Apa boleh seorang pria memandikan jenazah ibu mertuanya?

Hukum Laki-laki Memandikan Jenazah Ibu mertuanya

Apaboleh anak perempuan memandikan jenazah ayahnya

Hukum Laki-laki Memandikan Jenazah Ibu mertuanya?.
Sebelum masuk kepembahasan pertanyaan berikut, dibawah ini akan kami ulang fatwa-fatwa seputar jenazah  dan siapa saja yang berhak mengurus jenazah ?..

https://seputar-jenazah.blogspot.com/2015/12/fatwa-fatwa-lengkap-tentang-memandikan.html

FATWA-FATWA TENTANG MEMANDIKAN DAN MENGKAFANI JENAZAH

Bagaimana cara memandikan jenazah itu? Dan bagaimana cara mengkafaninya?

Jawab:
Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Dan yang paling utama melakukannya, adalah seseorang yang sudah diwasiati oleh si mayit untuk itu. Setelah itu kerabatnya yang terdekat, kemudian siapa saja yang masih ada hubungan rahim dengannya.

Seorang lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan suaminya. Wanita juga boleh memandikan anak kecil lelaki yang belum berumur tujuh tahun. Dan seorang lelaki boleh memandikan perempuan kecil yang belum berumur tujuh tahun.

Tetapi seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia mahramnya sendiri. Dan seorang lelaki tidak boleh memandikan wanita, meski wanita itu adalah ibu atau putrinya, ia hanya boleh mentayamumi mereka dengan debu.

Seorang muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula mempersiapkan apapun dalam kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya ke dalam tanah jika tidak ada seorang kafirpun yang menguburnya.

Jika kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup auratnya jika berumur lebih dari tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah antara pusar hingga lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan menutupinya dari pandangan orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di dalam rumah yang beratap, atau jika memungkinkan, jenazah tersebut dimandikan di dalam tenda.

Kemudian wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain hadir dalam pemandian ini, selain seseorang yang membantu kita dalam proses pemandian. Disini niat adalah syarat. Sedang mengucapkan basmalah adalah suatu kewajiban. Setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga mendekati posisi duduk. Kita memijit perutnya pelan-pelan, pada saat ini kita banyak-banyak menyiramkan air, juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu gaharu[1] jika dikawatirkan ada sesuatu yang keluar dari perutnya.

Lalu kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah tadi dan menggosok-gosok kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh aurat jenazah yang sudah berumur tujuh tahun keatas kecuali dengan penghalang. Dan lebih utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh lainnya kecuali dengan sarung tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan kita.

Setelah itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk membersihkan gigi-gigi, dan kedua lobang hidungnya, tanpa memasukkan air ke dalam mulut atau hidung. Kemudian kita membasuhi seluruh anggota wudhunya.

Kemudian kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau bercampur sabun pembersih. Lalu kita membersihkan kepala, serta jenggotnya dengan busa air tersebut. Dan membasuh sekujur tubuhnya dengan sisa air tadi. Kemudian kita membasuh bagian samping kanan, lalu samping yang kiri, dimulai dari kulit lehernya. Kemudian bahu hingga akhir telapak kakinya.

Lalu kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita mengangkat sisi bagian kanannya sambil membasuh punggung dan pantatnya. Lalu membasuh sisi bagian kiri juga seperti itu. Kita tidak boleh menelungkupkan jenazah di atas wajahnya. Setelah itu kita menyiramkan air ke sekujur tubuhnya.

Sedangkan yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi seperti ini, memulai yang kanan dari setiap sisi tubuhnya, dan terus mengurutkan tangan pada perutnya pada setiap pemandian. Jika tiga kali pengurutan belum juga membersihkan perut, maka kita tambah hingga perut itu benar-benar bersih, meski hal itu kita lakukan hingga tujuh kali. Dan disunnahkan menghentikan pengurutan ini pada bilangan yang ganjil.

Saat memandikan, menggunakan air panas adalah sangat dimakruhkan. Demikian pula dengan membersihkan sela-sela gigi dan menggunakan air dingin, kecuali saat diperlukan.

Jika wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan kita letakkan pada bagian belakang kepalanya. Pada pemandian yang terakhir, kita mencampur airnya dengan kapur barus dan daun bidara. Kecuali jika sang mayit dalam keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka hal itu tak perlu dilakukan.

