Pembahasan seputar sholat lengkap

[Shalat]

Adzan dan iqamah untuk shalat malam (salatul lail)
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah adzan dan iqamah diwajibkan untuk shalat malam (salatul lail) atau apakah orang yang shalat malam tidak perlu melakukan adzan dan iqamah?

Jawaban:



Tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat malam.

Kepunyaan Allah-lah Taufiq dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasullullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question 4 from fatwa 7845 P77 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee Translated by Abu Abdir Rahmaan ibn Najam. Diterjemahkan dari:


Apakah darah membatalkan shalat/wudhu?
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Saya ingin mendapatkan pengetahuan tentang permasalahan darah. Apakah darah membatalkan shalat?

Jawaban:



Segala puji semata-mata bagi Allah dan semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada utusan-Nya صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Selanjutnya, kami tidak mengetahui dalil yang menyatakan tentang keluarnya darah dari selain bagian tubuh yang pribadi (kemaluan) dapat membatalkan wudhu, dan prinsip dasarnya adalah bahwa darah yang keluar dari selain kemaluan adalah tidak membatalkan.

Pelaksanaan shalat dalilnya adalah berdasarkan al-quran dan sunnah. Jadi tidak dibolehkan bagi seseorang untuk mengatakan bahwa pelaksanaan shalat adalah syah kecuali dengan dalil.

Dan sesungguhnya ada beberapa orang ulama memiliki pendapat bahwa keluarnya darah dalam jumlah yang banyak dari bagian tubuh yang bukan kemaluan adalah membatalkan wudhu. Jadi jika seseorang yang mengeluarkan darah kemudian mengulang wudhunya karena bersikap hati-hati dan untuk menghindari perbedaan pendapat maka ini adalah (sesuatu yang) baik. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم :"Tinggalkanlah sesuatu yang menyebabkan kamu ragu sehingga tidak menimbulkan keraguanmu." (HR. An-Nasaa'i dan At-Tirmidzi)

Semoga Allah melimpahkan Taufiq-Nya dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasulullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question 2 from fatwa 2461 P261 volume 5 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:


Bersalaman (Berjabat Tangan) Setelah Shalat
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah?

Jawaban:


Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama Muslim, Nabi صلی الله عليه وسلم senantiasa menyalami para sahabatnya saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas dan asy-Sya'bi berkata, "Adalah para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم, apabila berjumpa, mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan." Disebutkan dalam ash-Shahihain , bahwa Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi صلی الله عليه وسلم di masjidnya menuju Kaab bin Malik ketika Allah menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم dan setelah wafatnya beliau. Juga riwayat dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا يَتَحَاتُّ عَنِ الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا

"Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya de-daunan dari pohonnya." (Abu Dawud, kitab al-Adab (5211, 5212), at- Tirmidzi, kitab al-Isti'dzan (2728), Ibnu Majah, kitab al-Adab (3703), Ahmad (4/289, 303), adapun lafazhnya adalah: "Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah.")

Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu di samping karena hal ini bisa menguatkan persaudaraan dan menghilangkan permusuhan.

Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru'. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم setelah shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah bersalaman sebelumnya maka itu sudah cukup.



Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.


Cara Mengerjakan Shalat Jika Malam atau Siang Lebih Panjang
Syaikh Ibnu Baz


Pertanyaan:
Terkadang dijumpai di sebagian daerah waktu malam atau waktu siang terasa agak terlalu panjang. Dan terkadang terasa pendek sekali sampai-sampai tidak ada kesempatan (waktu) untuk menunaikan shalat lima waktu. Lalu bagaimana cara menunaikan shalat lima waktu bagi penduduk setempat.



Jawaban:


Apabila di suatu negeri (daerah) waktu malam terasa lebih panjang daripada waktu siang, atau sebaliknya waktu siang terasa lebih panjang daripada waktu malam. Sehingga kita tidak bisa lagi melihat zawal (tergelincirkan matahari) dan tidak pula dapat melihat ghurub (terbenamnya matahari). Maka, dalam keadaan seperti itu cara mengerjakan shalat bagi penduduk setempat cukup dengan memperkirakan waktu-waktu shalat.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Nuwwas bin Sam'an perihal hari dimana pada saat itu Dajjal akan muncul ke muka bumi. Pada saat itu sehari nilainya sama dengan setahun. Mendengar sabda Nabi yang demikian itu, lalu para sahabat bertanya kepada beliau. Jawab Nabi, "Perkirakanlah hari itu dengan sebaik-baiknya." Keputusan beliau itu pun berlaku pada hari kedua (munculnya Dajjal), yaitu sehari nilainya sama dengan sebulan. Dan begitu tiba hari yang ketiga, maka sehari nilainya sama dengan seminggu.

Adapun di daerah (negeri) yang malamnya terasa lebih pendek daripada siangnya. Atau sebaliknya waktu siang lebih pendek daripada waktu malam. Maka, dalam hal ini hukumnya jelas. Yaitu mereka melaksanakan shalat lima waktu seperti pada hari-hari biasa. Sekalipun waktu malam atau siang terlihat pendek sekali. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil (baik dari Al-Qur'an maupun hadits). Wallaah waliyyut taufiq.

Sumber:
Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz Mengenai Shalat 13/125, pustaka Al Kautsar.


Duduk Istirahat Tidak Wajib
Lajnah Daimah


Pertanyaan:
Apakah duduk istirahat saat hendak berdiri dari rakaat pertama ke rakaat kedua, atau dari rakaat ketiga ke rakaat keempat hukumnya wajib, atau sunnah muakkadah?

Jawaban:


Para ulama telah sepakat, bahwa duduknya orang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga, yakni sebelum berdiri ke rakaat berikutnya, tidak termasuk kewajiban shalat, tidak pula termasuk sunnah muakkadahnya. Kemudian ada perbedaan pendapat, apakah hukumnya sunat saja atau memang tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh yang membutuhkannya karena fisiknya lemah akibat lanjut usia atau karena sakit atau fisiknya yang tidak fit.

Imam asy-Syafi'i dan sejumlah ahli hadits mengatakan, bahwa hukumnya sunat, demikian juga menurut salah satu pendapat Imam Ahmad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan para penyusun kitab Sunan, dari Malik bin al-Huwairits, bahwa ia melihat Nabi صلی الله عليه وسلم, ketika selesai rakaat ganjil dalam shalatnya, beliau tidak langsung berdiri, tapi duduk terlebih dahulu.

Tapi tidak demikian pendapat mayoritas ulama, di antaranya; Abu Hanifah, Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Hal ini karena hadits-hadtis lainnya tidak menyebutkan adanya duduk tersebut. Kemungkinannya, bahwa yang disebutkan dalam hadits Malik bin al-Huwairits tentang duduk tersebut adalah di akhir hayat Nabi صلی الله عليه وسلم, yaitu ketika fisik beliau telah lemah atau karena sebab lain.

Ada pendapat ketiga, yaitu menggabungkan antara hadits-hadits yang ada, yaitu bahwa hadits yang menyebutkan duduknya Nabi صلی الله عليه وسلم itu adalah saat beliau memerlukannya.

Kelompok ini mengatakan, bahwa duduk tersebut disyariatkan saat dibutuhkan saja. Tapi yang tampak, bahwa itu hanya mustahab. Tidak disebutkannya duduk tersebut dalam hadits-hadits lainnya tidak menunjukkan bahwa itu tidak mustahab, tapi menunjukkan bahwa itu tidak wajib.

Pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab dikuatkan dengan dua hal:

Pertama; Bahwa pada dasarnya perbuatan Nabi صلی الله عليه وسلم itu adalah pensyariatan untuk diikuti.

Kedua; Tentang duduk tersebut yang disebutkan dalam hadits Abu Humaid as-Saidi, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan isnad jayyid, yang mana dalam hadits tersebut disebutkan tentang sifat shalat Nabi صلی الله عليه وسلم seperti itu kepada sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya.

Sumber:
Fatawa Islamiyyah, Al-Lajnah Ad-Daimah (1/268-269). Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.


Hikmah Dimasukkannya Kuburan Rasulullah Ke Dalam Masjid
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa tidak boleh mengubur mayat di dalam masjid, masjid mana pun yang di dalamnya terdapat kuburan maka tidak boleh melaksanakan shalat di dalamnya. Lalu, apa hikmah dimasukkannya kuburan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan sebagian sahabatnya ke dalam Masjid Nabawi?

Jawaban:


Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Allah melaknat kaum yahudi dan kaum nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid." (Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari, kitab al-Jana'iz (1330), Muslim, kitab al-Masajid (529)).

Dan telah diriwayatkan dari Aisyah -rodliallaahu'anha-, bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah menceritakan kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم tentang suatu gereja yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah termasuk gambar-gambar yang ada di dalamnya, lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,

أُولئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجٍدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ أُولئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ

"Mereka adalah kaum yang apabila seorang hamba yang sholih di an-tara mereka meninggal atau seorang laki-laki yang shalih, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah." (Muttafaq 'Alaih: Al-Bukhari, kitab ash-Shalah (434), Muslim, kitab al-Masajid (528)).

Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jundab bin Abdillah al-Bajali, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ

"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Seandainya aku (dibolehkan) mengambil kekasih dari antara umatku, tentu aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan itu." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (532)).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim juga, dari Jabir, ia berkata, "Rasulullah صلی الله عليه وسلم melarang menghiasi kuburan dan duduk di atasnya serta membuat bangunan di atasnya." (HR. Muslim, kitab al-Jana'iz (970)).

Hadits-hadits shahih ini, dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan haramnya membuat masjid di atas kuburan dan terlaknatnya orang yang melakukannya, serta haramnya membuat kubah-kubah dan bangunan di atas kuburan, karena hal itu merupakan faktor-faktor kesyirikan dan penyembahan terhadap para penghuninya, sebagaimana yang pernah terjadi dahulu dan sekarang. Maka yang wajib atas kaum Muslimin di mana saja adalah waspada terhadap apa yang telah dilarang oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم, jangan sampai terpedaya oleh perbuatan orang lain, karena kebenaran adalah ketika menemukan kesesatan seorang Mukmin, maka hendaklah menuntunnya, dan kebenaran itu dapat diketahui dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, bukan berdasarkan pendapat dan perbuatan manusia.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kedua sahabatnya tidak dikubur di dalam masjid, akan tetapi mereka di kubur di rumah Aisyah, namun ketika perluasan masjid pada masa al-Walid bin Abdul Malik di akhir abad pertama hijriyah, rumah tersebut dimasukkan ke dalam masjid (termasuk dalam wilayah perluasan masjid). Demikian ini tidak dianggap mengubur di dalam masjid, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kedua sahabatnya tidak dipindahkan ke tanah masjid, tetapi hanya memasukkan rumah Aisyah, tempat mereka dikubur, ke dalam masjid untuk perluasan. Jadi hal ini tidak bisa dijadikan alasan oleh siapa pun untuk membolehkan membuat bangunan di atas kuburan atau membangun masjid di atasnya atau menguburkan mayat di dalam masjid, karena adanya hadits-hadits yang melarang hal tersebut, sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi. Apa yang dilakukan oleh al-Walid dalam hal ini tidak berarti menyelisihi sunnah yang telah pasti dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Hanya Allah lah yang mampu memberi petunjuk.



Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 4, hal. 337-338, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum Laki-laki Shalat Tanpa Menutup Kepala
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah hukumnya shalat tanpa menutup kepala bagi seseorang, baik bagi seorang imam atau makmum?

Jawaban:

Laki-laki tidak diwajibkan untuk menutup kepala pada waktu shalat, tanpa menghiraukan apakah dia seorang imam atau makmum.
Dan untuk wanita, maka diwajibkan baginya untuk menutup kepala.

Semoga Allah melimpahkan Taufiq-Nya dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasullullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.
Rujukan:
Question one from fatwa 5699 P171 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Hukum Memakan Bawang Kemudian Datang Ke Masjid
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Telah diriwayatkan dalam hadits shahih, larangan terhadap orang yang makan bawang merah, barang putih, atau kuras (bawang daun) lalu pergi ke masjid. Apakah dapat ditambahkan pada hal-hal tersebut sesuatu yang mempunyai bau busuk dan haram seperti rokok? Dan apakah hal itu berarti bahwa orang yang telah makan hal-hal tersebut diberi kelonggaran untuk meninggalkan shalat berjamaah sehingga ia tidak berdosa bila meninggalkannya?

Jawaban:


Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَلْيُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ
"Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (855), Muslim, kitab al-Masajid (73, 564)).

Dan telah diriwayatkan pula dari beliau صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,

إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوا آدَمَ
"Sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (854), Muslim, kitab al-Masajid (564)).

Semua yang beraroma busuk, hukumnya sama dengan hukum bawang putih dan bawang merah, seperti mengisap rokok, juga orang yang ketiaknya bau atau lainnya, yang mengganggu orang lain yang di dekatnya, maka ia dimakruhkan untuk shalat berjamaah, sampai ia menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tersebut.

Yang wajib baginya ialah melakukan hal itu (menghilangkan baunya) semaksimal mungkin, agar ia dapat melakukan shalat berjamaah sesuai yang diwajibkan oleh Allah.

Adapun merokok, maka hal itu haram secara mutlak, wajib untuk ditinggalkan setiap saat, karena bisa membahayakan terhadap agama, badan dan harta. Semoga Allah memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan memberi petunjuk kepada mereka untuk kebaikan.
Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 61-62, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum Mengambil Mushaf Dari Masjid, Memanjangkan Punggung Ketika Sujud Dan Melakukan Gerakan Sia-sia Di Dalam Shalat
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Apa hukum mengambil mushaf dari masjid ke rumah, terutama jika hal itu berulang-ulang? Apa pula hukum memanjangkan tubuh ketika sujud? Apa hukum mengeraskan suara bacaan sebelum shalat? Dan apa hukum memainkan jenggot dan pakaian tanpa adanya keperluan saat sedang shalat?

Jawaban:


Mengambil mushaf dari masjid tidak boleh, karena mushaf-mushaf masjid seharusnya tetap berada di masjid dan tidak boleh diambil.

Tentang mengulurkan punggung secara berlebihan ketika sujud, itu tidak harus dilakukan, karena yang harus dilakukan saat sujud adalah meluruskan punggung, tidak memanjang dan memendekkan, tapi secukupnya dengan bertopang pada kedua tangan di atas lantai dan merenggangkannya dari kedua pinggangnya serta merenggangkan perut dari kedua pahanya, artinya sederhana dalam sujud dengan tidak terlalu memanjangkan dan tidak terlalu menekuk, tapi pertengahannya.

Tentang mengangkat suara bacaan sebelum shalat, selayaknya tidak mengangkat suara keras-keras jika ada orang lain di dekatnya, tapi cukup dengan suara yang bisa didengar oleh dirinya sendiri agar tidak mengganggu orang lain atau orang yang sedang shalat atau orang yang sedang membaca, dalam hal ini cukup dengan suara rendah.

Adapun tentang memainkan jenggot atau pakaian ketika shalat, maka hal ini adalah makruh, bahkan yang disunatkan adalah bersikap tenang, Allah سبحانه و تعالى berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).

Karena itu, hendaknya khusyu' dalam melaksanakan shalat, tidak memainkan jenggot ataupun pakaian. Adapun melakukan gerakan ringan karena keperluan, maka hal itu dibolehkan, tapi jika banyak maka hal itu tidak boleh kecuali karena terpaksa.


Rujukan:
Mukhtar Min Fatawa ash-Shalah, hal. 14-15, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya boleh berhubungan dengannya atau tidak? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah kakak saya seayah.

Jawaban:


Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), at-Tirmidzi, kitab al-Imam (2616), Ibnu Majah, kitab al-Fitan (3973) dengan isnad shahih).

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab al-Iman (82).

"Perjanjiang (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunan dengan isnad shahih, at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalah (1079)).

Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma' ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena meninggalkan shalat baik dia dunia maupun diakhirat kelak, dengan demikian diharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.

Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, halman 93. Ibnu Baz.

Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal 185-186, penerbit Darul Haq.











Hukum Menyepelekan Shalat Berjamaah
Syaikh Ibnu Baz


Pertanyaan:
Saat ini, banyak kaum Muslimin, bahkan sebagian penuntut ilmu (syariah), yang menyepelekan shalat berjamaah. Mereka beralasan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah itu tidak wajib. Bagaimana hukum berjamaah itu sendiri? Dan nase-hat apa yang akan Syaikh sampaikan kepada mereka?



Jawaban:


Tidak diragukan lagi, bahwa shalat berjamaah bersama kaum Muslimin di masjid, hukumnya wajib, demikian menurut pendapat terkuat dari kedua pendapat para ulama. Shalat jamaah itu wajib atas setiap pria yang mampu dan mendengar adzan, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,


مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

"Barangsiapa mendengar adzan, lalu ia tidak datang (ke masjid) maka tak ada shalat baginya, (tidak diterima shalatnya) kecuali karena udzur (halangan syar'i)."(Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (792), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (29064), al-Hakim (1/246) dengan sanad shahih).

Ibnu Abbas -rodliallaahunahu- pernah ditanya tentang udzur tersebut, lalu ia menjawab, "Rasa takut (suasana tidak aman) atau sakit (penyakit)."

Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah -rodliallaahunahu- dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya telah datang kepada beliau seorang laki-laki buta lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku?" kemudian beliau bertanya,


هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَنَعَمْ، قَالَفَأَجِبْ

"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah (panggilan adzan tersebut)."(HR. Muslim, kitab al-Masajid (653)).

Dalam ash-Shahihain (Bukhari-Muslim), dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu- dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,


لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ

"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut." (Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).

Seluruh hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Dan orang yang tidak menghadirinya, berhak untuk mendapat hukuman agar ia jera. Sekiranya shalat berjamaah di masjid itu tidak wajib, maka orang yang meninggalkannya tentu tidak berhak mendapatkan hukuman. Sebab shalat di masjid itu adalah termasuk syiar Islam terbesar, penyebab perkenalan antar Muslimin, dan dengan berjamaah akan tercapai kasih sayang dan hilang kebencian.

Juga orang yang meninggalkannya, menyerupai sifat-sifat kaum munafiqin. Jadi yang wajib dilakukan adalah bersikap hati-hati (dari meninggalkan shalat berjamaah). Dan tak ada arti dari perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena seluruh pendapat yang bertentangan dengan dalil-dalil syar'iyah wajib untuk dibuang dan tidak boleh dipegang! Berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Surah An-Nisa': 59).

Dalam ayat lain disebutkan,‏

"Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."(Surah asy-Syuraa: 10).

Dan dalam shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, bahwasanya beliau berkata, "Sungguh kami melihat para sahabat di antara kami, tak ada yang meninggalkannya (yaitu shalat jamaah), kecuali munafiq, atau orang sakit. Sampai-sampai ada seseorang didatangkan (ke masjid) dipapah di antara dua orang untuk diberdirikan di tengah-tengah shaf."

Tak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan betapa per-hatian yang begitu besar dari para sahabat terhadap shalat jamaah di masjid, sampai-sampai mereka terkadang mengantarkan seseorang yang sakit dengan dipapah di antara dua orang agar bisa shalat berjamaah. Semoga Allah سبحانه و تعالى meridhai semua perbuatan mereka. Dan hanya Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.

Sumber:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 56-58, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.











Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Syaikh Ibnu Utsaimin


Pertanyaan:

Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah tersebut?



Jawaban:


Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir, murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.

Dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik,

"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (At-Taubah: 11).

Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukan-lah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan-perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam.

Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

إِنَّبَيْنَالرَّجُلِوَبَيْنَالشِّرْكِوَالْكُفْرِتَرْكُالصَّلاَةِ

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)).

Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah dan kitab-kitab Sunan,

اَلْعَهْدُالَّذِيْبَيْنَنَاوَبَيْنَهُمُالصَّلاَةُ،فَمَنْتَرَكَهَافَقَدْكَفَرَ
"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (HR. Ahmad (5/346), at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2641), an-Nasa'i (1/232), Ibnu Majah (1079)).

Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar –rodliallaahu'anhu- berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat." (HR. Malik, kitab ath-Thaharah (84)). Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, "Para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم tidak memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat."

Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal:

Karena tidak ada dasar dalilnya;
Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;
Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;
Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;
Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:

Pertama: Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى tentang para wanita yang berhijrah,

"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka." (Al-Mumta-hanah: 10).

Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.

Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti -na'udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.

Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 28).

Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم dalam hadits Usamah,

لاَيَرِثُالْمُسْلِمُالْكَافِرَوَلاَالْكَافِرُالْمُسْلِمَ

"Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim." (Muttafaq 'Alaih; al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab al-Fara'idh (1614)).

Juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

اَلْحِقُواالْفَرَائِضَبِأَهْلِهَافَمَابَقِيَفَهُوَلأَوْلَىرَجُلٍذَكَرٍ
"Bagikan harta warisan kepada para ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling berhak." (Al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6732), Muslim, kitab al-Fara'idh (1615)). Hal ini pun berlaku untuk semua warisan.

Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak ter-hormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.

Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na'udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At-Taubah: 113).

Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di rumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu a'lam. Semoga shalawat dan salam senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Rujukan:

Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin.

Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal.186-189, penerbit Darul Haq.















Hukum Pembatas (Sutrah) Di Depan Orang Shalat
Syaikh Ibnu Jibrin


Pertanyaan:
Apa hukum membuat pembatas untuk shalat. Dan apakah yang berada di shaf kedua juga harus membuat pembatas tersendiri?

Jawaban:


Pengertian sutrah menurut istilah ialah menutup aurat, yaitu antara pusar hingga lutut bagi laki-laki dan seluruh tubuh bagi wanita. Ini termasuk syarat shalat, sehingga shalat itu tidak sah bagi orang yang mampu menutup auratnya tapi ia shalat dengan telanjang atau ada auratnya yang tampak. Jika memang tidak mampu menutup aurat maka itu dibolehkan, dan boleh juga shalat sambil duduk jika yang bisa menutup auratnya menuntut demikian.

