, hlm. 61
[58] HR. Abu Dawud no. 2747
dan Al-Baihaqi
[59] Muttafaq alaih dari Abu
Hurairah t.
[60] Al-Lajnah Ad-Daimah, majalah
ad-dakwah, edisi. 795
[61] HR. Al-Bukhari dalam kitab
al-janaaiz, no. 1212
[62] HR. Al-Bukhari dalam kitab
al-janaaiz, no. 1206
[63] HR. Al-Bukhari dalam kitab
al-janaaiz, no. 1206; dan Muslim dalam kitab al-janaaiz pula, no.
1536
[64] Ibnu Baaz, Majalah ad-dakwah,
edisi. 779
[65] Ushul adalah dasar-dasar ajaran
Islam, sedangkan Ushul adalah cabang-cabang dari ajaran
tadi.
[66] HR. Muslim, kitab al-aqdhiyah, no.
3243
[67] Ibnu Baaz, majalah ad-dakwah,
edisi. 779
[68] Syarah sahih Muslim, kitab
al-aqdhiyah, bab: Naqdhul ahkaam al-baatilah wa raddi muhdatsaatil umuur, 12/16,
dan diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, kitab Ash-Shulh, no. 2499; dan Imam
Ahmad, no. 24840
[69] Musnad Imam Ahmad, no. 18351, dan
sunan Ibnu Majah, bab ma jaa-a fi al-janaiz, no. 1581
[70] HR. Muslim, kitabul janaiz, no.
1578 dan Ahmad, no. 12470
[71] Ibnu Baaz, Majmu` fatawa wa
maqaalat mutanawwi`ah, 4/335
[72] Ibnu Utsaimin. Alfaadz wa Mafaahim
fi mizan Asy-Syari`ah, hlm. 28
[73] "Menziarahi" disini bukan
mendatangi kuburan. Tapi artinya, sampai kalian dikuburkan di alam kubur. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menggunakan ungkapan ziarah, karena orang yang dikubur dalam
kuburan ia tidak selamanya disitu. Suatu saat ia pasti segera
dibangkitkan.
[74] Ibnu Baz, majmu` fatawa wa maqalat
mutanawwi`ah, 4/224
[75] Karena asal dari ibadah adalah
tauqif bukan qiyas.
[76] HR. Abu Dawud, 2/272 dan An-Nasai,
1/284
[77] HR. Abu Dawud, kitabul
janaiz, no. 2791
[78] Ibnu Baz, fatawa
Islamiyyah, 2/37
[79] Al-Lajnah Ad-Daimah,
fatawa islamiyyah, 2/36
0 comments:
Post a Comment