Lalu kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjang-panjang. Kemudian kita handuki. Jika masih keluar sesuatu dari perut, padahal kita sudah mengurut perutnya sebanyak tujuh kali, maka tempat keluar kotoran itu kita tutup dengan kapas. Jika kapas tidak mempan, maka kita menggunakan tanah yang panas. Setelah itu tempat keluarnya kotoran itu kita bersihkan dan kita wudhui lagi jenazahnya.

Jika jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang ihram, maka kita memandikannya tanpa minyak wangi dan tanpa harum-haruman. Tubuhnya dibersihkan dengan sabun dan daun bidara jika perlu saja. Dan kepalanya tetap dibiarkan terbuka.

Anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat bulan, juga orang-orang yang sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan yang hancur lebur, maka ia hanya ditayammumi. Sedang orang yang memandikan, ia wajib menutupi bagian tubuhnya yang buruk.

Mengkafani jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain kafan, kita mengutamakan membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya, sebelum kita gunakan untuk melunasi hutang dan tanggungannya yang lain. Jika si mayit tidak memiliki harta, maka kita mengambil uang untuk membeli kain kafan itu dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada seorangpun yang berderma untuk membelikan kain kafan buat si mayit.

Jenazah seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari katun atau semisalnya. Lalu sebagian kain itu dibentangkan atas sebagian yang lain. Dan sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan air, kemudian diasapi dengan semisal kayu gaharu.

Bagian paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita menebar harum-haruman diantara kain yang atas ini, dan memberi parfum pada setiap lembar kain-kain tersebut[2]. Setelah itu si mayit diletakkan di atasnya, kita mengambil sedikit harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan diletakkan diantara kedua pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas dengan kain yang terbelah ujungnya, seperti bentuk celana dalam, yang bisa mengikat erat antara dua pantat dan kandung kemihnya.

Kemudian harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada setiap lobang yang ada pada wajah dan anggota-anggota wudhunya. Jika kita mengharumi seluruh tubuhnya, maka itu lebih baik.

Setelah itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit, ditutupkan pada bagian kirinya. Dan kain yang disebelah kiri ditutupkan pada bagian kanannya. Kemudian seperti itu pula kita lakukan pada kain kedua dan ketiga. Dan kita menjadikan kain yang banyak lebihnya ada di bagian kepala. Lalu bagian tengah setiap kain itu kita ikat. Ikatan itu baru dibuka kembali saat jenazah dimasukkan dalam kuburan. Kita juga dibolehkan, jika mengkafani jenazah lelaki dengan baju, sarung dan selembar kain.

Adapun yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus dikafani dalam lima kain. Sarung untuk menutupi aurat, kerudung untuk menutup kepala, baju gamis yang dilobangi tengahnya untuk memasukkan kepala dari lobang tersebut, kemudian dua lembar kain yang ukurannya seperti kain kafan jenazah lelaki.

Sedangkan yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan, adalah satu lembar kain yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.

SIAPA SAJAKAH YANG DIWAJIBKAN UNTUK MENGURUS JENAZAH

Kepengurusan jenazah diwajibkan atas sanak kerabatnya. adapun biaya kepengurusannya, seperti kain kafan, wangi-wangian, upah penggalian kubur, upah penggotongan jenazah –jika yang menggotongnya perlu dibayari-, demikian pula dengan upah orang yang memandikan, maka ini semua diambil dari harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan ketimbang membayar hutang dan membayar tanggungan lainnya.

Jika si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang diharuskan menafkahinya untuk membayar semua biaya di atas. Tetapi jika ada seseorang yang menyumbang untuk biaya kepengurusan jenazah tersebut, maka hal ini dibolehkan, meski seandainya si mayit meninggalkan banyak harta yang melimpah.

Jika sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung kepengurusan, pemandian, dan pengkafanan, maka didahulukan seseorang yang paling dekat hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal ini jika si mayit tidak meninggalkan wasiyat kepada siapapun.

Tapi, seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia berkata misalnya, "Tidak boleh memandikanku kecuali si fulan." Maka si fulan yang diberi wasiyat itulah yang berkewajiban memandikannya.

Namun, jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di atas, maka lebih diutamakan yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian putranya, kemudian yang paling dekat, dan yang paling dekat. allahu a`lam.

Lelaki dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah, baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing. apakah tindakan seperti ini dibenarkan?[3]

Jawab:
Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh memandikan yang lainnya. Karena ali bin abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam[4]. Demikian pula dengan asma` binti Umais Radhiyallahu ‘anhu, ia telah memandikan suaminya, yaitu abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.[5]
Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan. Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz[6], maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.