Adapun sutrah yang berarti pembatas yang ditempatkan di depan orang yang shalat, hukumnya sunat, bukan wajib, yaitu dengan cara shalat di depan pagar atau dinding atau sesuatu yang lebih tinggi daripada lantai, seperti; tempat tidur atau kursi. Jika tidak ada, bisa dengan membuat garis lengkung seperti bulan sabit, ini bagi imam atau orang yang shalat sendirian. Hal ini perlu diperhatikan ketika sedang di lapangan, seperti dalam shalat Id atau dalam perjalanan.

Adapun di masjid, pada dasarnya tidak perlu, cukup dengan dinding-dinding masjid di setiap sisinya, bahkan cukup dengan karpet/sajadah yang tampak garis-garis shafnya, atau cukup dengan ujung sajadah/karpet yang dipakai alas shalat. Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya hal ini. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dalam kitab Sunan,



"Jika seseorang di antara kalian shalat menghadap pembatas, hendak-lah ia mendekat."(Abu Dawud, kitab ash-Shalah (695), an-Nasa'i, kitab al-Qiblah (2/62, 63), Ahmad (214)).

Dalam hadits lain disebutkan,



"Jika seseorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari manusia, lalu ada seseorang yang hendak lewat di mukanya, maka hendaklah ia mencegahnya. Jika orang tersebut enggan (nekat), maka perangilah, karena sesungguhnya itu adalah setan."(Al-Bukhari, kitab ash-Shalah (509), Muslim, kitab ash-Shalah (505)).

Wallahu a'lam.

Sumber:
Al-Lu'lu' Al-Makin, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 90.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.











Hukum Pergi Ke Masjid Yang Jauh Agar Bisa Shalat Di Belakang Imam Yang Bagus Bacaannya
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Di kota kami ada qari yang bagus bacaannya dan khusyu dalam shalatnya, banyak orang yang datang dari jauh agar bisa shalat bersamanya, seperti dari Riyadh, wilayah timur, Bahah dan sebagainya. Bagaimana hukum kedatangan mereka? Apa benar mereka termasuk dalam larang yang disebutkan dalam hadits, "Tidak boleh memaksakan perjalanan berat kecuali untuk menuju tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid al-Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)."[1] Mohon penjelasan Syaikh, jazakumullah khairan.

Jawaban:


Menurut kami, itu tidak apa-apa, bahkan itu termasuk perjalanan dalam rangka menuntut ilmu dan mendalami al-Qur'anul Karim serta mendengarkannya dari yang bagus bacaannya. Perjalanan tersebut tidak termasuk memaksakan perjalanan yang terlarang itu. Nabi Musa عليه السلام pernah menempuh perjalanan sulit ketika hendak menemui Khidhir عليه السلام di tempat bertemunya dua lautan untuk menuntut ilmu darinya. Para ahli ilmu dari kalangan sahabat dan generasi berikutnya menempuh perjalanan dari suatu daerah ke daerah lainnya dan dari satu negeri ke negeri lainnya demi menuntut ilmu. Dan Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

"Barangsiapa menempuh suatu perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga." [2]



_________
Footnote:
[1] HR al-Bukhari, kitab Fadhlush Shalah (1197).
[2] HR Muslim, kitab adz-Dzikr wad Du'a (2699).

Rujukan:
Majalah al-Buhuts, edisi 42, hal. 137-138, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya 1
Beberapa Ulama
Pertanyaan:
Saudara MAN dari Mesir menyebutkan dalam pertanyaannya: Sahkah shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan?

Jawaban:


Masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan tidak boleh dipakai untuk shalat, dan kuburan-kuburan itu harus dibongkar dan dipindahkan mayat-mayatnya ke pekuburan umum, setiap jasad dikubur kembali masing-masing dalam satu lobang tersendiri seperti layaknya kuburan. Tidak boleh ada kuburan dibiarkan di dalam masjid, tidak kuburan wali dan tidak pula yang lainnya, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah melarang dan memperingatkan hal tersebut, bahkan Allah telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena perbuatan itu. Diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Allah melaknat orang-orang yahudi dan nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah." (Al-Bukhari, kitab al-Mawaqit (1330), Muslim, kitab al-Masajid (529)).

Aisyah mengatakan, "Beliau memperingatkan terhadap apa yang telah mereka perbuat." (Muttafaq 'Alaih. al-Bukhari, kitab ash-Shalah (435, 436), Muslim, kitab al-Masajid (531)).

Ketika Ummu Salamah dan Ummu Habibah memberitahu Nabi صلی الله عليه وسلم tentang suatu gereja yang ada gambar-gambarnya, beliau bersabda,

أُولئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَو الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجٍدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ أُولئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ

"Mereka adalah kaum yang apabila seorang hamba yang sholih di antara mereka meninggal atau seorang laki-laki yang shalih, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah." (Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari, kitab ash-Shalah (434), Muslim, kitab al-Masajid (528)).

Beliau juga mengatakan,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ

"Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu menjadikan kuburan para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka menjadi tem-pat ibadah. Ketahuilah, maka janganlah kamu menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu." (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, dari Jundab bin Abdullah al-Bajali, kitab al-Masajid (532)).

Ini artinya, bahwa beliau صلی الله عليه وسلم melarang menjadikan kuburan sebagai masjid dan melaknat orang yang melakukannya serta mengabarkan bahwa orang yang melakukannya adalah sejahat-jahatnya makhluk. Maka yang wajib adalah berhati-hati terhadap hal ini.

Sebagaimana diketahui, bahwa shalat di kuburan berarti telah menjadikannya sebagai masjid (tempat sujud), dan barangsiapa yang membangun masjid di atasnya berarti telah menjadikannya sebagai masjid. Maka yang harus dilakukan adalah menjauhkan kuburan dari masjid dan tidak menguburkan mayat di dalam masjid, hal ini sebagai menifestasi perintah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan sikap waspada terhadap laknat yang telah dilontarkan dari Allah سبحانه و تعالى kepada yang membangun masjid di atas kuburan. Sebab, jika seseorang shalat di masjid yang ada kuburannya, setan akan menggodanya agar memohon kepada mayat yang ada di dalam kuburan tersebut, atau meminta pertolongan kepadanya, atau shalat dan sujud kepadanya, sehingga dengan demikian ia akan terjerumus ke dalam syirik besar. Inilah perbuatan kaum Yahudi dan Nasrani, maka kita harus menyelisihi mereka dan menjauhi cara dan perbuatan buruk mereka itu.
Jika kuburan itu sudah sangat lama, lalu akan dibangun masjid di atasnya, yang wajib dilakukan adalah menghancurkan dan menghilangkan kuburan itu terlebih dahulu, dan ini berarti perombakan. Demikian sebagaimana disebutkan oleh para ahlul ilmi untuk menghindari faktor-faktor penyebab kesyirikan dan untuk mencegah keburukan-keburukannya. Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk.

Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 388-389, Syaikh Ibnu Baz.


Pertanyaan:
Apa hukum shalat di masjid yang ada kuburannya?

Jawaban:

Jika masjid tersebut dibangun di atas kuburan, maka shalat di situ hukumnya haram, dan itu harus dihancurkan, sebab Nabi صلی الله عليه وسلم telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid, hal ini sebagai peringatan terhadap apa yang mereka perbuat.

Jika masjid itu telah dibangun lebih dulu daripada kuburannya, maka kuburan itu wajib dikeluarkan dari masjid, lalu dikuburkan di pekuburan umum, dan tidak ada dosa bagi kita dalam situasi seperti ini ketika membongkar kuburan tersebut, karena mayat tersebut di-kubur di tempat yang tidak semestinya, sebab masjid-masjid itu tidak halal untuk menguburkan mayat.

Shalat di masjid (yang ada kuburannya) yang dibangun lebih dulu daripada kuburannya hukumnya sah dengan syarat kuburan tersebut tidak berada di arah kiblat sehingga seolah-olah orang shalat ke arahnya, karena Nabi صلی الله عليه وسلم melarang shalat menghadap kuburan. (HR. Muslim, kitab al-Masajid (973) dengan lafazh, "Janganlah kalian duduk-duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.") Jika tidak mungkin membongkar kuburan tersebut, maka bisa dengan menghancurkan pagar masjidnya.

Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 234-235.

Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya 2
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Bagaimana hukum shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, atau di halamannya atau di arah kiblatnya?

Jawaban:


Jika di dalam masjid tersebut terdapat kuburan, maka tidak shah shalat di dalamnya. Baik kuburan tersebut di belakang orang-orang shalat maupun di depan mereka, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri mereka, hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Allah melaknat orang-orang yahudi dan nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah." (Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari, kitab al-Mawaqit (1330), Muslim, kitab al-Masajid (529)).

Dan berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ

"Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu menjadikan kubu-ran para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka menjadi tempat ibadah. Ketahuilah, maka janganlah kamu menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu." (HR. Muslim dalam kitab shahihnya, al-Masajid (532)).

Lain dari itu, karena shalat di kuburan itu termasuk sarana syirik dan sikap berlebihan terhadap penghuni kuburan, maka kita wajib melarang hal tersebut, sebagai pengamalan terhadap hadits tersebut di atas dan hadits-hadits lainnya yang semakna, serta untuk menutup pintu penyebab syirik.



Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 17-18, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Hukum adzan dengan memutar badan
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah dibolehkan menggerakkan tubuh pada saat membaca "hayya 'ealassalaah" (di adzan) - atau hanya dengan menggerakkan kepala saja?

Jawaban:


Dibolehkan bagi orang yang mengumandangkan adzan (muadzin) dengan tanpa alat pengeras suara untuk memutar badannya ke arah kanan dan kiri dengan kedua kaki tetap/tidak bergerak pada saat membaca "hayya 'ala". Hal ini diperbolehkan karena adzan yang demikian telah dilakukan oleh muadzin Rasulullah صلی الله عليه وسلم pada saat beliau صلی الله عليه وسلم berada di tempatnya dan karena hal ini adalah cara yang paling efektif untuk memanggil orang yang jauh dari mesjid agar mendengar panggilan shalat (adzan).

Kepunyaan Allah-lah Taufiq dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasulullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
question 2 from fatwa 9854 P58 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Hukum membaca ta'awudh
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah hukumnya membaca ta'awudh (meminta perlindungan dari gangguan syaitan) dan basmalah (membaca bismilah) sebelum adzan?

Jawaban:


Kami tidak mengetahui adanya dalil yang memerintahkan untuk membaca ta'awudh atau basmalah (membaca bismilah) sebelum adzan, baik bagi orang yang mengumandangkan adzan atau bagi orang yang mendengar adzan.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang tidak ada keterangan dari kami maka dia tertolak."

Dan dalam riwayat yang lain beliau mengatakan: "Barangsiapa membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada di dalamnya maka ia tertolak."

Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasullullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question 4 from fatwa 6321 P98 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Hukum shalat di rumah jika letak mesjid jauh
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Saya tinggal di sebuah rumah yang jauh dari mesjid sehingga saya harus pergi dengan menggunakan mobil untuk shalat. Jika saya berjalan kaki (ke mesjid), maka saya kadang-kadang tidak dapat shalat (sama sekali). Tetapi saya dapat mendengar adzan melalui alat pengeras suara. Dalam keadaan seperti ini apakah saya diperbolehkan untuk shalat di rumah atau shalat berjama'ah dengan 3 atau 4 orang tetangga di rumah lain? Semoga Allah membalas kebaikan anda.

Jawaban:


Kewajiban anda adalah melaksanakan shalat dengan saudara-saudara muslim di mesjid jika anda mendengar adzan di toko anda secara alami, yaitu adzan tanpa menggunakan alat pengeras suara. Jika anda berada jauh dari mesjid dan tidak dapat mendengar adzan tanpa alat pengeras suara, maka anda dibolehkan untuk shalat di rumah atau dengan beberapa orang tetangga anda. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang berkata kepada seorang yang buta yang meminta izin untuk shalat di rumahnya:"Apakah kamu mendengar seruan untuk shalat (adzan)?". Dia menjawab:"Ya", maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم berkata: "Jawablah panggilan itu" (HR. Muslim di dalam shahihnya).

Dan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: "Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) dan dia tidak mendatanginya (shalat) maka tidak ada shalat baginya kecuali bila ada udzur." (HR. Ibnu Majah, ad-Daraqutni, Ibnu Hibban dan al-Hakim dengan sanad yang shahih).

Tetapi jika anda menjawab seruan muazdhin sedangkan anda berada jauh dari mesjid dan anda sabar (mau) dengan bersusah-payah berjalan kaki atau pergi dengan mobil (ke mesjid), maka ada kebaikan buat anda dan ini disukai. Allah akan menulis pada catatan amal anda bahwa anda pergi ke mesjid dan kembali dari mesjid dengan jujur dan ikhlas. Ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم dimana beliau berkata kepada seorang yang tinggal jauh dari mesjid an-Nabawi tetapi orang tersebut tidak pernah ketinggalan shalat (berjama'ah) dengan Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Dikatakan kepada orang tersebut:"Jika kamu membeli seekor keledai maka kamu bisa menungganginya pada kegelapan malam dan di atas pasir yang panas." Dia berkata: "Aku tidak ingin rumahku berada di samping mesjid, karena aku ingin sekali langkah kakiku menuju dan pulang ke/dari mesjid dicatat ketika aku kembali kepada keluargaku." Rasulullah صلی الله عليه وسلم berkata: "Allah telah mengumpulkan semua (balasan kebaikan) buatmu". (HR. Muslim di dalam shahihnya).

Rujukan:
Kitaab ad-Da'wah, Volume Two, Question 103. Diterjemahkan dari:










Imam Menunggu Para Makmum Ketika Ruku'
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Apakah imam diharuskan menunggu jika mendengar ada yang datang ketika ia sedang ruku' atau tasyahhud akhir?

Jawaban:


Yang utama adalah tidak tergesa-gesa, yang yang utama pula adalah imam tidak terlalu lambat sehingga memberatkan bagi para makmum, karena mengutamakan para makmum yang lebih dulu datang itu lebih penting, maka selayaknya ia mengutamakan mereka. Tapi jika memperlahan sedikit agar yang baru datang itu mendapatkan ruku, sujud atau tasyahhud bersama imam, maka ini lebih utama bagi imam.




Rujukan:
Fatawa Islamiyyah, Syaikh Ibnu Baz (1/218).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Kacaunya Pikiran Ketika Shalat
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Ketika saya hendak shalat, saya sedang kacau pikiran dan banyak yang dipikirkan, dan rasanya saya tidak begitu sadar terha-dap diri saya sendiri kecuali setelah salam, lalu saya mengulanginya lagi, namun saya rasakan seperti semula, sampai-sampai saya lupa tasyahud awal dan tidak tahu lagi berapa rakaat yang telah saya kerjakan. Hal ini semakin menambah kekhawatiran dan rasa takut saya kepada murka Allah, kemudian saya sujud sahwi. Saya mohon bimbingannya, dan saya haturkan terima kasih.

Jawaban:


Bisikan itu berasal dari setan, yang wajib bagi anda adalah memelihara shalat, konsentrasi dan thuma'ninah dalam melaksanakannya sehingga anda dapat melaksanakannya dengan penuh kesadaran. Allah سبحانه و تعالى telah berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُون

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).

Ketika Nabi صلی الله عليه وسلم melihat orang yang tidak sempurna shalatnya dan tidak thuma'ninah dalam melaksanakannya, beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya, beliau pun bersabda,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

"Jika engkau hendak mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu', lalu berdirilah menghadap kiblat kemudian bertakbirlah (takbiratul ihram), lalu bacalah ayat al-Qur'an yang mudah bagimu, kemudian ruku'lah sampai engkau tenang dalam posisi ruku', lalu bangkitlah (berdiri dari ruku') sampai engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sampai eng-kau tenang dalam posisi sujud, lalu bangkitlah (dari sujud) sampai engkau tenang dalam posisi duduk. Kemudian, lakukan itu semua dalam semua shalatmu."

Jika anda sadar bahwa anda sedang shalat di hadapan Allah dan bermunajat kepadaNya, maka hal itu akan mendorong anda untuk khusyu' dan konsentrasi ketika shalat, setan pun akan menjauh dari anda sehingga selamatlah anda dari bisikannya. Jika dalam shalat anda terasa banyak godaan, meniuplah tiga kali ke samping kiri dan memohonlah perlindungan Allah tiga kali dari godaan setan yang terkutuk, insya Allah hal ini akan membebaskan anda. Nabi صلی الله عليه وسلم pernah menyuruh salah seorang sahabatnya melakukan itu, ketika orang tersebut berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan telah menyelinap di antara diriku dan shalatku serta bacaanku, ia mengacaukan shalatku." Jadi, anda tidak perlu mengulangi shalat karena godaan, akan tetapi hendaknya anda sujud sahwi jika anda telah melakukan apa yang diwajibkan itu. Misalnya, anda tidak melakukan tasyahhud awal karena lupa, atau tidak membaca tasbih ketika ruku' atau sujud karena lupa, atau anda ragu apakah tiga rakaat atau empat rakaat ketika shalat Zhuhur umpamanya, maka anggaplah itu tiga rakaat, lalu sempurnakan shalat, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam. Jika dalam shalat Maghrib anda ragu apakah baru dua rakaat atau sudah tiga rakaat, maka anggaplah itu baru dua rakaat lalu sempurnakan, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam, karena demikianlah yang diperintahkan Nabi صلی الله عليه وسلم.

Semoga Allah melindungi anda dari godaan setan dan menunjuki anda kepada yang diridhaiNya.



Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, hal. 76, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Makmum Yang Masbuq Berarti Shalat Sendirian Setelah Imam Salam, Maka Tidak Boleh Membiarkan Orang Lain Lewat Di Depannya
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa pembatas imam adalah pembatasnya makmum. Tapi jika imam telah salam, apakah batas tersebut masih berlaku bagi makmum yang masbuq, atau harus ada pembatas yang lain? Saya perhatikan, sebagian orang lewat di depan orang yang masbuq, sementara orang yang masbuq itu tidak melakukan apa-apa. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:



Jika imam telah salam dan makmum yang masbuq berdiri untuk melengkapi kekurangannya, dalam kondisi ini, si makmum shalat sendirian, maka ia harus mencegah orang yang lewat di depannya karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah memerintahkannya. Orang-orang yang membiarkan lewatnya orang lain di hadapannya, itu karena ketidaktahuan atau mereka mengira bahwa ketika mereka mendapatkan jamaah, lalu setelah imam salam, mereka masih tetap seperti ketika sedang bersama imam. Padahal sebenarnya, mereka telah terpisah karena imam sudah selesai. Maka seharusnya mereka mencegah orang yang lewat di depannya ketika menyelesaikan yang tertinggal.


Rujukan:
Kitab ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/92).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Masbuq Pada Saat Tahiyat Akhir
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Seseorang datang terlambat ke masjid, ia mendapati jamaah sedang tasyahhud akhir, apakah ia langsung ikut jamaah mereka atau menunggu jamaah berikutnya? Jika ia ikut jamaah tersebut pada tasyahhud akhir kemudian mendengar ada jamaah baru, apakah ia harus menghentikan shalatnya atau melanjutkannya?

Jawaban:


Jika yang datang saat imam tasyahhud akhir itu tahu bahwa ia akan mendapatkan jamaah berikutnya, maka hendaknya ia menunggu dan shalat bersama jamaah berikutnya, karena pendapat yang kuat adalah bahwa shalat berjamaah itu tidak dianggap kecuali dengan rakaat yang sempurna. Namun jika ia tidak berharap adanya orang lain yang bisa shalat bersamanya, maka yang lebih utama adalah ikut masuk dalam jamaah tersebut, walaupun pada saat tasyahhud akhir, karena mencapai bagian shalat tersebut masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

Jika ia ikut imam tersebut karena diperkirakan tidak akan menemukan jamaah berikutnya, lalu ternyata ada jamaah berikutnya dan ia mendengar jamaah berikutnya shalat, maka tidak mengapa ia menghentikan shalatnya lalu ikut shalat jamaah bersama mereka, atau bisa juga ia meniatkan shalat tersebut sebagai shalat sunat, lalu menyelesaikannya dua rakaat, kemudian ikut shalat bersama jama-ah yang kedua. Dan kalau pun ia melanjutkan shalatnya, maka tidak mengapa, ia boleh memilih di antara ketiga pilihan tersebut.



Rujukan:
Mukhtar Min Fatawa ash-shalah, hal. 66, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Meluruskan Shaf Hukumnya Sunnah
Syaikh Ibnu Utsaimin


Pertanyaan:
Saya melihat sebagian orang yang shalat berdiri agak mundur sedikit dari barisan, ada juga yang meletakkan tangannya di pinggang kiri. Bagaimana hukumnya? Apakah ada madzhab yang menyebutkan demikian?



Jawaban:


Meluruskan barisan hukumnya sunat, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan barisan hukumnya wajib. Sebab, ketika Nabi صلی الله عليه وسلم melihat dada seorang badui (agak maju dari barisan), beliau bersabda,



"Hendaklah kalian meluruskan barisan atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (717), Muslim, kitab ash-Shalah (436)).

Ini adalah ancaman, dan tidak ada ancaman kecuali untuk yang melakukan keharaman atau meninggalkan yang wajib. Pendapat yang mewajibkan lurusnya barisan shalat adalah pendapat yang kuat. Imam al-Bukhari dalam menyusun kitabnya, memberi judul hadits ini dengan "bab dosa orang yang tidak menyempurnakan barisan." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan bab (75) (2/245, al-Fath)).

Adapun meletakkan tangan di pinggang sebelah kiri, tidak ada dasarnya. Saya tidak mengetahui dasar tersebut di dalam as-Sunnah dan tidak pula dalam perkataan para ahlul ilmi.



