FATWA-FATWA LENGKAP MENGENAI IHTIDHAR (SEKARAT)


FATWA-FATWA MENGENAI IHTIDHAR (SEKARAT)

Soal:
1.Syaikh yang terhormat, apa yang harus kami lakukan terhadap seseorang yang sedang sekarat?
Jawab:
Jika ada seorang muslim yang sakit, maka sangat dianjurkan bagi para kerabat dan seseorang yang paling dekat dengannya untuk hadir di situ. Yang demikian itu agar para kerabat bisa melaksanakan hal-hal yang disyariatkan kepada mereka terhadap orang sekarat ini. Berupa, memejamkan kedua matanya, mentalqin, menutupi jasadnya, atau melakukan hal-hal lainnya.
Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata,
"وَجِّهُوْنِيْ إِلىَ الْقِبْلَةِ"[1]
"Hadapkan saya ke arah kiblat!"
Demikiannya seperti disebutkan Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni.
Maksudnya, membaringkannya di atas samping kanan dengan menghadap kiblat.
Dari Syadad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((إِذَا حَضَرْتُمْ مَوْتَاكُمْ فَأَغْمِضُوا الْبَصَرَ فَإِنَّ الْبَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوحَ وَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّهُ يُؤَمَّنُ عَلَى مَا قَالَ أَهْلُ الْمَيِّتِ))[2]
"Jika kalian menghadiri orang yang sekarat, maka pejamkanlah matanya, sebab mata itu mengikuti ruh. Dan ucapkanlah yang baik-baik saja, karena setiap yang diucapkan keluarga mayit pasti diamini oleh para Malaikat."
Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Yang diucapkan saat seseorang meninggal adalah,
((بِسْمِ اللهِ وَعَلَى وَفَاةِ رَسُوْلِ اللهِ))
"Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan atas wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam."
Juga dianjurkan bagi keluarga mayit mentalqin (mengajarinya) dengan mengucapkan kalimat syahadat. Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ))[3]
"Talqin (ajarilah) orang-orang yang sekarat dari kalian dengan ucapan Laa ilaaha illallaah."
            Dan diriwayatkan pula dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang semisal dengannya.
Sedangkan dari Mu`adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, beliau bersabda,
((مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ))[4]
"Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah laa ilaaha illallaah, ia pasti masuk Surga."

2.Sebagian ulama menyebutkan bahwa mentalqin orang sekarat dengan ucapan "Laa ilaaha illallaah" termasuk sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pertanyaan kami: Bagaimana caranya melakukan hal itu?
Jawab:
Yaitu diucapkan kepadanya, "Katakan: ‘Laa ilaaha illallah’." Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ))[5]
"Talqin (ajarilah) orang-orang yang sekarat dari kalian dengan ucapan ‘Laa ilaaha illallaah’."
Tetapi, jika orang yang sekarat itu mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’, kemudian ia berbicara dengan hal-hal lain yang bukan kalimat syahadat, maka wajib bagi orang-orang yang hadir pada saat itu untuk mentalqinnya kembali. Dan hendaknya orang yang mentalqin ini tidak menyusahkan orang yang sekarat tersebut. Dalam artian, ia mengajarinya mengucap kalimat syahadat dengan lemah lembut dan pelan-pelan, agar orang yang hendak meninggal tersebut tidak merasa bosan. Jika bosan, maka ia bisa merasa jengkel sehingga sulit mengatakannya, atau bisa mengucapkannya tapi dengan rasa benci karena beratnya ucapan yang diajarkan kepadanya.

3.Kapan saya mulai mentalqin kalimat syahadat kepada orang yang sekarat?
Jawab:
Mentalqin orang yang sekarat dimulai ketika tanda-tanda kematian sudah tampak padanya. Pada saat inilah ia ditalqin dengan kalimat syahadat. Yaitu, jika kematiannya sudah benar-benar dekat. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ))[6]
"Talqin (ajarilah) orang-orang yang sekarat dari kalian dengan ucapan ‘Laa ilaaha illallaah’."
Maksud hadits di atas adalah: Jika kematian sudah menghampirinya, sehingga perkataan paling terakhir yang ia ucapkan adalah "Laa ilaaha Illallaah." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ))[7]
"Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah ‘laa ilaaha illallaah’, ia pasti masuk Surga."

