Apaboleh laki-laki memandikan perempuan yang bukan istrinya

Apaboleh laki-laki memandikan perempuan yang bukan istrinya
Apaboleh suami memandikan jenazah istrinya ?

Hukum Apaboleh suami memandikan jenazah istrinya ?.
Sebelum masuk kepembahasan pertanyaan berikut telah kami bahas siapa saja yang berhak mengurus jenazah ?..

http://seputar-jenazah.blogspot.com/2015/12/yang-berhak-memandikan-jenajah-laki.html

Yang Berhak Memandikan Jenajah Laki-laki Maupun Perempuan ?

Informasi Mengenai Fatwa-Fatawa Seputar Jenazah Lengkap, dan Tata Cara Pengurusan Jenazah, Semoga Bermanfaat, Terima kasih.

Pertanyaan pertama :

Lelaki dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah, baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan?

Jawaban :

Jenajah Laki-laki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam [4]. Demikian pula dengan Asma` binti Umais Radhiyallahu ‘anhu, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu. [5]

Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan. Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz [6], maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya. Yang Berhak Memandikan Jenajah Laki-laki Maupun Perempuan

Pertanyaan ke dua :

Lelaki & wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak Memandikan Jenajah, baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing. apakah tindakan seperti ini dibenarkan? (Shalih al-Fauzan, al-Muntaqa, 1/78)

Jawaban: 

Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. 

Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. 

Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh memandikan yang lainnya. '

Karena Ali bin abi Thalib Radhiyallohu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. (Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; jg al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh al-albani. Lht pula, Irwa` al-Ghalil, 3/162). '

Demkian pula dengan asma` binti Umais Radhiyallohu ‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘anhu. (Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; jg al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411)

Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan.

Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh mlht aurat yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz (Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh & belum bisa membedakan mana yang benar & mana yang buruk), maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum lelaki & perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.

Dinukil dari al-Muqorrib li ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz, penyusun : ‘abdul ‘aziz bin Muhammad al-‘arifi, dimuroja’ah oleh : ‘abdullah bin ‘abdurrahman al-Jibrin, Penerbit : Dar ath-Thayibah, Riyadh, 1418 H/1997 M.

Memperhatikan permohonan fatwa No. 2653 tahun 2004 yang berisi:
Mohon penjelasan mengenai tata cara memandikan jenazah. Dan apakah seorang lelaki boleh memandikan jenazah perempuan yang bukan istrinya?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Hukum memandikan jenazah adalah fardu kifayah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. mengenai seorang jamaah haji yang terjatuh dari untanya hingga meninggal dunia. Beliau bersabda, 

اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْهِ وَلاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّياً

"Mandikanlah dirinya dengan air dan daun bidara. Serta kafanilah dengan kedua lembar pakaiannya dan jangan kalian tutup kepalanya. Karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Muslim).

Seluruh tubuh jenazah pertama-tama dimandikan dengan air mutlak setelah kotoran di dalam perutnya dikeluarkan dengan cara ditekan. Najis yang menempel di tubuhnya juga dibersihkan. Orang yang memandikan hendaknya berniat untuk mem memandikan jenazah. Dianjurkan agar jenazah diletakkan di tempat yang agak tinggi, sehingga lebih mudah untuk dimandikan. Jenazah juga harus diberi penutup aurat jika ia bukan anak kecil. Orang yang memandikan juga hendaknya adalah orang yang dapat dipercaya sehingga tidak menyebarkan rahasia jika ia melihat aib pada tubuh jenazah. Rasulullah saw. bersabda,

لِيَغْسِلْ مَوْتَاكُمْ الْمَأْمُوْنُوْنَ

"Hendaklah jenazah-jenazah kalian dimandikan oleh orang yang dapat dipercaya." (HR. Ibnu Majah).

Lalu jenazah dimandikan dengan air dan sabun, atau dengan air yang diberi wangi-wangian, dengan dimulai dari bagian tubuh sebelah kanan. Jika dipandang perlu, maka boleh dimandikan lebih dari tiga kali dengan syarat jumlahnya ganjil, seperti lima atau tujuh. Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada para perempuan yang memandikan puterinya, Zainab r.a.,

اغْسِلْنَهَا ثَلاَثاً أَوْ خَمْساً أَوْ سَبْعاً أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ

"Mandikanlah dia tiga, lima atau tujuh kali, atau lebih banyak dari itu jika kalian memandangnya perlu." (HR. Bukhari).

Setelah dimandikan, badan jenazah diberi wangi-wangian, seperti kafur dan sejenisnya.

Tidak boleh memandikan orang yang dihukumi sebagai syahid dunia dan akhirat, yaitu orang yang meninggal disebabkan pertempuran melawan orang kafir. Begitu pula tidak wajib memandikan janin yang gugur jika keluar dalam keadaan mati meskipun jasad tubuhnya telah terbentuk. Begitu pula tidak wajib menshalatkan janin ini sebelum dikuburkan.