Sumber:
Kitab Ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/91-92).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.











Memakan Bawang Putih Atau Bawang Merah Sebelum Shalat
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya, karena sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia." Apakah ini berarti bahwa orang yang memakan barang-barang tersebut tidak boleh shalat di masjid hingga berlalu waktu makannya, atau berarti memakan barang-barang tersebut tidak dibolehkan bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat secara berjamaah?

Jawaban:


Hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan makruhnya seorang Muslim mengikuti shalat berjamaah selama masih ada bau barang-barang tersebut, karena akan mengganggu orang yang di dekatnya, baik itu karena memakan kuras (bawang daun), bawang merah atau bawang putih atau barang lainnya yang menyebabkan bau tidak sedap, seperti mengisap rokok, sampai baunya hilang. Perlu diketahui, bahwa rokok itu, selain baunya yang busuk, hukumnya juga haram, karena bahayanya banyak dan keburukannya sudah jelas. Ini termasuk dalam cakupan firman Allah سبحانه و تعالى kepada Nabi صلی الله عليه وسلم,

"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (Al-A'raf: 157), dan firmanNya,

"Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka". Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al-Ma'idah: 4).

Sebagaimana diketahui, bahwa rokok termasuk hal-hal yang tidak baik, dengan begitu rokok termasuk yang diharamkan terhadap umat ini. Adapun batasan tiga hari, saya tidak tahu adanya dalil tentang ini.
Dan hanya Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.

Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, hal. 81-82, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Memanjangkan (bacaan) adzan.
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah hukumnya tatweel (pemanjangan bacaan) di dalam adzan?

Jawaban:


Kami tidak mengetahui satupun dalil tentang pemanjangan (bacaan) adzan. Yang disunnahkan adalah muadzin melaksanakan adzan sesuai dengan yang disyariatkan dengan tidak melebihkan dan menguranginya.

Kepunyaan Allah-lah Taufiq dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasulullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question 2 from fatwa 4160 P62 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Memberi Kode Kepada Imam Agar Menunggu
Beberapa Ulama
Pertanyaan:
Kami lihat sebagian orang yang masuk masjid berdehem, yaitu ketika imam sedang ruku', dengan maksud agar kedengaran oleh imam sehingga menunggunya, atau mengatakan, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." Lalu berjalan cepat agar bisa mendapatkan rakaat tersebut bersama imam. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:


Perbuatan ini bertolak belakang dengan etika masuk masjid, karena dalam hal ini seorang Muslim diperintahkan untuk berjalan menuju shalat dengan tenang, apa yang didapatinya, itulah yang diikuti, adapun yang tertinggal, maka disempurnakan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

"Jika kalian mendatangi shalat, maka hendaklah dengan tenang (tidak tergesa-gesa), apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah." [1]

Dalam hadits lain disebutkan, bahwa beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

"Jika kalian mendengar iqomah, berangkatlah untuk shalat, dan hendaklah kalian tenang (tidak tergesa-gesa) dan sopan. Janganlah kalian terburu-buru, apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah." [2]

Adapun melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan Allah, maka tidak ada kebaikan padanya. Jika itu baik, tentu orang-orang sebelum kita telah lebih dulu melakukannya. Lain dari itu, perbuatan tersebut bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat dan mengganggu kekhusyu'an mereka.

Fatawa Mu'ashirah, Ibnu Jibrin, hal. 21.


Pertanyaan:
Saya mendengar ada orang yang jika masuk ke masjid ketika imam sedang ruku, ia mengatakan, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." agar imam memanjangkan rukunya sehingga ia bisa mendapatkan rakaat tersebut. Apakah ini boleh?


Jawaban:

Ini tidak ada dasarnya dan tidak pernah terjadi pada masa sahabat -rodhiallaahu'anhu-, tidak pula berasal dari petunjuk mereka. Lain dari itu, perbuatan ini bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat ber-sama imam, padahal mengganggu orang yang sedang shalat itu terlarang, karena gangguan tersebut bisa melengahkan mereka.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Nabi صلی الله عليه وسلم menemui para sahabatnya, saat itu mereka sedang shalat dengan menyaringkan bacaan, lalu beliau melarangnya, beliau bersabda,
لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

"Janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan al-Qur'an kepada sebagian yang lain." [3]

Dalam hadits lain disebutkan,
لاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءةِ

"Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian kalian mengencangkan bacaan al-Qur'an kepada sebagian sebagian lainnya." [4]

Ini menunjukkan bahwa setiap yang dapat mengganggu para makmum dalam shalat adalah terlarang, karena hal tersebut dapat mengganggu dan menghalangi di antara orang yang shalat dan shalatnya.

Adapun imam, para ahli fiqih -rohimahullah- mengatakan, "Jika merasakan adanya orang yang baru masuk untuk shalat, maka hendaknya ia menunggu, terutama pada rakaat terakhir, karena dengan rakaat terakhir itulah bisa diperolehnya pahala jamaah." Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat shalat berarti ia telah mendapatkan shalat tersebut." [5]

Tapi jika hal tersebut bisa memberatkan bagi makmum lainnya, maka tidak perlu menunggu, sebab mereka lebih berhak daripada yang baru datang, karena mereka lebih dulu masuk.


Mukhtarat Min Fatawa ash-Shalah, hal. 73, Syaikh Ibnu Utsaimin.



_________
Footnote:
[1] Al-Bukhari, kitab al-Adzan (635), Muslim, kitab al-Masajid (603).
[2] Al-Bukhari, kitab al-Adzan (636), Muslim, kitab al-Masajid (603).
[3] HR. Malik, kitab Shalat (29).
[4] HR. Abu Dawud, kitab Shalat (1332).
[5] Al-Bukhari, kitab al-Mawaqit (580), Muslim, kitab al-Masajid (607).
Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Mendengar Adzan Tapi Tidak Datang Ke Masjid
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Apa hukumnya orang yang mendengar adzan tapi tidak pergi ke masjid, hanya saja ia mengerjakan seluruh shalatnya di rumah atau di kantor?

Jawaban:


Itu tidak boleh. Yang wajib baginya adalah memenuhi seruan tersebut, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

"Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah (793), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (2064), al-Hakim (1/246)).

Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?", ia menjawab, "Rasa takut (tidak aman) dan sakit."
Diriwayatkan, bahwa seorang buta datang kepada Rasulullahصلی الله عليه وسلمdan berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku?" kemudian beliau bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ

"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (Dikeluarkan oleh Muslim, kitab al-Masajid (653)).

Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi صلی الله عليه وسلم tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjamaah. Tapi jika tempat tinggalnya jauh dari masjid sehingga tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa melaksanakannya di rumahnya. Kendati demikian, jika ia mau sedikit bersusah payah dan bersabar, lalu shalat berjamaah di masjid, maka itu lebih baik dan lebih utama baginya.

Rujukan:
Syaikh Ibnu Baz, Fatawa 'Ajilah Limansubi ash-Shihhah, hal. 41-42.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Menempatkan Dupa Di Depan Orang-orang Yang Shalat
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Apa hukum meletakkan dupa (tempat pembakaran) gaharu di depan orang-orang yang shalat di masjid?

Jawaban:


Tidak apa-apa. Ini tidak termasuk katagori makruh karena berkiblat kepada api sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli fiqih. Mereka yang memakruhkan karena seolah-olah mengha-dap ke arah api, alasannya, karena ini menyerupai kaum majusi yang ibadahnya menyembah api. Perlu diketahui, bahwa kaum majusi itu tidak menyembah api dengan cara seperti shalat. Dari itu, tidak mengapa menempatkan dupa untuk membakar gaharu di depan orang-orang yang shalat. Boleh juga menempatkan penghangat ruangan elektrik di depan shaf, apalagi jika hanya di tempatkan di depan para makmum, bukan di depan imam.

Rujukan:
Kitab Ad-Da'wah (5), Ibnu Utsaimin (92/89-90).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Pembacaan al-Qur'an Pada Hari Jum'at Dan Bacaan-bacaan Lainnya Sebelum Shubuh Dengan Pengeras Suara
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apa hukum membaca al-Qur'an pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at dengan menggunakan pengeras suara. Jika dikatakan kepada mereka yang melakukannya, "Ini tidak ada tuntunannya." jawabnya, "Apa anda ingin melarang bacaan al-Qur'an?" Apa pula pendapat Anda sekalian tentang bacaan-bacaan sebelum adzan Shubuh dengan menggunakan pengeras suara. Jika dikatakan kepada yang melakukannya, "Ini tidak ada tuntunannya, " ia akan mengatakan, "Ini perbuatan baik karena bisa membangunkan orang lain untuk shalat Shubuh."?

Jawaban:


Kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan hal tersebut di masa Rasulullah صلی الله عليه وسلم, kami juga tidak mengetahui ada sahabat yang melakukan seperti itu. Demikian juga bacaan-bacaan yang dikuman-dangkan melalui pengeras suara beberapa saat sebelum adzan Shu-buh. Dengan demikian, semua itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat. Telah diriwayatkan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa mengada-adakah sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak." [1]

Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatawa al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta' (2/353).


Pertanyaan:
Bolehkah pembaca al-Qur'an berdiri membacakan al-Qur'an di masjid pada hari Jum'at sebelum datangnya imam/khatib, lalu ketika imam/khatib datang ia duduk, kemudian imam/khatib menyampaikan khutbahnya. Apakah ini termasuk etika dan sunat-sunat Jum'atan atau termasuk bid'ah?

Jawaban:
Kami tidak mengetahui adanya dalil yang menunjukkan berdirinya pembaca al-Qur'an pada hari Jum'at sebelum datangnya imam/khatib sementara para jamaah mendengarkannya, lalu ketika imam/khatib datang, pembaca itu berhenti membaca. Prinsipnya dalam ibadah adalah tidak ada, kecuali yang ada tuntunannya. Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." [2]


Fatawa al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' (2/357).




_________
Footnote:
[1] Al-Bukhari, kitab ash-Shulh (2697), Muslim, kitab al-Aqdhiyah (1718).
[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab al-Aqdhiyah (18, 1718).
Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Shalat Dengan Berdiri Di Antara Dua Tiang Masjid
Syaikh Muqbil
Pertanyaan:
Apakah hukumnya shalat dengan berdiri di antara tiang-tiang masjid, dan apakah hal ini diperbolehkan apabila dalam keadaan terdesak/darurat?

Jawaban:

Hal ini (berdiri diantara tiang masjid) adalah sesuatu yang tidak disukai pada saat melaksanakan shalat berjamaah. Anas berkata: "Hal itu tidak disukai oleh mereka." Akan tetapi apabila masjid dalam keadaan penuh sesak, Insya Allah, tidaklah mengapa untuk melakukannya.