4.Jika saya hadir di samping orang yang sekarat, apakah disyariatkan kepada saya untuk mengajarkan hal-hal lain selain mentalqinnya dengan kalimat syahadat?
Jawab:
Tidak! Tidak ada ucapan apapun yang diajarkan kepada orang yang sekarat selain kalimat syahadat. Dan tidak pula diriwayatkan suatu ucapan tertentu bagi para hadirin yang ada di samping orang yang sekarat, ataupun bagi orang yang sekarat itu sendiri, selain kalimat syahadat.
Tetapi, jika di saat sekarat ini, para hadirin mengingatkannya dengan hal-hal yang membuat dia menjadi ber-husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau mengingatkannya dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat luas, atau mengingatkannya dengan hal-hal lain yang serupa, maka itu tidaklah mengapa.
Sebagaimana tindakan Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu terhadap ayahnya. Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu, "Anda telah melakukan perbuatan ini, anda telah menyaksikan peperangan ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah bersaksi atas diri anda dengan hal ini." Sehingga, Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu dan siapapun yang sekarat menghadap kepada Rabb-nya dalam keadaan ber-husnudzan kepada-Nya. Maka, hal ini -insya Allah- tidak apa-apa.

5.Jika saya berada di samping seseorang yang sekarat, kemudian saya mentalqinnya dengan kalimat syahadat, tetapi setelah mengucapkan kalimat syahadat tadi ia membicarakan hal lain, maka apakah saya harus mengulangi talqin tersebut?
Jawab:
Benar! Jika orang yang sekarat mengucapkan perkataan lain setelah ia mengucapkan kalimat syahadat, maka orang yang di sampingnya harus mengulang kembali talqin itu dengan penuh lemah lembut. Sehingga, omongan yang paling terakhir diucapkannya adalah kalimat syahadat.

6.Banyak dari kaum muslimin yang biasa menghadapkan orang yang sekarat ke arah kiblat saat nyawa keluar dari tubuhnya. Apakah hal ini memang disyariatkan?
Jawab:
Para ahli fiqh dari seluruh madzhab membenarkan perbuatan ini. Mereka mempunyai banyak dalil. Di antaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam masalah Al-Kabaair (dosa-dosa besar),
((وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا))[8]
"Dan termasuk dosa besar adalah menghalalkan baitul haram[9]. Padahal ia adalah kiblat kalian, hidup dan mati."
            Diantara dalilnya juga, hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu bahwa saat hendak meninggal dia berkata,
"وَجِّهُوْنِيْ إِلىَ الْقِبْلَةِ"[10]
"Hadapkan saya ke arah kiblat!"
Karena itulah, sangat dianjurkan untuk menghadapkan orang yang lagi sekarat ke arah kiblat, sebagaimana ia dihadapkan kesana saat dikuburkan nanti.

7-Apakah kita disyariatkan mentalqin anak kecil yang sekarat?
Jawab:
Pada dasarnya, talqin itu disyariatkan pada orang-orang mukallaf (yang sudah baligh), yang dosa dan kesalahan mereka sudah dicatat. Bukan pada anak kecil atau orang gila. Sebab anak kecil, ia belum sampai pada umur yang dosa dan kesalahannya dicatat. Sedangkan orang gila, ia telah kehilangan akal yang menjadi tempat bergantungnya taklif (tanggungan).
Meskipun demikian, tetap disyariatkan kepada kita, untuk mentalqin anak kecil yang bisa berfikir, serta mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebagaimana disyariatkan kepada kita untuk mengajari mereka sejak kecil perihal ushuluddin (dasar-dasar agama), masalah-masalah aqidah, syarat-syarat dan rukun-rukun islam. Jadi! Saat ia sekarat, ia kembali diingatkan dengan perkara-perkara tadi, agar ia hidup dan mati tegak di atas perkara-perkara tersebut.