Orang yang paling berhak memandikan jenazah laki-laki secara berurutan adalah ayahnya, lalu kakeknya, lalu anak lelakinya, lalu cucu lelaki dari anak lelakinya, lalu saudara lelakinya, lalu anak lelaki dari saudara lelakinya, lalu pamannya, lalu anak lelaki pamannya. Hal itu karena mereka adalah orang yang paling berhak untuk menshalatinya. Seorang istri juga dibolehkan untuk memandikan suaminya berdasarkan hadits Aisyah r.a. bahwa Abu Bakar r.a. berwasiat kepada istrinya, Asma` bintu Umais r.a., untuk memandikannya jika ia meninggal.

Sedangkan jenazah perempuan, maka yang memandikannya adalah kaum perempuan. Dan yang paling berhak memandikannya adalah perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan yang haram untuk dinikahi jika dia laki-laki. Lalu kerabat perempuan yang tidak haram untuk dinikahi jika dia laki-laki, lalu perempuan asing. Suami juga berhak memandikan istrinya jika meninggal dunia. Jika seorang perempuan tidak memiliki suami dan tidak terdapat kaum perempuan maka jenazah tersebut ditayamumkan oleh lelaki asing dengan memakai kain atau sejenisnya yang menghalangi kulit keduanya saling bersentuhan.

Dalil yang menunjukkan kebolehan seorang suami memandikan jenazah istrinya atau sebaliknya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., ia berkata, "Pada suatu hari Rasulullah saw. pulang dari menghadiri jenazah di Baqi'. Ketika itu, kepala saya sakit dan saya mengeluh kepada beliau, "Aduh, kepalaku sakit." Beliau lalu menimpali, "Justru kepalaku yang yang sakit." Beliau melanjutkan,

مَا ضَرَّكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِيْ فَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ

"Apa yang menyusahkanmu jika kamu meninggal lebih dahulu sebelumku, lalu aku akan memandikanmu dan mengkafanimu, lalu menshalatkanmu dan menguburkanmu?" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Kalimat: "lalu aku memandikanmu" dalam hadits di atas menunjukkan bahwa seorang istri boleh dimandikan oleh suaminya. Dengan demikian, jika suami yang meninggal dunia lebih dahulu, maka berdasarkan kiyas istrinyalah yang memandikannya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam

Sumber Referensi :

[1] Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar asapnya akan mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.
[2] Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. allahu a`lam.
[3] Shalih al-Fauzan, al-Muntaqa, 1/78
[4] Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; juga al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh al-albani. Lihat pula, Irwa` al-Ghalil, 3/162
[5] Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; juga al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411.
[6] Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang buruk.
[7] Lihat, Manar as-Sabiil, 1/166
[8] HR. abu Dawud, 2/176 dan at-Tirmidzi, 2/132
[9] Syaikh abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62
[10] HR. abu Dawud, 2/62-63; at-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, dan Imam ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh al-albani.
[11] HR. abu Dawud, 2/62-63; at-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, dan Imam ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh al-albani.

Sumber : Referensi Kitab lainnya:

[1]. Ayatullah Bahjat: Kalau tidak berada dalam kondisi darurat.
[2]. Ayatullah Khui dan Ayatullah Zanjani: Diharamkan bagi pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria.
[3]. Ayatullah Tabrizi: Tidak dibenarkan pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria; Ayatullah Zanjani dan Ayatullah Shafi: (Supaya tidak memandikannya apabila tidak berada dalam kondisi darurat); Ayatullah Siistani: Pria tidak dapat memandikan wanita non-mahram dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria non-mahram. Istri dan suami dapat memandikan satu sama lain.
[4]. Ayatullah Makarim: Pria tidak dapat memandikan wanita dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria kecuali (berstatus) suami dan istri yang masing-masing dapat memandikan diri satu sama lain. Meski mengikut prinsip ihtiyâth mustahab baiknya tidak melakukan hal ini apabila tidak berada dalam kondisi darurat.
[5]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jil. 1, hal. 319-320, Masalah 559.

Dan Dari sumber Kitab Lain :

1. Musnad Ahmad Ibnu Hambal. Juz: 6. Hal. 228
2. Al-Iqna’ Fi Chilli Alfadzi Abi Syuja’. Juz: 1. Hal. 181
3. Raudlah Al-Thalibin. Juz: 2. Hal. 103
4. Syarch Al-Wajiz. Juz: 5. Hal. 125
5. Al-Iqna' Li Al-Syarbini. Juz: 1. Hal. 200
6. Nihayah Al-Zain. Juz: 1. Hal. 151
7. Chasyiayah Al-Bujairimi. Juz: 2. Hal. 269.

0 comments:

Post a Comment