Kemudian dalam mengerjakan shalat sendirian (bukan shalat berjamaah), maka tidak ada salahnya untuk melakukan shalat dengan berdiri di antara dua tiang masjid, karena para sahabat selalu bersegera menuju tiang-tiang masjid, apakah untuk shalat di belakangnya atau shalat di antara tiang-tiang tersebut. Dan ini tidaklah dilarang dalam shalat sendirian.
Rujukan:
Qom' al-Mu'aanid, volume 2, page 576-577. Diterjemahkan dari /fis/index.cfm?scn=fd&ID=223










Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Tipis
Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Banyak orang yang mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian transparan yang menampakkan warna kulitnya, sementar di balik pakaian tersebut hanya mengenakan celana pendek yang tidak melebihi pertengahan pahanya, sehingga sebagian pahanya keliha-tan dari belakang, Bagaimana hukumnya?

Jawaban:


Hukum shalat mereka adalah seperti orang yang shalat hanya dengan mengenakan celana pendek, karena pakaian transparan yang menampakkan warna kulit tidak menutupi aurat, jadi seolah-olah tidak mengenakannya. Karena itu, shalat mereka tidak sah menurut pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad -rohimahullah-. Demikian ini, karena yang wajib atas laki-laki yang mengerjakan shalat adalah menutup auratnya antara pusar hingga lutut. Ini batas minimal dalam merealisasikan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid." (Al-A'raf: 31).

Maka yang wajib atas mereka adalah dua pilihan: Mengenakan celana panjang yang menutupi antara pusar hingga lutut, atau tetap mengenakan celana pendek tersebut tapi luarnya diganti dengan baju yang tidak transparan sehingga tidak tampak kulitnya.

Perbuatan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan ini adalah salah dan berbahaya, karena itu, hendaknya mereka bertaubat kepada Allah سبحانه و تعالى dari hal tersebut, lalu berusaha menyempurnakan penutupan auratnya ketika shalat. Semoga Allah سبحانه و تعالى memberikan kebaikan dan petunjuk kepada kita, saudara-saudara kita dan semua kaum Muslimin, yaitu kebaikan yang dicintai dan diridhaiNya. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.
Rujukan:
Fatawa Mu'ashirah, hal. 16-17, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Shalat Di Dalam Pesawat
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Jika saya sedang bepergian dengan mengendarai pesawat, lalu tiba waktu shalat, bolehkah saya shalat di dalam pesawat atau tidak?

Jawaban:


Alhamdulillah. Jika waktu shalat sementara pesawat sedang terbang pada rutenya dan dikhawatirkan habisnya waktu shalat tersebut sebelum mendarat di salah satu air port, maka para ahlul ilmi telah sepakat akan wajibnya pelaksanaan shalat sesuai kemampuan dalam ruku', sujud dan menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (At-Taghabun: 16), dan berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Jika aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah apa yang kalian sanggupi." (HR. Muslim, kitab al-Hajj (1337)).

Adapun jika ia mengetahui bahwa ia akan tiba sebelum habisnya waktu shalat sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakannya, atau shalatnya termasuk yang bisa dijamak dengan shalat lainnya, seperti shalat Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya, atau ia tahu bahwa pesawat akan landing sebelum habisnya waktu shalat yang kedua, yaitu sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakan keduanya, maka jumhur ahlul ilmi membolehkan pelaksanaannya di dalam pesawat karena wajibnya perintah pelaksanaan ketika masuknya waktu shalat. Sebagian ahlul ilmi dari golongan Maliki berpendapat tidak sah melaksanakannya di dalam pesawat, karena syarat sahnya shalat adalah di atas tanah atau di atas sesuatu yang berhubungan langsung dengan tanah, seperti kendaraan atau kapal, hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

جُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

"Tanah ini telah dijadikan tempat sujud bagiku dan dijadikan alat bersuci." (Al-Bukhari, kitab at-Tayammum (335), Muslim, kitab al-Masajid (521)).

Wallahu waliyut taufiq.


Rujukan:
Fatawa Islamiyah, Al-Lajnah Ad-Da'imah, (1/227).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Sunnah
Beberapa Ulama
Pertanyaan:
Apa hukum orang yang melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan shalat sunat?

Jawaban:


Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa dalam suatu perjalanan beliau shalat dengan sekelompok para sahabatnya, yaitu shalat khauf dua rakaat, kemudian beliau shalat lagi dua rakaat dengan sekelompok lainnya, shalat beliau yang kedua adalah shalat sunat. Disebutkan juga dalam ash-Shahihain, dari Muadz, bahwa suatu ketika ia telah mengerjakan shalat Isya bersama Nabi صلی الله عليه وسلم, kemudian ia pergi lalu mengimami shalat fardhu kaumnya, shalat mereka adalah shalat fardhu, sedangkan shalat Muadz saat itu adalah shalat sunat. Wallahu walyut taufiq.

Rujukan:
Majalah ad-Da'wah, edisi 1033, Syaikh Ibnu Baz.


Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang mendapati orang lain sedang shalat sirriyah, ia tidak tahu apakah orang tersebut sedang shalat fardhu atau shalat sunat? Dan apa yang harus dilakukan oleh seorang imam yang ketika orang ini masuk masjid ia mendapatinya sedang shalat, apakah ia perlu memberi isyarat agar orang tersebut ikut dalam shalatnya jika itu shalat fardhu, atau menjauhkannya jika ia sedang shalat sunat?


Jawaban:

Yang benar adalah, tidak masalah adanya perbedaan niat antara imam dengan makmum, seseorang boleh melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunat, sebagaimana yang dilakukan oleh Muadz bin Jabal pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم, yaitu setelah ia melaksanakan shalat Isya bersama Nabi صلی الله عليه وسلم, ia pulang kepada kaumnya lalu shalat mengimami mereka shalat itu juga. Bagi Muadz itu adalah shalat sunat, sedangkan bagi kaumnya itu adalah shalat fardhu.

Jika seseorang masuk masjid, sementara anda sedang shalat fardhu atau shalat sunat, lalu ia berdiri bersama anda sehingga menjadi berjamaah, maka itu tidak mengapa, anda tidak perlu memberinya isyarat agar tidak masuk, tapi ia dibiarkan masuk shalat berjamaah bersama anda, dan setelah anda selesai ia berdiri menyempurnakannnya, baik itu shalat fardhu ataupun shalat sunat.

Rujukan:
Mukhtar Min Fatawa ash-Shalah, hal. 66-67, Syaikh Ibnu Utsaimin.


Pertanyaan:
Apa hukum shalat sunat bermakmum kepada yang shalat fardhu?


Jawaban:

Boleh, jika imam tersebut orang yang paling mengerti tentang kitabullah dan paling mengerti tentang hukum-hukum shalat. Demikian juga jika orang tersebut adalah imam rawatib di masjid tersebut, tapi ia telah mengerjakan shalat tersebut dengan berjamaah, lalu ketika datang ke masjidnya, ternyata mereka belum shalat, maka ia boleh shalat bersama mereka.

Dalilnya adalah kisah Muadz bin Jabal, yang mana ia mengimami kaumnya dari golongan Anshar karena ia merupakan orang yang paling mengerti tentang kitabullah dan paling mengerti tentang hukum-hukum, saat itu, ia datang kepada Nabi صلی الله عليه وسلم pada waktu Isya lalu shalat bersama beliau, kemudian kembali kepada kaumnya dan mengimami mereka shalat Isya. (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (700, 701), Muslim, kitab ash-Shalah (465)).

Saat itu ia shalat sunat dan mereka shalat fardhu. Sebagian ulama memakruhkan hal ini karena perbedaan niat antara imam dengan makmum, tapi yang benar hal ini dibolehkan karena adanya dalil yang jelas. Wallahu a'lam.

Rujukan:
Al-Lu'lu' al-Makin, Ibnu Jibrin, hal. 112-113.

Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Shalat Jumat Di Tempat Kerja
Syaikh Muqbil


Pertanyaan:
Apakah dibolehkan untuk melaksanakan shalat Jumat di tempat kerja dan khutbah dilakukan oleh salah seorang yang kerja di tempat itu?



Jawaban:

Jika mereka sulit untuk melaksanakan shalat Jumat di mesjid, maka mereka sebaiknya menentukan/mencari tempat khusus yang dapat digunakan (secara terus-menerus/konstan) sebagai mesjid sehingga mereka bisa shalat di sana. Tetapi jika mereka sulit untuk mendapatkan tempat tersebut, maka mereka dapat shalat di tempat kerja mereka, dan hal ini tidaklah mengapa karena tidak ada dalil yang pasti yang mengatakan bahwa shalat Jumat tidak sah kecuali bila dilaksanakan secara berjamaah atau di dalam sebuah mesjid.



Sumber:
Diterjemahkan dari /fis/index.cfm?scn=fd&ID=225











Shalat Ketika Makanan Telah Dihidangkan atau Saat Menahan Dua Hadats
Syaikh Muqbil


Pertanyaan:
Hadits: "Tidak ada shalat saat kehadiran makanan, dan tidak pula menahan dua hadats." Berdasarkan hadits tersebut, apakah seseorang yang melaksanakan shalat dengan keadaan demikian shalatnya menjadi tidak sah?



Jawaban:

Hal ini tergantung dari keadaan diri orang tersebut. Jika dengan menahan kedua hadats tersebut menjadikan dirinya tidak menyadari apa yang diucapkan ketika shalat, maka shalatnya adalah tidak benar (sah). Tetapi jika dia bisa menahan tanpa mengganggu shalatnya maka shalatnya adalah benar (sah), tetapi tetap hal ini (menahan dua hadats) adalah tidak disukai (untuk dilakukan).



Sumber:
Tuhfatul Mujeeb fee as-ilah alhaadhir wal-ghareeb, page 108. Diterjemahkan dari /fis/index.cfm?scn=fd&ID=104













Shalat Menghadap Penghangat Ruangan
Syaikh Ibnu Jibrin
Pertanyaan:
Apa hukum shalat di depan penghangat ruangan?

Jawaban:


Alat ini digunakan untuk menghangatkan suhu udara yang dingin, biasa dipakai di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Menu-rut saya, shalat di depan penghangat hukumnya sah, karena itu bukan nyala api yang biasa disembah oleh kaum majusi, tapi alat ini adalah alat yang diaktifkan oleh listrik atau gas atau lainnya. Jadi tidak ada nyala api.
Rujukan:
Al-Lu'lu' Al-Makin, Ibnu Jibrin, hal. 103.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Shalat Qoblal Subuh Saat Terlambat Subuhan
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Jika seseorang terlambat shalat subuh, apakah dia sebaiknya shalat sunat 2 rakaat (sebelum) subuh atau tidak?

Jawaban:

Sesungguhnya telah diriwayatkan dalam sebuah hadist bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم tertidur dalam suatu perjalanan dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan para sahabat tidak bangun sampai setelah matahari terbit. Kemudian adzan dikumandangkan untuk shalat subuh dan dia صلی الله عليه وسلم shalat sunah 2 raka'at (sebelum shalat wajib 2 raka'at) dan kemudian shalat wajib 2 raka'at. ( Bukhari 2/66, Muslim 681).