APAKAH BENAR JIKA SEORANG WANITA MENGURUS PEMANDIAN ANAK KECIL LELAKI HARUS DIBAWAH UMUR TUJUH TAHUN

Jawab:
Hal ini dibolehkan, karena anak kecil lelaki tidak mempunyai aurat. Sebagaimana seorang ibu boleh mengurus kebersihannya di waktu kecil. Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh kemaluannya padahal anak kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan. Juga karena Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia dimandikan oleh para wanita, seperti disebutkan para ulama fiqih dalam kitab al-ahkam (pembahasan mengenai hukum-hukum)[7].

Para ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah umur tujuh tahun, kaum lelaki boleh mengurus pemandiannya. Boleh menyentuh auratnya dan langsung melihat kemaluannya. Meski lebih diutamakan jika yang memandikannya adalah kaum wanita. Tetapi kebutuhan mendesak, kadang-kadang mengharuskan kaum lelaki untuk melakukannya. allahu a`lam.

APAKAH PERHIASAN SEORANG WANITA YANG MENINGGAL, WAJIB DILEPASKAN SEBELUM IA DIKUBURKAN

Jawab:
Benar! Hal itu adalah wajib. Karena melepas perhiasan tidaklah merusak badan sang wanita dan tidak pula berpengaruh padanya. Maka untuk perhiasan yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika melepasnya. Demikian pula dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga, dan hidung. Semua perhiasan ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap wanita yang meninggal ini.

Karena itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak dibiarkan terkubur bersamanya. Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur bersamanya, berarti kita sama dengan menghancurkan harta. Padahal orang yang hidup lebih membutuhkan perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang hidup itulah yang menjadi pemiliknya.

JIKA SEORANG JENAZAH DALAM MULUTNYA TERDAPAT GIGI EMAS, APAKAH GIGI ITU DIAMBIL SEBELUM IA DIKUBUR, ATAU DIBIARKAN SAJA 

Jawab:
Jika mencabutnya memang mudah, karena si mayit sewaktu hidup biasa mencabut gigi tersebut, juga dengan mencabutnya ini tidak bakal merusak mulut atau berpengaruh padanya, maka harus dilakukan adalah mencabut gigi emas itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai nilai, dan orang yang hidup lebih berhak untuk memilikinya.

Tetapi jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya terus terbuka, atau membuat pemandangannya semakin menakutkan, maka yang paling baik adalah menghindari pencabutan. Karena yang kita perhatikan, banyak dari para jenazah, yang seandainya orang-orang yang memandikan itu membuka langit-langit mulutnya, mereka tidak bisa menutupnya kembali, dan mulut itu tetap menganga.

Dan yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita perhatikan, jika mata si mayit terbuka dan terus dibiarkan terbuka hingga meninggal dunia, maka mata itu akan terus terbuka dan tidak bisa ditutup.

Berdasarkan hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang menghadiri saat-saat sekarat seseorang, untuk segera memejamkan kedua matanya sebelum ia meninggal dunia, atau saat meninggal dunia. Demikian pula ia harus menutup mulutnya, sehingga mulut itu terus tertutup dan mata terus terpejam. allahu a`lam.

SAAT MEMANDIKAN JENAZAH, APAKAH KITA DISYARIATKAN UNTUK MEMBERSIHKAN KUMIS, BULU KETIAK, BULU KEMALUAN DAN KUKU-KUKUNYA, ATAUKAH KITA MEMBIARKANNYA BEGITU SAJA

Jawab:
Saat memandikan jenazah, kita disyariatkan membersihkan kumis, demikian pula dengan bulu ketiak, dan kuku-kuku. adapun rambut kemaluan, maka pendapat yang sahih, bahwa rambut itu dibiarkan saja tidak diutak-atik karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh disentuh setelah pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk menyentuh auratnya baik ia hidup atau mati.

APA YANG KITA LAKUKAN TERHADAP BULU KUMIS, BULU KETIAK, DAN KUKU YANG DIAMBIL DARI ORANG MATI

Jawab:
Rambut dan kuku-kuku, dibungkus bersama si mayit dalam sebuah tas kecil, atau bungkusan lainnya, kemudian dikubur bersama si mayit. Dan boleh pula membuangnya di tanah bersama sampah-sampah yang lain, sama seperti rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan lain sebagainya.

Ada seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Badannya terluka sangat parah, seandainya dimandikan, air akan merusak seluruh tubuhnya. Maka apa yang harus kami lakukan?