8-Bolehkah bagi kaum muslimin untuk menghadiri dan mentalqin orang kafir yang sekarat?
Jawab:
Yang benar, jika ada seorang kafir yang sedang sekarat, maka tidaklah mengapa bagi seorang muslim untuk berada di sampingnya, mengajaknya masuk Islam, atau memberinya dorongan untuk masuk Islam pada akhir hayatnya.
Karena pada saat seperti ini, ia sudah melihat tanda-tanda kematian dengan jelas. Dan bisa jadi, yang menahannya untuk masuk Islam sebelumnya adalah; rasa dengki, persaingan, takut kehilangan jabatan, atau kawatir kehilangan kepemimpinan. Yang itu semua akan musnah dengan kematian.
Juga karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah menghadiri seorang pemuda yahudi yang sedang sekarat, pemuda itu pernah menjadi pelayan beliau. Maka beliau mengajaknya masuk Islam. Ayah sang pemuda yahudi itu berkata, "Turutilah permintaan Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa Salam."
Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam keluar dari rumah sang pemuda sambil berkata,
((اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ هَدَاهُ ِللْإِسْلاَمِ))[11]
"Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah Memberinya hidayah dengan masuk Islam."
Atau seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Adapun orang yang dikenal sangat menentang Islam, bersikeras atas kekafirannya, tidak ada cara lain untuk membujuknya, dan dakwah Islam tidak berguna terhadapnya, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menghadiri saat-saat sekaratnya, dan secara umum tak ada faedah dalam mentalqinnya. Allahu a`lam.

 


[1] Lihat Manaar As-Sabiil, 1/158; dan Irwa` Al-Ghalil, 3/152. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini mursal -pen.

[2] HR. Ahmad no. 16513, juga Ibnu Ibnu Majah dan Al-Hakim. Al-Hakim menghukumi shahih atas hadits ini.

[3] HR. Muslim no. 1523, At-Tirmidzi no. 898, dan yang lainnya.

[4] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz no. 2709, juga Al-Hakim, 1/351; Al-Hakim menshahihkan hadits ini, dan pernyataannya disetujui oleh Adz-Dzahabi.

[5] HR. Muslim no. 1523, At-Tirmidzi no. 898, dan yang lainnya.

[6] HR. Muslim no. 1523, At-Tirmidzi no. 898, dan yang lainnya.

[7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz no. 2709; juga Al-Hakim, 1/351; Al-Hakim menshahihkan hadits ini, dan pernyataannya disetujui oleh Adz-Dzahabi.

[8] HR. Abu Dawud, no. 2875; dan An-Nasai, 2/165. Al-Albani menghukuminya hasan. Lihat, Irwa` Al-Ghalil, 3/154

[9] Maksud menghalalkan baitul haram, adalah tidak lagi menghormati keharaman baitul haram. Padahal di baitul haram ini, siapapun diharamkan untuk berbuat maksiat, membunuh siapapun, mengambil barang temuan, mencabut pepohonan, dan memburu binatang-binatangnya. Allahu a`lam.

[10] Lihat, Manaar As-Sabiil, 1/158; dan Irwa` Al-Ghalil, 3/152. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini adalah mursal.

[11]HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Janaiz, no. 1268 dari Anas bin Malik t. Juga diriwayatkan oleh Ahmad no. 12896; sedangkan lafadz hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari adalah sebagai berikut,

عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ. فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ, فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: ((أَسْلِمْ)) فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ, فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَأَسْلَمَ, فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: ((الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ))

"Dari Anas bin Malik t dia berkata, ada seorang pemuda yahudi yang biasa melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam kemudian dia sakit. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam datang menjenguknya. Beliau duduk di samping kepala pemuda yahudi itu. Nabi berkata kepadanya, 'Masuk Islamlah!' lalu pemuda itu melihat ayahnya yang saat itu ada di sampingnya. Ayahnya berkata, turutilah Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Maka pemuda itupun masuk Islam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam keluar dari rumahnya sambil berkata, 'Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menyelamatkannya dari api Neraka'."

0 comments:

Post a Comment