Semoga Allah melimpahkan Taufiq-Nya dan salawat dan salam dilimpahkan bagi Rasullullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question five from fatwa 6576 P13 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Shalat Tarawih
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apa hukum shalat tarawih dan bagaimana caranya? Ada perbedaan pendapat di antara kami yang cukup alot; Sebagian orang memulai shalat tarawih dengan ucapan صلاة القيام أثابكم الله (mari shalat qiyam -Ramadhan- semoga Allah memberikan pahala kepada ka-lian), lalu shalat dua rakaat, kemudian berdiri dan mengucapkan اللهم صل وسلم على سيدنا محمد dengan suara keras. Ucapan ini diucapkan oleh imam lalu ditirukan oleh para makmum di belakangnya. Sebelum melaksanakan dua rakaat kedua, imam membacakan surat al-Ikh-lash dan al-Muawwidzatain (al-Falaq dan an-Nas) dengan suara keras, demikian juga para makmum di belakangnya. Selesai shalat tarawih, dibacakan lagi seperti itu tiga kali. Ketika kami sampaikan bahwa itu tidak ada tuntunannya, jawabnya, "Ini perbuatan baik dan bid'ah hasanah." Apa benar ada bid'ah hasanah dalam Islam? Bagai-mana pendapat para Syaikh tentang hal ini dan bagaimana pelaksana-an sunnah tersebut? Jazakumullah khairan.

Jawaban:


Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. wa ba'du.

Ucapan jamaah صلاة القيام أثابكم الله, ucapan اللهم صل وسلم على سيدنا محمد dengan suara keras, dan ucapan makmum dalam menirukannya, serta pembacaan surat al-Ikhalsh dan al-Muawwidzatain (al-Falaq dan an-Nas) dengan suara nyaring setelah dua rakaat pertama, semua itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak." [1]

Dalam suatu khutbah Jum'at beliau bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah hal baru yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (hal baru yang diada-adakan) adalah sesat." [2]

Dengan demikian, maka semua bid'ah adalah sesat, sebagaimana yang disabdakan Nabi صلی الله عليه وسلم. Jadi, tidak ada bid'ah hasanah dalam Islam.




_________
Footnote:
[1] Al-Bukhari, kitab ash-Shulh (2697), Muslim, kitab al-Aqdhiyah (1718).
[2] HR. Muslim, kitab al-Jumu'ah (867), Imam Ahmad (3/310), Ibnu Majah (no. 36).

Rujukan:
Fatawa al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta' (2/352-353).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Standar Panjang Dan Pendeknya Shalat Adalah Sunnah, Bukan Selera
Beberapa Ulama
Pertanyaan:
Ada makmum yang mengeluh kepada saya karena saya terlalu lama berdiri setelah ruku (yakni saat i'tidal). Saat itu memang saya membaca dzikirnya dengan lengkap, yaitu (dst. ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه), apakah ada doa ringkas yang bisa dibaca saat bangkit dari ruku sehingga kami tidak memberatkan para makmum?

Jawaban:


Yang wajib bagi imam dan setiap orang yang melaksanakan suatu tugas adalah mengikuti as-Sunnah (tuntunan Rasulullah صلی الله عليه وسلم), bukan mengikuti seseorang sehingga bertolak belakang dengan as-sunnah. Jika terpaksa dan kondisi menuntut, tidak apa-apa sekali-sekali meringankan sedikit, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم. Adapun dalam kondisi yang berkesinambungan, maka mengikuti as-Sunnah menjadi tuntutan dalam mengimami. Karena itu, teguhlah dalam melaksanakan as-Sunnah dan beritahukan para makmum, bahwa, jika mereka bersabar dalam hal ini, niscaya akan mendapat pahala orang-orang yang bersabar dalam mentaati Allah. Jika memperpendek dan memperpanjang bacaan diserahkan kepada kecenderungan manusia, maka umat ini akan berpecah belah menjadi beberapa kelompok, karena yang terasa sedang bagi sebagian orang bisa terasa panjang bagi sebagian yang lain. Maka hendaknya anda berpedoman kepada as-Sunnah, dan itu mudah untuk diketahui, alhamdulillah.

Untuk itu, kami nasehatkan kepada setiap imam yang mengimami kaum Muslimin di masjid-masjid agar merujuk pada bacaan yang telah dituliskan oleh para ulama tentang sifat shalat Nabi صلی الله عليه وسلم, di antaranya adalah kitabus shalah karya Ibnu Qayyim, buku ini cukup terkenal, juga yang beliau sebutkan dalam buku zaadul ma'ad fi huda khairil 'ibad.

Kitab Ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/90-91).


Pertanyaan:
Kami jamaah masjid besar di universitas al-Malik Sa'ud, dan kami rata-rata mahasiswa, yang kami lakukan seputar belajar dan ujian. Kami sering berpeda pendapat dengan imam masjid mengenai panjang dan pendeknya bacaan shalat. Apakah masalah meringankan bacaan yang ditunjukkan oleh as-Sunnah bersifat relatif? Bagaimana ukuran yang tepat dalam setiap shalat, terutama dalam shalat jahr (shalat yang bacaannya nyaring)?

Jawaban:

Ya, tentang ringannya bacaan shalat sifatnya relatif. Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم dan bacaan selain beliau serta petunjuk beliau tentang bacaan shalat. Sebab larangan memanjangkan bacaan adalah kisah Muadz yang saat itu telah melaksanakan shalat Isya' bersama Nabi صلی الله عليه وسلم yang biasanya menunda pelaksanaan shalat Isya hingga sekitar dua hingga tiga jam setelah terbenam matahari. Setelah itu Muadz kembali kepada kaumnya di pedalaman, dan baru shalat bersama mereka setelah satu jam kemudian.

Perlu diketahui, bahwa orang-orang yang shalat bersama Muadz itu mayoritas para pekerja di ladang dan kebun mereka, tentunya mereka sudah capai dan lelah sepanjang siang, tubuh mereka pun sudah kepayahan. Sudah barang tentu panjangnya bacaan menjadi beban tersendiri bagi mereka. Memang Muadz kadang memanjangkan bacaan, adakalanya ia membaca surat al-Baqarah. Mereka itulah yang mengadukan perkara ini kepada Nabi صلی الله عليه وسلم, lalu beliau pun melarangnya dan memerintahkannya untuk bersikap lembut kepada mereka, yaitu dengan membaca surat-surat yang sedang;(إذا السماء انشقت، إذا السماء انفطرت، إذا الشمس كورت، والسماء ذات البروج، سبح اسم ربك الأعلى) [1] dan sebagainya, semua itu tidak mengapa untuk kondisi tersebut.

Adapun meringankan yang berlebihan, maka itu suatu kesalahan, karena tidak ada dalilnya dalam hadits. Sedangkan yang ada dalilnya adalah, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم memanjangkan bacaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Anas -rodhiallaahu'anhu-, "Beliau menyuruh kami meringankan bacaan, dan beliau mengimami kami dengan membaca ash-shaffat." (HR. An-Nasa'i dari Anas, hadits shahih).[2]

Tidak diragukan lagi, bahwa ini menjelaskan tindakan beliau, dan tindakan beliau itu menjelaskan perkataannya. Kesimpulannya, bahwa surat ash-shaffat itu termasuk ringan. Jadi beliau menyuruh untuk meringankan bacaan, yaitu agar tidak membaca surat-surat yang panjang, seperti; surat an-Nahl, Yusuf, at-Taubah dan sebagainya. Dengan demikian, surat ash-shaffat termasuk bacaan yang ringan.

Terkadang Nabi صلی الله عليه وسلم shalat mengimami mereka dengan membaca antara 60 sampai 100 ayat dalam shalat Shubuh [3], yaitu dari antara surat-surat yang sedang, bukan dari surat-surat yang pendek, seperti; surat al-Ahzab (73 ayat), al-Furqan, an-Naml, an-Ankabut dan sebagainya. Surat-surat tersebut berkisar antara 60 hingga 100 ayat. Jika membacanya, maka itulah bacaan yang sedang. Jika para makmum tidak kuat, maka bisa dengan surat-surat yang ringan. Dalam shalat Shubuh bisa membaca surat Qaf hingga al-Mursalat. Inilah bacaan yang pertengahan, tidak boleh diingkari orang yang mengikuti cara ini.

Al-Lu'lu' Al-Makin, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 119-120.



_________
Footnote:
[1] Al-Bukhari, kitab al-Adzan (700, 701), lihat (no. 705, 711, 6106), Muslim, kitab ash-Shalah (465).
[2] An-Nasa'i, kitab al-Imamah (826), Ahmad (4781, 4969, 6435).
[3] Muslim, kitab ash-Shalah (461).

Rujukan:
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Tata Cara Melaksanakan Shalat Di Dalam Pesawat
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Bagaimana seorang Muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu? Atau menunggu sampai tiba di air port, jika akan tiba pada akhir waktu shalat?

Jawaban:


Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannnya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukannya sambil duduk, mengisyaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesang-gupanmu." (At-Taghabun: 16).

Dan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم pada Imran bin Al-Hushain di kala ia sedang sakit

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring." (HR. al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, kitab Taqshirus Shalah (1117)).

Dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa'i dengan sanad yang sha-hih, dengan tambahan:

فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا

"Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang."

Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah mendarat, maka itu pun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada. Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut. Wallahu waliyut taufiq.



Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 40-41, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Tata-cara iqamah untuk shalat sendirian
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah iqamah dilakukan dengan suara keras atau pelan bagi orang yang shalat sendirian?

Jawaban:


Tata-cara melaksanakan iqamah adalah dengan suara keras. Jadi barangsiapa yang melaksanakan iqamah untuk shalat maka dia sebaiknya melakukan dengan suara yang keras, tanpa melihat apakah dia shalat sendirian atau tidak.

Kepunyaan Allah-lah Taufiq dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasulullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Question 3 from fatwa 11636 P76 volume 6 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Tergesa-gesa Untuk Shalat
Syaikh Ibnu Baz


Pertanyaan:
Banyak kaum Muslimin yang berambisi untuk tidak ketinggalan apa pun dalam shalat. Jika mereka menuju masjid dan mendengar imam sudah mulai shalat, mereka berlari kecil masuk ke masjid untuk segera shalat. Apa hukum perbuatan atau fenomena ini?



Jawaban:


Tergesa-gesa dan terburu-buru hukumnya makruh dan tidak layak, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,


إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

"Jika kalian mendatangi shalat, maka hendaklah dengan tenang (tidak tergesa-gesa), apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (635), Muslim, kitab al-Masajid (603)).

Dalam lafazh lain disebutkan, bahwa beliau bersabda,


إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

"Jika kalian mendengar iqomah, berangkatlah untuk shalat, dan hendaklah kalian tenang (tidak tergesa-gesa) dan sopan. Janganlah kalian terburu-buru, apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (636), Muslim, kitab al-Masajid (602)).

Sunnahnya adalah datang menuju shalat dengan berjalan yang disertai kekhusyu'an tanpa tergesa-gesa, berjalan santai seperti biasa dengan khusyu dan tenang hingga mencapai shaf. Ini yang hukumnya sunat.

Sumber:
Fatawa Islamiyyah, Ibnu Baz (1/218-219).
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.