Jawab:
Jenazah ini dimandikan semampunya saja. Jika air bisa disiramkan ke sekujur tubuh dan tidak berpengaruh padanya, maka kita harus menyiramkan air ke tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi jika sang jenazah keluar otaknya, ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocar-kocir, maka disini kita hanya memandikan bagian tubuh yang bisa dimandikan, sedang yang lain cukup diusap saja.

SAAT MEMANDIKAN ANAK KECIL, APAKAH KITA WAJIB MENUTUP AURATNYA ATAU TIDAK

Jawab:
anak kecil yang berumur di bawah tujuh tahun, ia tidak memiliki aurat baik laki-laki atau perempuan. Karena itu kita tidak wajib menutupi sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan. Tetapi jika jenazah itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi anggotanya yang diantara pusar hingga lutut.

BOLEHKAN KITA MENGKAFANI MAYIT DENGAN SELAIN KAIN PUTIH

Jawab:
Boleh, tetapi yang lebih baik adalah mengkafaninya dengan kain putih. Karena disebutkan dalam sunan abi Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,

yang artinya :
"Pakailah untuk baju kalian kain-kain yang putih, karena kain putih adalah sebaik-baik baju kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang yang mati dari kalian."

BERAPAKAH JUMLAH TALI YANG KTA IKATKAN PADA KAFAN SANG MAYIT

Jawab:
Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah masuk padanya ikatan pada kepala dan ikatan pada kedua kaki. Tetapi ikatan ini boleh lebih dari itu sesuai dengan kebutuhan.

Ada seorang muslim yang membunuh muslim lainnya, kemudian sang muslim pembunuh ini diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan kami, apakah muslim yang pembunuh ini jika sudah dibunuh, ia harus dimandikan dan dishalati?

Jawab:
Benar, ia harus dimandikan dan dishalati. Sebab ia tidak keluar dari lingkaran agama Islam.

APAKAH SESEORANG YANG BUNUH DIRI HARUS DIMANDIKAN DAN DISHALATI

Jawab:
Seseorang yang bunuh diri, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikubur di pekuburan kaum muslimin. Karena ia hanya berbuat maksiat dan tidak kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah kemaksiatan bukan suatu kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri –mudah-mudahan allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ini-, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikafani.

Tetapi wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang mempunyai jabatan penting, untuk tidak menyalatinya. Karena ini sebagai bentuk pengingkaran dari mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang menduga bahwa para petinggi itu meridhai perbuatan bunuh diri tersebut.

Jadi! Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati, jika mereka tidak menyalati pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran dan pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini adalah perbuatan yang salah, maka ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus menyalati pelaku bunuh diri itu.

Saya telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak mandi setalah itu. Kemudian saya mengerjakan banyak shalat. apakah saya berdosa dalam hal ini?

Jawab:
Mengenai memandikan jenazah, ada sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan sanad yang sahih, yaitu sabda beliau yang artinya :

"Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu."

Hadits ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama lainnya mensahihkannya, dan sebagian ulama yang lain memilih berhenti (tawaqquf) pada matannya.

Para ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, "apa yang membuat kita harus mandi, karena orang yang memandikan jenazah tidak melakukan perbuatan apapun yang mengharuskannya mandi." Sebab itulah mereka memilih untuk tawaqquf pada matannya.

adapun para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini bahwa mandi disini adalah hal yang mustahab. Jadi mereka mengatakan, "Sesungguhnya mandi adalah mustahab bagi orang yang memandikan mayit."
Sedangkan sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi orang yang memandikan, jika ternyata ia tidak mandi. Maka mereka berkata, "Mandi hanyalah sunnah muakkadah, tetapi jika tidak mandi maka ia wajib berwudhu, wudhu inilah kewajiban yang paling sedikit atasnya."

JIKA SAYA MEMBAWA JENAZAH, APAKAH SAYA WAJIB BERWUDHU ATAU TIDAK

Jawab:
Mengenai berwudhu bagi seseorang yang membawa mayit, ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,

yang artinya :
"Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu."

Barangkali maksud hadits di atas, khusus buat orang yang mendekapnya bukan orang yang membawa jenazah dalam keranda. Sehingga, ketika abdullah bin abbas Radhiyallahu ‘anhu dan abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu membawa jenazah dalam keranda, kemudian dikatakan kepada mereka, "Berwudhulah!", keduanya menjawab, "Saya tidak perlu berwudhu hanya karena membawa kayu."