Tertidur saat khutbah Jumat dan shalat Jum'at
Lajnah Daimah
Pertanyaan:
Apakah hukumnya buat orang-orang yang tertidur pada saat khutbah Jum'at dan mereka tidak bangun sampai iqamah dikumandangkan?

Jawaban:


Segala puji semata-mata bagi Allah dan semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada utusan-Nya صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Selanjutnya, sesungguhnya tidur yang tidak nyenyak (dimana kesadaran tidak hilang sepenuhnya) tidaklah membatalkan wudhu'.
Hal ini berdasarkan dalil bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم biasa untuk memperlambat shalat isya sehingga kepala para sahabat terangguk/tertunduk tidur, kemudian mereka (para sahabat) shalat dengan tidak berwudhu' lagi.

Semoga Allah melimpahkan Taufiq-Nya dan semoga salawat dan salam tercurahkan buat Rasullullah Muhammad صلی الله عليه وسلم, keluarganya dan para sahabatnya.

Rujukan:
Lajnah Daimah. Fatwa 12885 P263 volume 5 Fataawa of the Permanent Committee. Diterjemahkan dari:










Wajibnya Pelaksanaan Shalat Dengan Berjamaah
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Wajibkah pelaksanaan shalat dengan berjamaah?

Jawaban:


Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada yang merasa berkepentingan dari kalangan kaum Muslimin, semoga Allah menunjukkan mereka ke jalan yang diridhaiNya serta membimbing saya dan juga mereka ke jalan orang-orang yang takut dan takwa kepadaNya. Amin.

Amma ba'du,

Telah sampai kabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjamaah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia صلی الله عليه وسلم.

Allah سبحانه و تعالى banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjamaah. Allah pun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malasan dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin.

Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdi-rilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (Al-Baqarah: 238).

Bagaimana bisa diketahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, sementara dalam pelaksanaannya bertolak belakang dengan saudara-saudaranya, bahkan menyepelekannya?

Allah سبحانه و تعالى berfirman,‏
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).

Ayat yang mulia ini adalah nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan ikut serta bersama orang-orang yang melaksa-nakannya. Jika yang dimaksud itu hanya sekedar melaksanakannya (tanpa perintah berjamaah), tentu tidak akan disebutkan di akhir ayat ini kalimat (dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'), karena perintah untuk melaksanakannya telah disebutkan di awal ayat.

Allah سبحانه و تعالى berfirman,‏
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa': 102).

Allah سبحانه و تعالى mewajibkan pelaksanaan shalat secara berjamaah dalam suasana perang, lebih-lebih dalam suasana damai. Jika ada se-seorang yang dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah, tentu barisan yang siap menghadap serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkannya. Namun ternyata tidak demikian, karena melaksanakan shalat secara berjamaah termasuk kewajiban utama, maka tidak boleh seorang pun meninggalkannya.

Disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ

"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut."
(Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).

Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, ia berkata, "Aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya atau orang sakit. Bahkan yang sakit pun ada yang dipapah dengan diapit oleh dua orang agar bisa ikut shalat (berjamaah)." Ia juga mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah mengajarkan kepada kita sunanul huda, dan sesungguhnya di antara sunanul huda itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (654)).

Lain dari itu ia juga mengatakan, "Barangsiapa yang ingin bertemu Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat-shalat yang diserukan itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian صلی الله عليه وسلم sunanul huda, dan sesungguhnya shalat-shalat tersebut termasuk sunanul huda. Jika kalian shalat di rumah kalian seperti shalatnya penyimpang ini di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Tidaklah seseorang bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian berangkat ke suatu masjid di antara masjid-masjid ini, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkahnya dan dengannya diangkat satu derajat serta dengannya pula dihapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya, dan sungguh seseorang pernah dipapah dengan diapit oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf (shalat)." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (257, 654)).

Masih dalam Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?" Nabi صلی الله عليه وسلم bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ

"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (653)).

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan wajibnya pelaksanaan shalat di rumah-rumah Allah yang diizinkan Allah untuk diserukan dan disebutkan namaNya.

Maka yang wajib bagi setiap Muslim adalah memperhatikan perkara ini, bersegera melaksanakannya dan menasehati anak-anaknya, keluarganya, tetangga-tetangganya dan saudara-saudaranya sesama Muslim, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan RasulNya dan sebagai kewaspadaan terhadap larangan Allah dan RasulNya, serta untuk menghindarkan diri dari menyerupai kaum munafiqin yang mana Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang buruk dan kemalasan mereka dalam melaksankan shalat. Allah سبحانه و تعالى berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (An-Nisa': 142-143).

Lain dari itu, karena tidak melaksanakannya secara berjamaah termasuk sebab-sebab utama meninggalkannya secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekufuran dan kesesatan serta keluar dari Islam berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)- HR. Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir -rodliallaahu'anhu-).

Juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." ( HR. Ahmad (5/346), at- Tirmidzi (2621), an-Nasa'i (1/222), Ibnu Majah (1079)).

Banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang agungnya shalat dan wajibnya memelihara pelaksanaanya.

Setelah tampak kebenaran ini dan setelah jelas dalil-dalilnya, maka tidak boleh seorang pun mengingkarinya hanya karena ucapan si fulan dan si fulan, karena Allah سبحانه و تعالى telah befirman,

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kem-balikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa': 59).

Dalam ayat lain disebutkan,‏

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).

Kemudian dari itu, banyak sekali manfaat dan maslahat yang terkandung di balik shalat berjamaah, di antaranya yang paling nyata adalah; saling mengenal, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran, sebagai dorongan bagi orang yang meninggalkannya, sebagai pelajaran bagi yang tidak tahu, sebagai pengingkaran terhadap kaum munafiqin dan cara menjauhi gaya hidup mereka, menampakkan syiar-syiar Allah di antara para hambaNya, mengajak ke jalan Allah سبحانه و تعالى dengan perkataan dan perbuatan, dan sebagainya.

Semoga Allah menunjukkan saya dan anda sekalian kepada yang diridhaiNya, dan kepada kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, serta melindungi kita semua dari keburukan jiwa dan perbuatan kita, dan dari menyerupai kaum kuffar dan munafiqin. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa bawakatuh. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.



Rujukan:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Tabshirah Wa Dzikra, hal. 53-57.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Waktu Mustajab Pada Hari Jum'at
Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Apakah penghujung waktu Ashar pada hari Jum'at merupakan waktu mustajab? Dan apakah seorang Muslim diharuskan berada di masjid saat itu dan wanita diharuskan berada di rumah?

Jawaban:


Pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum'at ada dua:

Pertama; Waktu tersebut adalah setelah Ashar hingga terbenamnya matahari bagi orang yang duduk menunggu tibanya shalat Maghrib, baik di masjid ataupun di rumah dengan berdoa kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah saat yang paling dekat untuk diperkenankan. Tapi bagi laki-laki tidak boleh shalat Maghrib atau lainnya di rumah, kecuali karena udzur yang dibenarkan syariat, sebagaimana yang telah diketahui dari dalil-dalil syariat.

Kedua; Waktu tersebut adalah dari saat duduknya imam atau khathib di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum'at hingga selesainya pelaksanaan shalat Jum'at. Doa di dua waktu ini lebih dekat untuk dikabulkan.

Kedua waktu tersebut merupakan waktu yang paling mustajab pada hari Jum'at, keduanya berdasarkan hadits-hadits shahih yang menunjukkannya. Selain itu, perlu kiranya mengusahakan saat mustajab tersebut pada waktu-waktu lainnya (selain yang disebutkan), karena karunia Allah itu sangat luas.

Adapun waktu-waktu mustajab dalam semua shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat adalah ketika sujud, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

"Sedekat-dekatnya hamba kepada Rabbnya adalah ketika ia sedang su-jud, maka perbanyaklah doa (di dalam sujud)." [1]

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas -rodhiallaahu'anhu-, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

"Adapun saat ruku' maka agungkanlah Rabb سبحانه و تعالى, sedangkan ketika sujud maka bersungguh-sungguhlah untuk berdoa, karena itu lebih layak untuk dikabulkan bagi kalian." [2]



_________
Footnote:
[1] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari hadits Abu Hurairah y, dalam bab Shalat (482).
[2] HR Muslim, kitab ash-Shalah (479).

Rujukan:
Majalah al-Buhuts, edisi 34, hal. 142-143, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.










Wanita Mengumandangkan Azan
Syaikh Muqbil


Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan secara hukum syari bagi seorang wanita untuk mengumandangkan adzan?



Jawaban:

Hal ini tidak diperbolehkan oleh hukum syar'i karena suara wanita adalah fitnah dan Allah سبحانه و تعالى berfirman: "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Al Ahzab 32).



Orang-orang yang membolehkan adalah Ash-Shawkaanee and Muhammad Siddeeq Hasan Khan. Mereka berdua mengatakan: "Dalilnya adalah keumuman dari hukum syar'i". Tetapi yang benar adalah secara hukum syar'i wanita tidak diperbolehkan untuk mengumandangkan azan.



Sumber:
Ghaaratul ashritah, 'alaa ahlil jahl was-safsatah, volume 2, page 488. Diterjemahkan dari /fis/index.cfm?scn=fd&ID=109











Seorang Pekerja Tidak Boleh Menyepelekan Shalat, Apa Pun Alasannya
Syaikh Ibnu Jibrin
Pertanyaan:
Ada fenomena buruk pada sebagian para pekerja, yaitu menyepelekan shalat. Apa nasehat anda untuk mereka dan orang-orang yang seperti mereka?

Jawaban:


Tidak diragukan lagi, bahwa shalat merupakan tiang agama Islam dan merupakan rukun yang paling utama setelah syahadatain. Menyepelekannya berdosa besar dan merupakan salah satu karakter kemunafikan, sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى tentang kaum munafiqin,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

"Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (At-Taubah: 54).

Malas di sini artinya menyepelekan atau dengan perasaan berat saat melaksanakannya. Allah pun telah mengancam orang yang melalaikannya, sebagaimana firmanNya,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنصَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5).

Yakni menunda-nunda pelaksanaannya hingga keluar dari waktunya, atau tidak melaksanakannya kecuali setelah lewat waktunya. Adapun orang-orang beriman, mereka senantiasa memelihara shalat dan membiasakan diri melaksanakannya disertai dengan kekhusyu'an dan melaksanakannya dengan sempurna sebagaimana yang ditetapkan disertai dengan thuma'ninah, kecintaan dan dengan sepenuh hati.

Kami nasehatkan kepada setiap Mukmin, baik pekerja maupun lainnya, hendaknya tidak menyepelekan, tidak meremehkan dan tidak acuh tak acuh terhadap shalat, ini sebagai sikap kehati-hatian agar tidak menyandang sifat-sifat kaum munafiqin yang telah diancam Allah dengan dasar neraka yang paling bawah.



Rujukan:
Syaikh Ibnu Jibrin, Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala' wal 'Amilin, hal. 32.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Kategori: Mahasiswa - Pekerja










Produced by SalafiDB 3.0 (freeware)
http://salafidb.googlepages.com

0 comments:

Post a Comment