Maksudnya, mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan tidak menyentuh apapun selain kayu belaka. adapun seseorang yang mendekap jenazah yang sudah meninggal, yang bisa jadi dalam keadaan tanpa busana, atau mirip tanpa busana, maka hendaklah ia berwudhu berdasarkan pada hadits di atas.

Pertanyaan : Apakah seorang pria dapat memandikan jenazah ibu mertuanya?

Tidak sah[1] mandinya apabila pria yang memandikan (jenazah) wanita dan wanita yang memandikan (jenazah) pria.[2] Namun wanita dapat memandikan (jenazah) suaminya sendiri dan suami dapat memandikan (jenazah) istrinya sendiri.[3] Kendati mengikut prinsip ihtiyath mustahab baiknya wanita tidak memandikan (jenazah) suaminya dan suami tidak memandikan (jenazah istrinya).[4]

Namun sehubungan dengan pemandian jenazah (ghusl mayyit) wanita apabila tidak ada wanita yang lain yang dapat memandikannya maka pria-pria yang memiliki hubungan kekerabatan dan mahram dengannya, atau mahram yang disebabkan oleh susuan, dapat memandikan wanita tersebut dari bawah kain.

Karena itu, dalam kondisi normal suami tidak dapat memandikan ibu mertuanya; karena satu-satunya yang dikecualikan dalam masalah ini, mengikut fatwa sebagian marja, adalah istri dan suami.[5] [iQuest]

Sumber Referensi : 
[1] Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar asapnya akan mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.
[2] Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. allahu a`lam.
[3] Shalih al-Fauzan, al-Muntaqa, 1/78
[4] Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; juga al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh al-albani. Lihat pula, Irwa` al-Ghalil, 3/162
[5] Lihat, al-Mushannaf fi al-ahaadits wa al-aatsaar karya Ibnu abi Syaibah, 2/455, 456; juga al-Mushannaf karya abdurrazzaq ash-Shan`ani, 3/408-411.
[6] Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang buruk.
[7] Lihat, Manar as-Sabiil, 1/166
[8] HR. abu Dawud, 2/176 dan at-Tirmidzi, 2/132
[9] Syaikh abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62
[10] HR. abu Dawud, 2/62-63; at-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, dan Imam ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh al-albani.
[11] HR. abu Dawud, 2/62-63; at-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, dan Imam ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh al-albani.

Sumber : Referensi Kitab lainnya:

[1]. Ayatullah Bahjat: Kalau tidak berada dalam kondisi darurat.  
[2]. Ayatullah Khui dan Ayatullah Zanjani: Diharamkan bagi pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria.  
[3]. Ayatullah Tabrizi: Tidak dibenarkan pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria; Ayatullah Zanjani dan Ayatullah Shafi: (Supaya tidak memandikannya apabila tidak berada dalam kondisi darurat); Ayatullah Siistani: Pria tidak dapat memandikan wanita non-mahram dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria non-mahram. Istri dan suami dapat memandikan satu sama lain.  
[4]. Ayatullah Makarim: Pria tidak dapat memandikan wanita dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria kecuali (berstatus) suami dan istri yang masing-masing dapat memandikan diri satu sama lain. Meski mengikut prinsip ihtiyâth mustahab baiknya tidak melakukan hal ini apabila tidak berada dalam kondisi darurat.
[5]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jil. 1, hal. 319-320, Masalah 559.

Dan Dari sumber Kitab Lain :

1. Musnad Ahmad Ibnu Hambal. Juz: 6. Hal. 228
2. Al-Iqna’ Fi Chilli Alfadzi Abi Syuja’. Juz: 1. Hal. 181
3. Raudlah Al-Thalibin. Juz: 2. Hal. 103
4. Syarch Al-Wajiz. Juz: 5. Hal. 125
5. Al-Iqna' Li Al-Syarbini. Juz: 1. Hal. 200
6. Nihayah Al-Zain. Juz: 1. Hal. 151
7. Chasyiayah Al-Bujairimi. Juz: 2. Hal. 269.

MUSYAWWIRIN :
1) Al-Ustadz Brojol Gemblung
2) Al-Ustadz Wesqie
3) Al-Ustadz Guslik An-Namiri
4) Al-Ustadz Ro Fie
5) Al-Ustadz Sunde Pati
6) Al-Ustadz Imam Al-Bukhori
7) Al-Ustadz Abdulloh Salam.
PERUMUS: Al_Ustad Ibnu Malik Hafidzahullah.

0 comments:

Post a Comment